Tantangan memperkuat KPPU menurut Peradi

Tantangan memperkuat KPPU menurut Peradi
Kantor KPPU. Foto diambil dari www.kontan.co.id

JI-Jakarta. Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) berharap Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk dikuatkan. Namun hal itu bukannya tanpa tantangan dan hambatan. Apa saja?

“KPPU adalah bagian dari otoritas negara yang mampu mewujudkan kesejahteraan kepada masyarakat,” kata Ketua Harian DPN Peradi, R Dwiyanto Prihartono dalam seminar hybrid yang digelar Peradi.

Salah satu tantangannya adalah soal pembuktian. KPPU baru-baru ini membuat Peraturan KPU Nomor 2/2023. Peraturan ini mengatur tentang ketentuan umum, alat bukti, pemanggilan, juru bahasa dan kuasa hukum, sumber perkara, penyidikan awal, penyelidikan, sidang majelis komisi, pemeriksaan cepat, perubahan perilaku, kerahasiaan data dan/atau informasi, putusan komisi dan ketentuan penutup.

“Apakah perubahan Peraturan KPPU Nomor 1/2019 menjadi Peraturan KPPU Nomor 2/2023 cukup bisa menjawab kebutuhan akan hukum baru,” kata R Dwiyanto Prihartono di depan ratusan peserta seminar yang mengikuti di Kantor DPN Peradi dan secara daring itu.

Di antaranya yaitu soal alat bukti petunjuk. Yaitu petunjuk langsung (direct evidence) dan tidak langsung (indirect evidence).

“Dalam perkara-perkara, ada yang ditolak, ada yang belum diterima dengan argumen-argumen yang belum seragam dan sebagainya. Penerapan itu saya melihat di Peraturan KPPU ada perubahan yang berkaitan dengan alat bukti. Yang saya ingin bicarakan sekarang adalah bukti petunjuk. Mampu nggak melindungi kepentingan KPPU ketika akan menggunakan indirect evidence,” ungkap R Dwiyanto Prihartono.

Apalagi, yang diadili oleh KPPU adalah masalah persaingan bisnis yang memiliki sengkarut yang rumit.

“Kalau baca putusan KPPU, sangat kompleks, sangat tinggi, titik hubungan sangat tinggi. Alat bukti tidak langsung bisa diberlakukan hukum yang berlaku,” beber R Dwiyanto Prihartono.

Ada juga yang pernah mempersoalkan ‘penyelidikan/penyidikan’ dalam KPPU itu ke Mahkamah Konstitusi (MK), apakah bagian dari pro-justitia atau bukan. Dalam putusan MK di 2016, MK menyatakan ‘penyelidikan/penyidikan’ di klausul tersebut bukan pidana tapi proses administrasi.

“Tapi dalam UU Ciptaker, belum dilakukan perubahan. Sehingga proses pemeriksaan dan Putusan KPPU di majelisnya, punya ambigutas. Di situ bisa diserahkan ke penyidik, jadi bukti permulaan yang cukup. Tapi bisa keberatan ke Pengadilan Negeri konteksnya perdata, dan kasasi. Ambigu. Jadi ini mainnya pidana, perdata atau di mana,” urai R Dwiyanto Prihartono.

Hadir dalam seminar itu sejumlah pakar hukum di bidang persaingan usaha. Yaitu Guru Besar UI Prof Kurnia Toha, Anggota KPPU Dinni Melanie dan praktisi hukum Dyah Ayu Paramita.

“Kami berkomitmen menyelenggarakan kegiatan yang untuk meningkatkan kualitas advokat Indonesia. Di tangan advokat Indonesia juga lah, harapan Indonesia untuk maju, berkeadilan, disandarkan,” kata Kabid Pendidikan Berkelanjutan DPN Peradi, Hendronoto Soesabdo.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent