Peran Intelkam Polri Dalam Pencegahan Terorisme

Peran Intelkam Polri Dalam Pencegahan Terorisme

I.   Pendahuluan

Terorisme adalah ancaman global yang sangat berbahaya. Kekejaman kelompok radikal dalam melakukan aksi teror harus dicegah. Di Indonesia aksi teror masih sering terjadi. Bahkan pasca tewasnya Santoso, sebagai pemimpin Mujahidin Indonesia Timur, terorisme masih menjadi ancaman negara yang patut diwaspadai.

UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, secara implikasi hukum menyatakan bahwa terorisme adalah suatu tindak pidana. Berkaitan dengan hal tersebut maka Polri sebagai aparat penegak hukum adalah penanggung jawab utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia.

Polri sebaiknya memberikan porsi terbesar pada pencegahan terorisme, bukan pada penindakan. Pencegahan terorisme berjalan jika fungsi deteksi dini dan cegah dini oleh Polri bisa dilakukan. Intelijen keamanan sebagai unsur Polri yang bertanggung jawab terhadap tiga hal yaitu

  1. kegiatan intelijen bidang keamanan termasuk persandian, produk intelijen, pembentukan dan pembinaan jaringan intelijen kepolisian baik sebagai bagian dari kegiatan satuan-satuan atas maupun sebagai bahan masukan penyusunan rencana kegiatan operasional, dan peringatan dini (early warning)
  2. memberikan pelayanan administrasi dan pengawasan senjata api atau bahan peledak, orang asing, dan kegiatan sosial atau politik masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
  3. mengumpulkan dan mengolah data serta menyajikan informasi dan dokumentasi kegiatan intelkam

dari uraian tugas tersebut di atas, maka intelijen keamanan Polri merupakan garda terdepan dalam pencegahan terorisme di Indonesia.

Namun, apakah intelijen keamanan Polri sudah mampu memberikan deteksi dini dan cegah dini atas ancaman terorisme di Indonesia?  Apakah sumber daya Polri (manusia, peralatan, sistem, dana) sudah mencukupi untuk tugas deteksi dini dan cegah dini ancaman terorisme? Bagaimana mewujudkan fungsi intelijen keamanan Polri yang ideal sehingga tugas-tugas deteksi dini dan cegah dini ancaman terorisme dapat dijalankan dengan baik?

II.  Pembahasan

a. Perkembangan Terorisme di Indonesia

Ratusan jiwa tewas dan lebih banyak lagi korban luka di Indonesia akibat aksi teroris. Tahun 2001 bom meledak di Bali, disusul serangan Bom di Hotel J.W Marriot pada tahun 2003. Kedutaan Australia di Jakarta tak luput dari serangan bom teroris pada tahun 2004. Tahun 2005 Bali mengalami serangan bom dari teroris untuk kedua kalinya. Hotel J.W Marriot dan Ritz-Carlton pada tahun 2009 juga menjadi sasaran bom dari teroris.

Peristiwa terorisme international di Timur Tengah yang dilakukan oleh ISIS lebih mengerikan lagi. Berbagai berita mengabarkan bagaimana aksi ISIS yang penuh kebrutalan dan kekejaman terhadap kelompok dengan ideologi berbeda dan kaum minoritas. Aksi ISIS patut diwasapadai oleh Pemerintah Indonesia mengingat ada beberapa warga negara Indonesia turut hijrah ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Para simpatisan ISIS ini jika kembali lagi ke Indonesia tentu akan sangat berbahaya.

Aksi-aksi simultan serangan bom dari teroris di Indonesia dan aksi teroris di negara lain menujukkan betapa kejamnya teroris dalam mencapai tujuan. Pemerintah Indonesia perlu suatu strategi yang komprehensif untuk menangani terorisme. Salah satu strategi adalah  dengan menggunakan pendekatan intelijen. Ancaman terorisme di Indonesia tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga luar negeri. Sebagian besar pelaku terorisme di Indonesia adalah warga negara Indonesia yang sudah hijrah ke luar negeri untuk mendapatkan pengalaman dan membangun jaringan secara global.

Dalam konteks aksi terorisme di Indonesia maka kelompok radikal kanan menjadi pelaku dominan dengan tujuan utama meneruskan perjuangan berdirinya Negara Islam Indonesia. Negara Islam Indonesia sebagai sebuah gerakan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo diproklamirkan pada 7 Agustus 1949 di Garut Jawa Barat. Cara-cara kekerasan termasuk penggunaan senjata dilakukan oleh kelompok ini untuk mewujudkan Negara Islam Indonesia.

Kasus-kasus pada era orde baru yang dapat dimasukkan dalam kategori terorisme seperti Komando Jihad (1980), Cicendo (1981), Woyla (1981) dan Borobudur (1985) merupakan bukti kaum teroris ingin menunjukkan eksistensinya. Dari beberapa kasus di atas maka aksi terorisme yang sangat terkenal adalah aksi pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla pada 28 Maret 1981

Perkembangan terbaru dari isu ini adalah peristiwa tewasnya Santoso.  Ketua Mujahidin Indonesia Timur yang lebih dikenal dengan nama alias Abu Wardah, laki-laki yang lahir pada 21 Agustus 1976 di Tentena Poso Sulawesi Tengah, tewas ditembak anggota Satgas Tinombala 18 Juli 2016.

Hidup Santoso diakhiri oleh tembakan prajurit dari Batalyon Raider 515 Kostrad. Santoso yang merupakan anak transmigran dari Jawa ini merupakan salah satu orang yang paling dicari oleh aparat keamanan karena aktivitas terornya yang cukup meresahkan. Perampokan dengan dalih  fai dan pembunuhan polisi karena dianggap thaghut beberapa kali dilakukan Santoso dengan kelompoknya.

Setelah Santoso tewas, apakah terorisme di Indonesia akan mereda? Tidak. Terorisme adalah dampak dari adanya paham radikal yang sudah tertanam dalam benak orang. Paham radikal (ideologi) tersebut bertemu dengan lingkungan, pelatihan, logistik, keuangan, pemimpin/tokoh, senjata, dan momentum untuk melakukan sebuah gerakan yang kemudian berujung pada sebuah aksi teror. Kematian Santoso hanya melemahkan salah satu pemimpin kelompok radikal di Indonesia. Namun akar masalah dari terorisme yaitu paham radikal masih berhinggap di benak banyak orang.

Poso bukan satu-satunya daerah yang menjadi persembunyian kelompok radikal pelaku terorisme. Santoso dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) bukan satu-satunya orang dan kelompok dengan paham radikal pelaku terorisme. Di Indonesia masih ada sel-sel kelompok radikal yang potensial dan mampu melakukan aksi teror seperti kelompok Jamaah Anshar Khalifah Daulah Nusantara (JAKDN) yang melakukan teror bom Thamrin 14 Januari 2016 dan teror bom bunuh diri di Solo 5 Juli 2016. Kelompok JAKDN yang berbasis di Jawa ini juga sangat berbahaya. Selain beberapa sel di Jawa, kelompok radikal juga ada di Bima.

Suksesnya Satgas Tinombala menewaskan Santoso tidak akan menyurutkan niat sel-sel kelompok radikal di Indonesia untuk berhenti menjadi teroris. Kematian Santoso justru akan membuat dorongan untuk melakukan aksi teror semakin besar. Kepentingan ideologi secara radikal akan bercampur dengan dorongan untuk balas dendam. Hal ini tentu sangat berbahaya.

Ancaman terorisme di Indonesia yang terus terjadi adalah salah satu bukti yang menunjukkan ada kelemahan pada deteksi dini dan cegah dini atas ancaman terorisme. Cegah dini dan deteksi dini merupakan fungsi dan tugas utama dari intelijen, terutama intelijen keamanan Polri.

b.  Fungsi Intelijen dalam Pencegaham Terorisme

Mengingat ancaman terorisme yang bisa berdampak besar bagi masyarakat dan negara, maka Polri dituntut mempunyai peran tidak hanya pada penegakan hukum tetapi juga pada pencegahan, deteksi dini dan peringatan dini, dengan memaksimalkan fungsi intelijen.

Dalam kegiatan intelijen untuk penanggulangan terorisme, TNI dapat menujukkan peran dan wewenangnya dengan baik dan sesuai dengan ketentuan hukum untuk mendukung Polri. Produk intelijen TNI tentang terorisme dapat digunakan oleh Polri untuk langkah lebih lanjut. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme ayat 26 pasal 1 yang berbunyi “untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen”

Intelijen Polri dapat berkoordinasi dan bekerja sama dengan intelijen dari instansi lain seperti dari Kementrian Luar Negri, Kementrian Dalam Negeri, PPATK, BAIS TNI, dan kegiatan intelijen tersebut jika melibatkan organisasi lain sebaiknya dalam koordinasi Badan Intelijen Negara.

Hal ini sekaligus guna menjalankan amanat UU No 17 Tahun 2011 yang menyebutkan Badan Intelijen Negara berkedudukan sebagai koordinator penyelenggara Intelijen Negara. Penyelenggara Intelijen Negara lainnya, yaitu Intelijen TNI, Intelijen Kepolisian, Intelijen Kejaksaan dan Intelijen Kementerian/lembaga pemerintah non-Kementerian wajib berkoordinasi dengan Badan Intelijen Negara.

Intelijen Keamanan Polri dalam tugas pencegahan terorisme sebaiknya fokus pada deteksi dini dan pencegahan dini aktivitas kelompok radikal. Intelijen Keamanan Polri dapat bekerja sama dengan organisasi masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat dan elemen-elemen akar rumput untuk mengumpulkan informasi berkaitan dangan aktivitas kelompok/tokoh radikal.

Terorisme sebagai implikasi kelompok radikal yang memaksakan keinginannya bisa dicegah jika kelompok radikal bisa dideteksi dan dicegah aktivitasnya yang berpotensi mengarah kepada teror. Pada masalah terorisme, kemampuan intelijen keamanan Polri sebaiknya tidak dihabiskan untuk penindakan hukum, namun lebih pada pencegahan.

c. Harapan terhadap Intelijen

Dalam aplikasi sistem pemerintah Indonesia peranan intelijen adalah memberikan peringatan (early detection and early warning system) tentang hal-hal yang berkaitan dengan ancaman terhadap negara dari dalam maupun dari luar. Secara yuridis maka peran intelijen jika diterjemahkan dari tujuan Intelijen Negara yang tertulis dalam UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara Pasal 5 disebutkan bahwa: Tujuan Intelijen Negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan Intelijen dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang yang ada bagi kepentingan dan keamanan nasional.

Secara umum fungsi sebuah organisasi intelijen negara adalah mengamankan kepentingan nasional. Berkaitan dengan terorisme yang terjadi di Indonesia yang merupakan salah satu ancaman yang mengganggu kepentingan nasional, maka intelijen wajib berperan serta dalam mencegah, menanggulangi dan memberantas terorisme. Intelijen tidak memiliki kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Jika intelijen menemukan alat bukti yang menyangkut tentang pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan ancaman keamanan nasional maka dilakukan koordinasi dengan pihak lain seperti kepolisian untuk penegakan hukum.

Berdasarkan tugas dan kewenangannya maka intelijen mempunyai peran yang sangat vital dalam penganggulangan terorisme. Sesuai dengan Pasal 7 UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara maka ruang lingkup intelijen negara adalah Intelijen dalam negeri dan luar negeri, Intelijen pertahanan dan/atau militer, Intelijen Kepolisian, Intelijen penegakan hukum, dan Intelijen kementrian/lembaga pemerintah nonkementrian.

Intelijen pertahanan/militer di Indonesia berada dalam organisasi BAIS (Badan Intelijen Strategis TNI). Dalam organisasi BAIS TNI, yang sudah mempunyai sejarah perkembangan cukup panjang dan berpengalaman, terdapat potensi intelijen yang sangat besar. Intelijen militer adalah unsur yang sudah lama ada dan terlatih beriringan dengan masa keberadaan negara Indonesia. Setelah peristiwa reformasi 1998 keberadaan intelijen militer di tubuh TNI mulai terduksi mengikuti TAP MPR NO. VII/2000 yang menyebutkan bahwa peran TNI merupakan alat pertahanan negara, bertugas pokok mempertahankan negara. Hal ini sangat tegas untuk membagi kewenangan dengan POLRI yang mempunyai tugas untuk menjaga keamanan negara dan keutuhan wilayah NKRI. Dengan landasan ini maka ancaman terorisme menjadi tugas utama Polri untuk menanganinya.

Presiden Indonesia ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono  (2004-2014) yang telah menginisiasi pembentukan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) mempunyai strategi untuk mengedepankan elit polisi didukung TNI dalam menangani terorisme. TNI yang berperan pada lapis kedua mempunyai kekuatan dan personel dengan kemampuan anti teror yang sudah teruji. TNI-AD mempunyai Satuan Penanggulangan Teror atau disebut Sat Gultor-81 Kopassus. Detasemen Jala Mengkara yang dimiliki oleh TNI-AL dan Detasemen Bravo-90 yang dimiliki oleh TNI-AU tidak kalah pamor dan kualitas dengan saudaranya di TNI-AD. Personel dari TNI dengan kemampuan anti teror ini terlalu disayangkan jika tidak dimanfaatkan dengan baik oleh negara dalam penanggulangan terorisme.

POLRI sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan dalam penindakan hukum membentuk Satuan Tugas Anti Teror bernama Detesamen Khusus 88 Anti Teror POLRI (Densus 88/AT). Tugas Densus 88/AT adalah menangani segala bentuk ancaman teroris termasuk diantaranya ancaman bom dan penyanderaan. Dalam menangani ancaman dan aksi teroris, Densus 88/AT memerlukan laporan intelijen sebagai informasi awal untuk melakukan tindakan.

Intelijen menjadi salah satu  kunci pemberantasan tindak pidana terorisme. Bukti awal dari laporan intelijen memberikan kewenangan Densus 88/AT untuk melakukan penangkapan. Fungsi intelijen dalam struktur organisasi dari Densus 88/AT  sangat strategis. Densus 88/AT dalam organisasinya memiliki empat pilar pendukung operasional setingkat sub-detasemen (Subden), yakni: Subden Intelijen, Subden Penindakan, Subden Investigasi, dan Subden Perbantuan.

Di bawah Subden terdapat unit-unit yang menjadi pondasi pendukung bagi operasional Densus 88/AT, seperti pada Subden Intelijen terdapat Unit Analisa, Deteksi, Unit Kontra Intelijen, pada Subden Penindakan terdapat Unit Negoisasi, Pendahulu, Unit Penetrasi, dan Unit Jihandak. Sedangkan pada Subden Investigasi membawahi Unit Olah TKP, Unit Riksa, dan Unit Bantuan Teknis, terakhir pada Subden Bantuan terdapat Unit Bantuan Operasional dan Unit Bantuan Administrasi.

Personel Densus 99/AT sudah dilengkapi kemampuan intelijen pengamanan. Kemampuan tersebut sangat penting untuk diaplikasikan dalam menangani terorisme. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparat negara dalam menangani terorisme sering kali membuat berbagai pihak cenderung resisten. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu dilakukan analisis-analisis dan metode intelijen sehingga menjadi bahan acuan dalam melakukan operasi penanaganan terorisme yang lebih tepat sasaran dan humanis dengan tetap mengedepankan keselamatan rakyat di atas segalanya.

Perspektif intelijen dalam penanggulangan terorisme diperlukan dalam spektrum strategis. Kemampuan intelijen untuk mencari informasi, mengolah informasi dan menyajikan informasi untuk pengambilan keputusan sangat diperlukan dalam mendukung langkah-langkah penanggulangan terorisme. Informasi intelijen sangat diperlukan mengingat aksi terorisme  disusun dan dilakukan secara tertutup dengan metode klandestin (kegiatan rahasia).

Kelompok terorisme bergerak secara rahasia. Untuk membaca dan menganalisis gerakan tersebut diperlukan kemampuan intelijen dan kontra intelijen. Hal ini tentu harus dilakukan oleh petugas yang cakap dan kompeten sehingga dalam penindakan dan penanggulangan terorisme dapat dilakukan secara tepat dan efektif.

Polri perlu meningkatkan kemampuan intelijen terutama di bidang human intelligence dan melakukan update teknologi serta penerapannya guna menginmbangi perkembangan terorisme yang bergerak maju. Peningkatan kemampuan intelijen keamanan Polri tidak sebatas pada kemampuan anggotanya tetapi juga peningkatan sistem, manajemen, dan teknologi, guna mendukung tugas-tugas intelijen yang dinamis dan selalu berkembang.

III.   Pemacahan Masalah

Untuk mewujudkan keberhasilan tugas intelijen keamanan Polri dalam tugas melakukan deteksi dini dan cegah dini ancaman terorisme maka disarankan Intelkam Polri melakukan hal-hal sebagai berikut :

  1. Meningkatkan kemampuan intelijen bagi personel Intelkam Polri, terutama kemampuan untuk melakukan deteksi dini atas ancaman terorisme yang mungkin terjadi di Indonesia. Upaya paling penting dalam meningkatkan kemampuan intelijen bagi personel Intelkam Polri adalah melakukan penguatan pada lembaga pendidikan intelijen keamanan Polri. Lembaga pendidikan adalah kunci utama penghasil sumber daya manusia yang berkualitas, Perbaikan pada lembaga pendidikan akan signifikan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas pula.
  2. Membangun kerja sama intelijen dengan lembaga lain seperti BAIS TNI, BIN, dan Intelijen dari Kementrian Luar negeri untuk membangun fusi intelijen yang lebih komprehensif. Kerjama intelkam Polri dengan kepolisian internasional, lembaga intelijen luar negeri termasuk lembaga-lembaga yang secara khusus bertugas menangani terorisme dan kontra terorisme.
  3. Melakukan fungsi intelijen teroterial bekerja sama dengan Babinkamtibmas untuk membangun radar sosial di tingkat masyarakat. Ujung tombak intelijen adalah informasi yang diperoleh dari masyarakat. Jika masyarakat mempunyai radar sosial yang tinggi dan peka terhadap lingkungannya maka ancaman-ancaman terorisme bisa dicegah sejak dini.

IV.   Penutup

a.    Kesimpulan

Pemberantasan terorisme lebih tepat jika mengutamakan langkah pencegahan. Untuk melakukan pencegahan terorisme maka Polri sebagai stake holder harus meningkatkan peran deteksi dini dan cegah dini ancaman terorisme. Peran tersebut sesuai tugasnya dilakukan oleh unsur intelijen keamanan Polri.

Intelijen Keamanan Polri harus ditingkatkan kinerjanya melalui peningkatan kemampuan personal, teknologi, sistem, dan dukungan dana. Pencegahan terorisme sejak dini akan berisiko lebih kecil daripada penanganan terorisme yang mengutamakan penindakan hukum. Peran intelijen keamanan Polri sangat vital dan menjadi pemain utama dalam pemberantasan terorisme di Indonesia.

b.  Saran

Polri dengan pemimpin baru Jendral Polisi Drs M Tito Karnavian MA PhD yang mempunyai pengalaman dan kompetensi teruji di bidang pemberantasan terorisme diharapkan mampun menjawab harapan masyarakat dalam hal penanganan terorisme di Indonesia. Polri diharapkan bekerja dengan profesional dan cakap dan mengutamakan pencegahan dibandingkan dengan penindakan hukum.

Harapan besar dari masyarakat ini jangan sampai disia-siakan.

catatan : tulisan dibawah ini dibuat dengan format NKP (naskah karya perorangan) di bidang intelijen, semoga dapat dimanfaatkan bagi yang membutuhkan

*) Stanislaus Riyanta, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, tinggal di Jakarta, email : [email protected]

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent