RENCANA MEMETAKAN MASJID DAN PONDOK PESANTREN, BUKTI ISLAMOPHOBIA?
Foto: BNPT, sumber foto: BNPT
Jakarta. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI membeberkan 198 pondok pesantren yang terafiliasi dengan sejumlah jaringan teroris merupakan data intelijen yang dikumpulkan pihaknya untuk dilakukan pemantauan.
Direktur Pencegahan BNPT RI, Brigjen Ahmad Nurwakhid mengatakan ponpes-ponpes itu tersebar di seluruh Indonesia. Penilaian itu dilakukan berdasarkan sejumlah indikator berkaitan radikalisme suatu kelompok.
“Terafiliasi 198 itu antara lain bisa jadi terafiliasi secara ideologi tadi. Kedua, bisa jadi mereka terafiliasi memang ada kolaborasi, ada koneksi ataupun kerja sama antara mereka,” kata Nurwakhid saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (27/1) malam.
Selain itu, kata dia, terdapat juga sejumlah jaringan teroris yang eksis di Indonesia mendirikan pondok pesantren untuk mengembangkan ajarannya secara terselubung.
Kegiatan ponpes itu kemudian disamarkan sehingga tak terlihat terkait dengan suatu kelompok teroris tertentu. Mereka, disebutkan Nurwakhid, berkamuflase sebagai salah satu upaya untuk memuluskan agendanya. BNPT menilai, beberapa pengurus yang bertugas di Ponpes tersebut diantaranya merupakan anggota aktif yang tergabung dalam organisasi teroris tertentu.
“Pesantren ini dibangun jaringan teroris tapi berkamuflase. Mereka dirikan seolah-olah moderat atau dengan cara-cara legal, seperti JI (Jamaah Islamiyah). Kan, banyak seperti itu. Ini namanya strategi tamkin, atau taqiyyah atau menyamar. Bersembunyi atau berkamuflase untuk menyembunyikan agendanya,” tambah dia.
Adapun beberapa jaringan teroris yang dimaksud BNPT seperti Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), hingga Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Menurutnya, sejumlah indikator yang menjadi penilaian BNPT untuk memantau ratusan ponpes itu ialah pertama memiliki motif untuk masuk ke jaringan teroris. Yakni, kesamaan ideologis, politik ataupun gangguan keamanan.
Ideologi dimaksud BNPT itu adalah pemikiran takfiri, atau mengafirkan orang yang berbeda dengan kelompoknya. Ideologi itu, kata dia, tercermin dari sikap intoleran atau tidak menghargai perbedaan.
Kemudian, mereka pun disebutkan anti pemerintahan yang sah hingga membuat ketidakpercayaan di tengah masyarakat. Lalu, ponpes yang terindikasi juga dimungkinkan berisi orang-orang yang anti-Pancasila dan sudah pro khilafah. “Dengan menyebarkan hoaks, konten-konten hate speech, adu domba, dan sebagainya,” jelas Nurwakhid.
Selain itu, kata Nurkwakhid, terdapat juga beberapa ponpes yang melakukan kegiatan penggalangan dana-dana untuk kemudian disalurkan ke jaringan teroris sebagai biaya operasional. Metode tersebut, menjadi salah satu yang dipantau oleh BNPT.
“Jadi 198 (Ponpes) itu variasinya macam-macam tadi. Ada yang ketidaktahuan, ada yang memang terafilias, ada yang terkoneksi dan berafiliasi bagian dari jaringan teroris tadi,” tambahnya. Namun saat dikonfirmasi lebih lanjut, Nurwakhid tak dapat merinci lokasi ataupun titik-titik wilayah dari 198 Ponpes yang dimaksudkannya tersebut.
Menurutnya, informasi tersebut merupakan data intelijen yang tak bisa menjadi konsumsi publik. Ia mengatakan, BNPT membeberkan data tersebut dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi III DPR RI sebagai bentuk akuntabilitas kerja.
Dia mengatakan jika informasi tersebut tersebar ke publik maka hal itu menjadi peringatan kepada masyarakat bahwa radikalisme dan terorisme menjamur sehingga harus diwaspadai. “Yang benar-benar dari bagian teror itu dari data intelijen kami. Kecuali pesantren itu sudah terbukti secara hukum dan dapat vonis pengadilan, baru di-publish,” jelasnya.
Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Polri, Brigjen Pol Umar Effendi membeberkan pihaknya akan melakukan pemetaan terhadap masjid-masjid untuk mencegah penyebaran paham terorisme.
Pernyataan itu disampaikan dalam agenda Halaqah Kebangsaan Optimalisasi Islam Wasathiyah dalam Mencegah Ekstremisme dan Terorisme yang digelar MUI disiarkan di kanal YouTube MUI, Rabu (26/1). “Kemarin kita juga sepakat dalam diskusi mapping masjid, Pak. Mohon maaf,” ujar Umar.
Namun di dalam tayangan Youtube itu, Umar tak merinci kategori dan lokasi masjid yang masuk dalam pemetaan Polri. Dia hanya mengatakan ada masjid yang cenderung ‘keras’. “Masjid warnanya macam-macam ada yang hijau, ada yang keras, ada yang semi keras dan sebagainya. Ini jadi perhatian kita semua,” kata dia.
Rencana Umar itu untuk melengkapi pernyataannya bahwa penyebaran paham terorisme di Indonesia saat ini dilakukan melalui berbagai cara. Salah satu yang paling marak terjadi yakni lewat media sosial.
Ia menilai media sosial punya kerawanan tinggi ketimbang media konservatif lainnya. Pasalnya, siapa saja bisa menuliskan pandangannya di media sosial, termasuk dari kelompok terorisme hingga mendapat simpati.
“Bisa lewat chat medsos, hoaks blasting penyebaran kebencian, dan angkat isu kegagalan program pemerintah. Karena siapa saja dapat jadi penulis untuk publish apa yang diinginkan,” kata Umar.
Selain itu, lanjut dia, cara-cara lama seperti acara bedah buku, diskusi dan kajian juga masih kerap dipakai. Lingkungan tempat tinggal turut menjadi faktor paham terorisme diterima sebagian kalangan. “Bisa dari keluarga, lingkungan kerja, sekolah, aktivitas keagamaan organisasi, hobi, dan sebagainya,” kata Umar.
Beberapa ormas Islam turut menanggapi pernyataan Umar tersebut. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Fahrur Rozi berharap kepolisian tidak hanya melakukan pemetaan masjid untuk mencegah penyebaran paham radikal, tetapi juga tempat ibadah agama lain. Ia menilai upaya itu perlu jika memang ada indikasi tempat ibadah agama lain jadi tempat penyebaran paham radikal.
Fahrur tidak mempersoalkan jika kepolisian ingin melakukan pemetaan di masjid-masjid. Akan tetapi, harapannya upaya itu dilakukan dengan profesional dan benar-benar bertujuan untuk mencegah penyebaran radikalisme dan terorisme. “Ya itu wewenang mereka, sepanjang dilakukan secara obyektif dan profesional dalam rangka kewaspadaan,” kata Fahrur.
Tak hanya itu, Sekretaris Jenderal DMI Imam Addaruquthni khawatir sebagian pengurus masjid akan tersinggung dengan pemetaan Polri. Dia menyebut pemetaan bisa berdampak kurang baik secara psikologis. “Malah khawatirnya kalau terjadi efek respons yang kurang positif dari masjid-masjid kalau kegiatannya bersifat benar-benar menyasar kepada dugaan adanya terorisme dan radikalisme dari masjid,” kata Imam saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (26/1).
Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto angkat bicara mengenai rilis BNPT yang mengungkap adanya 119 Ponpes terindikasi terorisme. Diketahui sebelumnya, dalam rapat Kepala BNPT, Komjen Pol Boy Rafli Amar menyebut ada 119 pondok pesantren (Ponpes) di seluruh Indonesia yang terafiliasi jaringan ISIS.
“Kami menghimpun beberapa pondok pesantren yang kami duga terafiliasi dan tentunya ini merupakan bagian upaya dengan konteks intel pencegahan yang kami laksanakan di lapangan,” ujar Boy, Rabu (26/1/2022).
Menanggapi itu, Yandri mengatakan, data BNPT tersebut seharusnya didalami lebih lanjut dan tidak terburu-buru diekspose ke publik karena justru dapat menimbulkan keresahan dan prasangka.
“Dengan BNPT mengekspose data itu ke publik maka yang terjadi sekarang justru pesantren mendapatkan stigma negatif seakan-akan berkaitan dengan teroris. Niatnya menyelesaikan masalah, tapi justru yang muncul masalah baru,” kata Yandri dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (29/1/2022).
Lebih lanjut, Waketum PAN ini meminta BNPT mengedepankan dialog bersama pihak pondok pesantren maupun pengasuhnya untuk bersama-sama menghadapi potensi terorisme dan radikalisme di Indonesia.
“Jika benar ada potensi radikalisme dan terorisme di pesantren ini kan isu yang sensitif. Seharusnya Kepala BNPT mengedepankan dialog bersama Kyai, Ulama dan
Sebagai Ketua Komisi VIII DPR RI saya siap menjadi fasilitator dialog antara Pesantren dan BNPT serta umat Islam secara umum. Jangan sampai yang ada justru saling curiga dan prasangka,” tegas Yandri.
Anggota DPR RI Dapil Serang-Cilegon ini juga meminta BNPT terbuka mengenai parameter yang digunakan ketika mengkategorikan pesantren terafiliasi dengan terorisme.
Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) menyoroti pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) soal ratusan pondok pesantren terafiliasi organisasi teroris. PP Persis mendesak BNPT melampirkan fakta hukum di mana data dan kriterianya bisa diuji publik.
Wakil Ketua Umum PP Persis, KH Jeje Zaenudin, mengatakan tidak meragukan informasi BNPT soal pesantren terafiliasi organisasi teroris berbasis data. Oleh karenanya, PP Persis meminta agar BNPT menginformasikan lebih lanjut dan membuka data pesantren yang disebut berafiliasi dengan organisasi teroris kepada publik.
“Bisa saja perumusan kriteria pondok pesantren yang didaftar berafiliasi kepada kelompok teroris itu bersifat subjektif dan sepihak. Sehingga memungkinkan bisa diklarifikasi bahkan digugat oleh pihak pondok pesantren tersebut,” kata Kiai Jeje melalui pesan tertulis kepada Republika.co.id, Jumat (28/1/2022).
Menurutnya, Indonesia adalah negara hukum. Karenanya, penetapan suatu lembaga pendidikan pesantren divonis sebagai lembaga berafiliasi teroris juga harus dalam kerangka hukum yang objektif, bukan berdasar analisis subjektif.
Kiai Jeje menjelaskan, terorisme termasuk tindak kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Menurutnya, pernyataan sepihak tanpa adanya fakta hukum hanya akan menurunkan kinerja penanggulangan terorisme di Indonesia.
“Saya khawatir cara-cara seperti ini akan memperkuat kecurigaan masyarakat tentang adanya upaya mendiskreditkan kelompok Islam tertentu. Yang rugi tentu bukan hanya BNPT, tetapi keseluruhan program negara yang bisa saja jadi gagal menangani masalah terorisme sebenarnya,” ujarnya.
PP Persis menekankan, penyebutan sebuah lembaga pesantren berafiliasi dengan teroris harus benar-benar terverifikasi, baik data dan kriterianya. Apa yang dimaksud berafiliasi dengan tindakan teror, apa saja yang telah, akan, atau mungkin terjadi. “Jangan sampai dipahami bias,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat ini.
Kiai Jeje menilai, penetapan suatu lembaga pendidikan berafiliasi pada teroris memiliki konsekuensi sangat besar dan berat yang ditanggung oleh lembaga atau pondok pesantren yang diduga terafiliasi organisasi teroris. Sehingga sangat layak bagi pesantren tertuduh melayangkan gugatan.
“Saya kira layak jika mereka yang tidak merasa dan tidak menerima tuduhan itu memproses secara hukum, sebab nama baik mereka telah tercemar. Sehingga bisa terbukti di pengadilan benar tidaknya lembaga pondok itu dianggap berafiliasi kepada teroris,” ujar Kiai Jeje.
Menurut pendapatnya, menyatakan lembaga pendidikan berafiliasi kepada kelompok teroris tidak semudah membalikkan telapak tangan, harus ada pembuktian hukum yang menguatkan. Jika hanya karena ada satu dua pengajar atau alumninya yang terbukti gabung dengan kelompok teroris, hal itu tidak bisa jadi dasar tuduhan pesantren tersebut berafiliasi kepada teroris.
“Apakah jika ada banyak alumni sebuah lembaga perguruan tinggi yang menjadi aktivis pro komunisme lantas lembaga perguruan tinggi tersebut berhak didaftar sebagai lembaga pendidikan terafiliasi kelompok komunis yang diharamkan di wilayah hukum Indonesia? Atau karena dosen atau alumni suatu lembaga kampus banyak yang korupsi lantas lembaga pendidikan itu dicap sebagai kampus pendidikan koruptor? Tentunya tidak seperti itu,” katanya.
BNPT mencatat sedikitnya 198 pondok pesantren terafiliasi dengan sejumlah organisasi teroris, baik dalam dan luar negeri termasuk ISIS. Hal itu disampaikan Kepala BNPT, Komjen Boy Rafli Amar dalam rapat dengan Komisi III DPR pada Selasa (25/1). Namun, Boy tidak mengungkap lebih lanjut terkait identitas atau nama pesantren yang dimaksud.
“Kami menghimpun ponpes yang kami duga terafiliasi dan tentunya ini juga merupakan bagian upaya-upaya dalam konteks intel pencegahan yang kami laksanakan di lapangan,” kata Komjen Boy.
BNPT mencatat, dari total 198 pesantren tersebut, 11 Ponpes berafiliasi Jamaah Ansharul Khilafah (JAK), 68 Ponpes terafiliasi Jamaah Islamiyah (JI) dan 119 Ponpes terafiliasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan simpatisan ISIS.
Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri, Yusharto Huntoyungo mengatakan, pencegahan dan penanggulangan ekstremisme perlu dilakukan hingga ke tingkat desa. Berdasarkan data Ditjen Bina Pemdes, jumlah desa di Indonesia 74.962. Desa -desa itu memiliki perangkat desa, seperti PKK, Posyandu, dan Karang Taruna yang menjadi lembaga kemasyarakatan desa.
“Dengan demikian, akan lebih mendukung proses pembinaan kepada masyarakat di desa. Jadi diharapkan penanganan ekstremisme dan tindakan berbasis kekerasan yang mengarah kepada terorisme ini tidak hanya sampai pada tingkat pemerintah daerah, tetapi juga sampai dengan tingkat desa,” kata Yusharto sebagaimana dikutip dari keterangan persnya Jumat (28/1/2022).
Yusharto berkunjung ke kantor Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Jumat. Yusharto dan Kepala BNPT, Boy Rafli Amar, membahas Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.
Yusharto mengatakan, kerja sama itu bertujuan untuk menumbuhkan rasa saling menghargai dan rasa nasionalisme kebangsaan. Ia menyatakan, akan ada desa-desa yang dipilih sebagai pilot project penanaman dan pengembangan nilai-nilai kebangsaan. Boy mengemukakan, BNPT telah menjadi kerja sama dengan berbagai kementerian/lembaga dalam pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang dapat mengarah kepada terorisme. Ia mengatakan, tujuan kerja sama tersebut untuk menghadirkan negara di tengah kehidupan masyarakat. Melalui kerja sama itu pula diharapkan masyarakat dapat menyadari dan memahami paham radikalisme atau ekstremisme yang dapat memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa.
Boy mengungkapkan, salah satu bentuk kerja sama dengan kementerian/lembaga dalam upaya menangkal paham radikalisme yang berkembang di tengah masyarakat adalah melalui program Wadah Akur Rukun Usaha Nurani Gelorakan NKRI (Warung NKRI). Boy meminta semua pihak, termasuk pemerintah daerah, serius mencegah penyebaran radikalisme. Menurut Yusharto, program Warung NKRI dapat diterapkan di tingkat desa.
Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al Habsyi meminta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar tidak membuka kegaduhan di masyarakat di penghujung tahun politik.
Hal ini Aboe Bakar sampaikan guna menanggapi pernyataan Kepala BNPT, Komjen Boy Rafli Amar dalam rapat dengan Komisi III DPR yang menyebut 198 pesantren terafiliasi teroris.
“Jangan mudah membuat gejolak dan kegaduhan yang cukup merepotkan di ujung-ujung tahun politik seperti ini,” kata Aboe Bakar dalam konferensi pers di Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (31/1).
Menurut Aboe Bakar pernyataan yang dilontarkan oleh Boy merupakan topik yang sensitif dan hanya dibicarakan dengan intelijen. Kalaupun dibahas dengan Komisi III kata Aboe Bakar, semestinya dilakukan secara terbatas dan tidak dipublikasikan secara luas. “Saya ingin ingatkan kepada BNPT kalau ada informasi itu cukup ditahan dulu nanti didengarkan,” kata Aboe Bakar.
Pada kesempatan tersebut, Aboe Bakar juga mempertanyakan apakah benar 198 pesantren itu terafiliasi dengan teroris dan berapa banyak jumlah penduduk yang terpapar terorisme.
Ia lantas mengingatkan bahwa kemerdekaan Indonesia juga diperjuangkan oleh orang-orang dari pesantren. Meski demikian, Aboe Bakar menyatakan pihaknya tetap menerima informasi BNPT sebagai bahan evaluasi.
“Sebab kalau 198 (pesantren) artinya berapa banyak yang terpapar terorisme, nah apa benar?” ujarnya. Hal senada disampaikan Ketua DPP PPP, Achmad Baidowi yang menegaskan bahwa mengetahui daftar 198 pesantren diduga terafiliasi teroris tersebut penting, untuk menghilangkan kecurigaan sesama pesantren yang berpotensi mengganggu stabilitas pendidikan di pendidikan.
“BNPT harus membuka data kepada publik nama-nama 198 ponpes yang dinilai berafiliasi dengan gerakan terorisme,” kata Baidowi dalam keterangannya, Senin (31/1).
Sebaliknya, menurut Awiek, sapaan akrabnya, ketidaterbukaan dari BNPT justru akan menimbulkan justifikasi publik bahwa pesantren merupakan lembaga yang menjadi bibit lahirnya para teroris. Padahal, mayoritas pesantren umumnya mengajarkan model Islam yang inklusif atau rahmatan lil alamin.
“Ketidakterbukaan data dari BNPT berpotensi melahirkan justifikasi publik bahwa pesantren menjadi bibit teroris. Padahal, faktanya mayoritas pesantren mengajarkan Islam Rahmatan lil’alamin bukan mengajarkan terorisme,” ucap Awiek. Lebih lanjut, dia menuturkan, pembukaan data kepada publik juga penting untuk menghindari fitnah di masyarakat terhadap keberlangsungan pesantren. Sebab, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang telah ada sejak ratusan tahun bahkan sebelum Indonesia merdeka.
“Pesantren sudah ratusan tahun mengabdi kepada masyarakat dalam rangka peningkatan kecerdasan umat, jauh sebelum Indonesia merdeka,” kata dia.
Mabes Polri berencana memetakan masjid-masjid di Indonesia demi mencegah paham radikal dan ekstrem. Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyebut penanganan radikalisme di rumah ibadah bisa merujuk pada Peraturan Bersama Menteri (PBM) tentang rumah ibadah.
“Sebenarnya kan pengaturan rumah ibadah sudah ada aturannya. Itu peraturan bersama Menteri Agama dan Mendagri. Sebenarnya PBM itu merupakan kesepakatan majelis agama bagaimana menangani (radikalisme),” kata Ma’ruf Amin di sela-sela kunjungannya di Makassar, Senin (31/1/2022).
Ma’ruf mengatakan PBM itu memuat soal pengawasan rumah ibadah di Indonesia. Karena itu, menurut Ma’ruf, sepanjang aturan ini dijalankan, konflik antar-rumah ibadah dan kekhawatiran soal munculnya radikalisme dapat dihindari.
“Karena sudah detail, jadi solusinya sudah dibuat, tapi kadang-kadang orang tidak patuh, nah kalau tidak patuh ditegakkan hukumnya law and enforcement-nya,” tegas dia.
Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla (JK) menegaskan, tidak ada paham radikalisme yang pernah mengacau negara lewat masjid. “Tidak ada yang pernah mengacau negara itu lewat masjid. Tak pernah ada baiat di masjid, macam-macam,” kata JK usai salat Jumat dan silaturrahmi dengan Pengurus Masjid Al-Markaz Al-Islam di Makassar, Jumat (28/01/2022).
JK menambahkan, aksi radikalisme justru berasal dari rumah kontrakan. Seperti aksi-aksi pembuatan bom, membentuk kelompok-kelompok dan jaringan, bahkan membuat aksi radikalisme. Sehingga JK mendorong untuk memeriksa semua rumah kontrakan. “Kalau masalahnya begitu. Periksa semua rumah-rumah kontrakan,” tegas JK lagi (Red/berbagai sumber).