Agama Bukan Penyebab Terorisme
Terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan sebagai usaha untuk mencapai tujuan. Teror biasanya dilakukan oleh orang atau kelompok sebagai kompensasi mereka yang kecil/sedikit dengan cara kekerasan untuk memberikan rasa takut kepada kelompok yang lebih besar. Latar belakang dan alasan orang atau kelompok melakukan teror berujung pada pilihan paling efektif untuk memaksakan dan mencapai tujuan.
Pilihan atas aksi teror dibanding oleh aksi atau cara lain untuk mewujudkan cita-cita orang atau kelompok disebabkan oleh beberapa hal, pertama teror adalah cara paling efektif untuk menunjukkan eksistensi kelompok minoritas atau marginal. Kedua teror cermin dan implikasi atas kepribadian pemimpin kelompok yang tidak sehat dan menjadi kultur kelompok secara umum.
Selanjutnya adalah aksi-aksi non teror seperti diplomasi tidak berhasil dilakukan atau sudah sering dilakukan dan tidak berhasil. Selain itu teror dilakukan sebagai implikasi atas pemahaman suatu doktrin atau ajaran kekerasan sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita, terutama dialami oleh kelompok-kelompok garis keras/radikal dengan latar belakang sentimen teologis atau politis yang membuat perbedaan ekstrim dengan kelompok lain tidak bisa diterima dan harus dilawan/diperangi.
Unsur Pembentuk Teror
Pakar intelijen, Soleman B Ponto, menyebutkan bahwa unsur pembentuk teror ada sembilan. Mantan Kepala BAIS ini menyebutkan bahwa sembilan unsur tersebut adalah pemimpin, tempat latihan, jaringan, dukungan logistik, dukungan keuangan, pelatihan, komando dan pengendalian, rekrutmen, serta daya pemersatu. Teror akan terjadi jika sembilan unsur tersebut bertemu. Sebaliknya disebutkan bahwa teror tidak akan terjadi jika salah satu dari unsur pembentuk tersebut tidak ada.
Teori pembentuk teror yang disampaikan Soleman B Ponto ini menarik. Implikasi dari unsur pembentuk teror ini adalah terorisme dapat dicegah hanya dengan mematikan salah satu unsurnya. Dari sembilan unsur pembentuk teror tersebut yang paling menarik adalah adanya daya pemersatu. Kelompok radikal biasanya menggunakan ideologi (agama) sebagai daya pemersatu kelompok radikal. Bahkan tafsir ideologi secara tekstual dijadikan alasan sebagai pembenaran atas kekerasan yang dilakukan.
Analisis ancaman yang dikenalkan oleh Prunckun (2010) menyebutkan bahwa terdapat dua indikator utama dalam ancaman yaitu niat yang terdiri dari elemen keinginan dan harapan, serta indikator kapabilitas yang terdiri dari elemen sumber daya dan pengetahuan. Jika terorisme dianggap sebagai suatu ancaman maka terorisme dapat diuraikan masing-masing elemen keinginan, harapan, sumber daya dan pengetahuan.
Keinginan pelaku teror sangat kuat, bahkan keinginan tersebut dilakukan dengan jalan kekerasan dan membuat ketakutan. Keinginan pelaku teror seperti ideologinya dominan, atau ideologinya diterapkan untuk semua orang, diraih dengan segala cara termasuk kekerasan, menebar ketakutan, bahkan dengan kematian.
Harapan dari pelaku teror sangat kuat. Kelompok radikal yang mempunyai daya pemersatu ideologi atau agama, biasanya mempunyai harapan yang sangat luar biasa mengalahkan segala harapan nyata di dunia. Bumbu-bumbu janji surga didoktrinkan kepada anggota kelompok radikal sebagai harapan atas jika aksi mereka berhasil. Kelompok radikan dengan daya pemersatu politik biasanya mempunyai harapan kekuasaan atau wilayah. Misal kelompok radikal yang mempunyai keinginan untuk memisahkan diri dari suatu negara, harapannya mereka bisa menjadi negara sendiri dan aturan baru sesuai keinginan mereka.
Sumber daya kelompok radikal seperti jaringan, anggota, pemimpin, dana, logistik, senjata, kekuatannya berbeda-beda. Kelompok radikal yang berafiliasi dengan jaringan global biasanya mempunyai sumber daya yang besar. Sebagai contoh kelompok radikal di Indonesia yang berafiliasi dengan ISIS di Suriah. Beberapa kali aksi teror di Indonesia seperti di Thamrin dan Surakarta pada tahun ini diindikasikan dipengaruhi dan didukung oleh kelompok ISIS di Suriah. Jaringan global kelompok radikal dapat terjadi karena mempunyai daya pemersatu yang sama. Dalam konteks kelompok radikal ISIS maka daya pemersatu mendirikan negara Islam menjadi satu kekuatan untuk menjadi suatu jaringan global.
Pengetahuan dan ketrampilan kelompok radikal sangat penting sebagai suatu elemen untuk melakukan ancaman. Pengetahuan dan ketrampilan seperti penggunaan senjata, intelijen, perang, termasuk didalamnya pembuatan bom, propaganda dan penggunaan teknologi informasi sangat mempengaruhi besar kecilnya ancaman tesebut. Secara umum teori tentang unsur pembentuk teror yang disampaikan oleh mantan Ka BAIS, Soleman B Ponto, linear dengan teori analisis ancaman yang disampaikan oleh Hank Prunckun.
Memanfaatkan Agama
Dari uraian tentang unsur pembentuk teror dan analisis ancaman terorisme di atas, dapat disimpulkan bahwa agama bukan penyebab teror. Agama adalah unsur yang dimanfaatkan sebagai daya pemersatu kelompok radikal. Pemanfaatan agama sebagai daya pemersatu ini dipilih karena agama mudah untuk didoktrinkan dan diyakini secara hakiki oleh calon anggota kelompok radikal.
Stigma bahwa agama adalah penyebab terorisme harus dihindari. Jika stigma ini masih melekat maka akan berdampak pada penanganan terorisme menjadi tidak tepat. Berfokus konsep agama sebagai penyebab teror akan menjadikan penanganan terorisme menjadi masalah tersendiri. Bertahan dengan stigma agama sebagai penyebab terorisme akan menjadikan deradikalisasi menjadi de-agama-isasi.
Selain agama, faktor suku, ras, dan aliran politik dapat dijadikan faktor pemersatu kelompok radikal. Konflik-konflik sosial yang terjadi secara horizontal biasanya disebabkan oleh daya pemersatu kesukuan atau ras. Memanfaatkan suku, agama, dan ras untuk daya pemersatu memang sangat efektif dibanding faktor lain, misalnya faktor ekonomi.
Mencegah Terorisme
Jika mengacu pada unsur pembentuk terorisme yang disampaikan oleh Soleman B Ponto, maka untuk mencegah terorisme cukup dengan menghilangkan salah satu unsurnya. Dengan konsep ini maka dapat diartikan bahwa biarkan saja orang berpikiran radikal, selama tidak mempunyai logistik (senjata, bahan peledak, uang), tidak ada pemimpin, tidak ada jaringan, maka teror tidak akan terjadi.
Langkah untuk mencegah terorisme dengan lebih komprehensif dapat dilakukan dengan pembagian tugas pada masing-masing lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk menangani atau berhubungan dengan masing-masing unsur pembentuk teror. Misalnya lembaga keagamaan atau kementrian agama bertanggung jawab terhadap daya pemersatu kelompok radikal yang berhubungan dengan agama.
Polisi sebagai penegak hukum bertugas untuk mengawasi dengan ketat peredaran bahan peledak, bahan kimia, atau senjata supaya tidak bisa dijadikan bahan untuk melakukan teror (logistik). PPATK membantu untuk mengawasi transaksi keuangan. Jika ada transaksi keungan yang mencurigakan dari dan kepada orang dengan indikasi sebagai anggota kelompok radikal maka PPATK dapat meneruskan kepada Polri untuk ditindaklanjuti.
Kementrian Luar Negeri dapat bertanggung jawab untuk mengawasi jaringan kelompok radikal di dalam negeri dengan jaringan global. Kemenlu tentu saja harus bekerja sama dengan intelijen dari BIN dan BAIS yang mempunyai jaringan intelijen di banyak negara. Pengawasan dan penanganan unsur pembentuk terorisme yang lain dapat dianalisis lebih lanjut dengan fungsi lembaga negara yang berkaitan.
Jika lembaga-lembaga negara bekerja untuk melakukan penanganan dan pengawasan unsur pembentuk terorisme yang menjadi bidangnya maka tugas pencegahan terorisme menjadi lebih ringan. Permasalahan akan terjadi jika lembaga-lembaga negara tersebut tidak bekerja sama alias bekerja sendiri-sendiri. Peran BNPT sebagai koordinator penanggulangan terorisme sangat penting guna memastikan lembaga-lembaga negara tersebut bekerja dengan baik untuk menekan unsur pembentuk teror.
Penutup
Agama bukan penyebab teror. Teror disebabkan oleh konsep kelompok atau pribadi yang salah dalam mencapai tujuan. Agama dimanfaatkan dan dipinjam sebagai daya pemersatu kelompok radikal untuk melakukan teror.
Pandangan bahwa agama sebagai faktor penyebab teror harus dihilangkan. Jika konsep agama sebagai penyebab teror masih dianut maka deradikalisasi akan menjadi de-agama-isasi. Teror bukan produk agama.
*) Stanislaus Riyanta, analis intelijen dan terorisme, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia