Benarkah proyek KCJB rugikan Indonesia?
JI–Jakarta. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dinilai telah melenceng dari perencanaan dan justru merugikan Indonesia. Awalnya, proyek ini digadang-gadang akan menguntungkan Indonesia. Namun, ternyata proyek kereta cepat justru menyisakan beban negara karena utang ke Cina dikenakan bunga cukup tinggi dan belakangan mesti dijamin oleh negara.
Hal itu disampaikan oleh Ekonom, yang juga Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono. Menurut Yusuf, penandatanganan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023, telah membuat Indonesia benar-benar masuk dalam jebakan utang Cina. “Di mana pemerintah terpaksa menuruti seluruh keinginan pihak Cina agar proyek ini selesai dan tidak mangkrak,” ujar dia melalui pesan WhatsApp.
Lantas sebenarnya, berapa bunga Kereta Cepat Jakarta-Bandung? Melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 tahun 2023 yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah memberikan jaminan atas utang untuk menutupi pembengkakan biaya (cost overrun) percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 tahun 2023 yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah memberikan jaminan atas utang untuk menutupi pembengkakan biaya (cost overrun) percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Namun, penjaminan itu justru dinilai dapat memberi beban terhadap APBN karena bunga yang ditentukan cukup tinggi. “Penjaminan atas utang proyek kereta cepat dari Cina ini akan memberi tambahan beban tidak kecil terhadap APBN karena utang ke Cina dikenakan bunga hingga 3,4 persen,” ujar Yusuf.
Yusuf mengatakan, penjaminan ini berbeda jauh dari tawaran Jepang. Awalnya, berdasarkan perhitungan Jepang, nilai investasi pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah US$ 6,2 miliar atau sekitar Rp 91 triliun di mana 75 persen akan dibiayai Jepang dengan bunga pinjaman 0,1 persen per tahun.
Di tengah jalan, Cina masuk dengan tawaran nilai investasi lebih murah yaitu US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 81 triliun di mana 40 persen investasi Cina dengan bunga 2 persen per tahun dengan skema business to business. Akhirnya, pemerintah Indonesia memilih Cina untuk mengerjakan proyek tersebut. Belakangan, terjadi pembengkakan atau cost overrun (kelebihan biaya) sehingga duit untuk pembangunan kereta cepat tersebut menjadi di atas Rp 100 triliun. Sehingga dibutuhkan suntikan dana tambahan yang dipinjam dari China Development Bank dengan dengan bunga 3,4 persen per tahun.
Menurut Yusuf, mahalnya biaya dan tingginya bunga pinjaman tidak sebanding dengan nilai profit dari proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Pasalnya, tingkat kebutuhan publik terhadap kereta cepat Jakarta-Bandung belum tinggi sehingga moda transportasi ini diprediksi akan sepi penumpang jika harga tiketnya mahal.
Namun, jika tiket diturunkan akan tetap butuh waktu lama untuk balik modal. Jika tiket diberi subsidi akan menambah beban keuangan pemerintah. Belakangan, pemerintah menandatangani jaminan utang pembiayaan kereta kilat tersebut.
Yusuf menuturkan, risiko fiskal dari penjaminan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau utang proyek kereta cepat ini tidak bisa diremehkan. “Terlebih ketika beban APBN kini sudah sangat berat,” tutur Yusuf.
Yusuf melanjutkan, untuk membayar bunga utang saja pada APBN 2024 diproyeksikan Rp 497,3 triliun atau sekitar 22 persen dari penerimaan perpajakan. Dengan demikian, akibat bunga pinjaman sebesar 3,4 persen itu, maka ruang fiskal pemerintah akan semakin tergerus dengan banyaknya beban utang terselubung (contingent liabilities), seperti penjaminan terhadap proyek kereta cepat ini.
Diketahui, konsorsium Indonesia dan Cina sebelumnya menyepakati biaya pembengkakan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung USD 1,2 miliar atau setara Rp 18,2 triliun. Dari pembengkakan biaya proyek itu, total pinjaman Indonesia ke Cina Development Bank (CDB) adalah sekitar US$ 560 juta. Sementara sisanya ditanggung konsorsium Cina. Pemerintah pun sempat melakukan negosiasi dengan CDB untuk menurunkan suku bunga pinjaman proyek KCJB. Melalui negosiasi tersebut, Indonesia berharap CDB menurunkan interest rate menjadi 2 persen.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahkan berangkat ke Beijing, Cina untuk bernegosiasi dengan CDB. Namun hasil pertemuan itu tak sesuai harapan. CDB hanya bersedia menurunkan suku bunga menjadi 3,4 persen.
Kendati negosiasi bunga berjalan alot, namun Luhut sadar keinginan Indonesia untuk memperoleh suku bunga pinjaman 2 persen memang berpotensi tak tercapai. Apalagi menurut dia, tingkat suku bunga pinjaman dari lembaga keuangan lain di luar CBD bisa mencapai 6 persen.
Sementara, Juru Bicara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo buka suara soal penandatanganan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 yang menuai kritik dari beberapa pihak. Melalui akun Twitternya, ia menyindir pihak yang mempersoalkan percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana KCJB.
“Wah penjaminan pemerintah untuk percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana KCJB dipersoalkan? Kurang piknik,” cuit Prastowo melalui akun Twitter-nya @prastow. Tempo diizinkan Prastowo untuk mengutipnya.
Menurut dia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 itu bukan yang pertama. Karena, sebelumnya pemerintah juga sudah biasa memberikan penjaminan proyek infrastruktur, seperti Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Batu Bara PT Perusahaan Listrik Negara (Perseo) atau PT PLN 10.000 megawatt tahap 1 dan 2, Proyek Jalan Tol Trans Sumatera, Proyek LRT Jabodebek, Proyek Geothermal atau PLTP Dieng 2 dan Patuha, Proyek Penguatan Jaringan Kelistrikan, dan lainnya.