UMP DKI 2023 HANYA NAIK 5,6%, BURUH MENOLAK KARENA TIDAK LAYAK
JI-Jakarta. Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) menyatakan sikap menolak penetapan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2023, yang hanya naik 5,6% . Alasan penolakan karena angka tersebut masih sangat jauh dari kata layak untuk biaya hidup seorang buruh yang tinggal di Jakarta. Bagaimana mungkin buruh bisa memenuhi kebutuhan hidupnya untuk sejahtera, jika kenaikan UMP masih jauh di bawah inflasi dan pertumbuhan ekonomi? Artinya, buruh akan selalu miskin dan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya. Demikian disampaikan oleh Mirah Sumirat, SE, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) dalam keterangan pers tertulis kepada media (01/12/2022).
Mirah Sumirat menegaskan, seharusnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berani menetapkan kenaikan UMP tahun 2023, sebesar 10,5%. Banyak yang dapat dijadikan argumentasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, antara lain karena biaya hidup di Jakarta yang semakin tinggi, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan mulai pulihnya dunia usaha pasca dilanda pandemi Covid 19. Selain itu juga karena DKI Jakarta adalah barometer bagi daerah lain, termasuk dalam penetapan kenaikan UMP.
ASPEK Indonesia mendesak Pejabat Gubernur DKI Jakarta untuk berani menerbitkan Surat Keputusan Gubernur yang baru, untuk merevisi
Keputusan Gubernur Nomor 1153 Tahun 2022, tegas Mirah Sumirat.
Surat Keputusan Gubernur yang baru perlu segera diterbitkan dengan mempertimbangkan rekomendasi Dewan Pengupahan DKI Jakarta dari unsur serikat pekerja. Rekomendasi kenaikan UMP DKI Jakarta sebesar 10,5%, telah disampaikan oleh unsur serikat pekerja dalam sidang Dewan Pengupahan yang dilaksanakan pada Selasa (23/11) di Balai Kota DKI Jakarta.
Seharusnya Pejabat Gubernur DKI Jakarta turun ke bawah, untuk melihat bagaimana sulitnya kehidupan buruh yang kenaikan upahnya terus ditekan oleh peraturan yang tidak berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta jangan sampai kehilangan kepekaan dan kehilangan empati, ketika menerbitkan keputusan yang akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat luas, pungkas Mirah Sumirat.