Hati-Hati Penurunan Elektabilitasi Pada Perang Pilpres
Hari ini, 23 September 2018 sampai 13 April 2019, jagad media sosial dan media konvensional di Indonesia akan diwarnai dengan propaganda, psy-war, cipta opini dan kontra opini bahkan sampai “debat kusir” kemungkinan juga akan terjadi, termasuk di level-level masyarakat yang juga memiliki dua pilihan dalam Pilpres yaitu memilih Joko Widodo ataukah memilih Prabowo Subianto. Oleh karena itu, “news setting” ataupun strategi berkampanye masing-masing kubu akan saling dicatat oleh masing-masing pihak serta akan “diblow up” jika hal tersebut mendukung Capres dan Cawapres yang didukungnya. “Political appointy” dan “judi politik” juga akan terjadi di Pilpres 2019, terutama di daerah-daerah yang Kepala Daerahnya sudah mendeklarasikan akan mendukung salah satu Capres, maka mesin birokrasinya akan mengikutinya sesuai “political appointy” yang diberikan.
Jika Capresnya menang, mereka mendapatkan “political gain”, namun jika Capresnya kalah mereka akan “dibangkucadangkan” selama 5 tahun ke depan. Pilkada 2017 dan 2018 sudah memberikan sinyal tersebut. Inilah “judi politik” yang dimaksud. Profesionalisme, netralitas dan keberanian Bawaslu RI dan jajarannya sampai kabupaten/kota akan diuji dalam Pilpres 2019 ini. Bawaslu RI tanggal 25 September 2018 akan merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilu 2019, dimana skornya berada di level rawan sedang sampai sedang tinggi.
Instagram, Twitter dan Facebook jelas akan menjadi ranah “pertempuran” netizen yang pro kepada Jokowi ataupun Prabowo, namun bisa juga akan semakin merebak banyaknya botmaggeddon atau melimpahnya fake account atau robot account dalam perang di media massa. Hasil mengejutkan ditunjukkan oleh survei Mata Najwa melalui akun media sosial guna mengetahui respon pengguna media sosial pada pilihan Presiden 2019 dengan memanfaatkan tiga media sosial, yakni Facebook, Twitter dan Instagram. Dari ketiga media sosial tersebut, resmi diumumkan melalui Twitter @MataNajwa. Di Instagram, polling berlangsung 24 jam, sedangkan di Facebook dan twitter, polling berlangsung 48 jam. Untuk hasilnya polling Pilpres 2019, pasangan nomor urut 1 Jokowi-Ma’ruf Amin memenangi satu polling di media sosial Twitter. Sementara pasangan nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga menang telak di media sosial Facebook dan Instagram. Sedangkan polling di Twitter, Jokowi-Ma’ruf Amin mendapatkan 52 persen suara, Prabowo-Sandiaga 48 persen. Di Facebook, Jokowi mendapatkan 27 persen sementara Prabowo mendapatkan 73 persen. Hasil telak juga didapatkan Prabowo-Sandi di akun Instagram. Melalui fitur poliing di Instastory @narasi.tv, pasangan nomor urut 2 memperoleh 62 persen vote, sementara pasangan nomor 1 memperoleh 38 persen.
Hasil survei atau polling melalui media sosial ini juga akan semakin marak dan hasilnya sudah pasti “membingungkan” calon pemilih, terutama mereka yang kurang mendapatkan literasi Medsos yang memadai atau kurang banyak sumber berita yang dapat diaksesnya untuk melakukan crosscheck dan recheck.
Jangan buat blunder politik, taruhannya elektabilitas
Kesalahan dalam membuat kebijakan, memilih diksi yang kurang tepat dan mengomentari permasalahan yang berkembang secara kurang proporsional bahkan “emosional” dalam menangani aksi-aksi massa, jelas akan membuat melorotnya elektabilitas dan akseptabilitas masyarakat, terutama terhadap petahana. Di sisi lawan politiknya, menurunnya elektabilitas dan simpati akan terjadi jika pihak “oposisi” dalam melakukan kritik terlalu berlebihan dan kurang masuk akal.
Salah satu contoh yang dapat menurunkan elektabilitas adalah kecaman Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) terhadap aparat kepolisian yang dianggap tidak manusiawi terhadap aksi para mahasiswa yang menyoal kondisi bangsa saat ini di Medan dan Bengkulu. Aliansi BEM SI mengecam mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan meminta Kapolri mencopot jabatan setiap polisi yang memukul, menginjak, merusak hak-hak demorasi warga negara Indonesia. Mengapa hal ini dapat menurunkan elektabilitas? Masyarakat mengetahui bahwa aparat kepolisian adalah aparat pemerintah atau negara, sehingga mereka tetap berharap Polri netral, profesional dan proporsional dalam menangani berbagai perkembangan Sikon terkait Pilpres 2019.
Kedua, apapun statemen atau keterangan dari pihak pemerintah, akan dicatat dan dianalisis bahwa dijadikan bahan kampanye oleh lawan politik petahana dalam Pilpres 2018. Seperti misalnya Prabowo Subianto dalam acara membahas bukunya berjudul “Paradoks Indonesia” di Jakarta (22/9/2018) mengungkapkan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pernah menyampaikan data kerugian negara sebesar Rp 2.000 triliun di sektor perikanan. Walaupun ucapan Prabowo ini sudah “diluruskan” oleh salah satu menteri yang berkinerja positif tersebut.
Selain mencontohkan Susi, Prabowo mengutip ucapan Menko Perekonomian Darmin Nasution. Prabowo mengatakan, Darmin mengakui ada dana devisa yang tidak kembali ke dalam negeri. Tak hanya itu, menurut 08, Kementerian Keuangan juga pernah menyatakan ada uang negara sebesar Rp 11.000 triliun di luar negeri. Prabowo yakin ucapannya tak mengada-ada.
Di kubu Prabowo Subianto, berbagai kalangan juga menilai telah melakukan blunder politik melalui kritik dan manuver yang dilakukan pendukungnya salah satunya adalah Waketum Gerindra Fadli Zon yang mem-posting video goyang potong bebek angsa ‘Ternyata Mereka PKI’ yang langsung direspons secara lugas oleh Tenaga Ahli Kedeputian IV KSP Ali Mochtar Ngabalin dengan menilai Fadli kehabisan akal dalam menyerang Joko Widodo. Ngabalin berharap serangan Fadli yang dialamatkan kepada Jokowi justru membuat rakyat semakin bersimpati mendukung Jokowi. Tidak hanya itu saja, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dikabarkan akan “mempolisikan” Fadli Zon.
Contoh lainnya adalah aktivis Ratna Sarumpaet yang mempersoalkan dana bantuan untuk pembangunan Papua sebesar Rp 23 triliun diblokir pemerintah. Menurutnya, dana tersebut dari World Bank (Bank Dunia) yang ditransfer ke rekening milik seseorang bernama Ruben PS Marey. Sebelumnya, Ruben mendatangi Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC) dan menduga dana di rekeningnya untuk bantuan Papua telah diblokir sepihak. Uang itu, kata Ruben, ditransfer oleh World Bank atau Bank Dunia ke rekening pribadinya. Berdasarkan laporan ini, Ratna menuding pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah memblokir rekening tersebut.
Langkah Ratna Sarumpaet yang namanya masuk dalam daftar Timses Prabowo-Sandi ini langsung dijawab tegas oleh Bank Dunia. Terkait dengan tuduhan yang keliru baru-baru ini bahwa Bank Dunia terlibat transaksi keuangan dengan pihak perorangan di Indonesia, dengan ini Bank Dunia kantor Jakarta memberikan klarifikasi bahwa tuduhan tersebut tidak benar,” bunyi keterangan tertulis Bank Dunia, Jumat (21/9/2018). Bank Dunia membantah tudingan tersebut. Tuduhan tersebut keliru karena Bank Dunia tidak terlibat transaksi dengan perorangan.
“Terkait dengan tuduhan yang keliru baru-baru ini bahwa Bank Dunia terlibat transaksi keuangan dengan pihak perorangan di Indonesia, dengan ini Bank Dunia kantor Jakarta memberikan klarifikasi bahwa tuduhan tersebut tidak benar,” bunyi keterangan tertulis Bank Dunia, Jumat (21/9/2018).
Bank Dunia bukan merupakan bank pada umumnya yang memiliki kemampuan menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya. Bank Dunia merupakan sebuah lembaga yang bertugas membantu penanggulangan kemiskinan dan pembangunan di negara berkembang. “Bank Dunia bukan merupakan bank dalam arti yang biasa. Sistem keseluruhan dari Bank Dunia didesain dan dilaksanakan untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan serta mendukung pembangunan negara-negara berkembang di dunia, bukan dengan pihak perorangan,” tulis keterangan tersebut. Pihak Kemenkeu melalui Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti membantah tudingan Ratna. Nufransa menegaskan Kemenkeu tak menangani rekening pribadi. Selain itu, Kemenkeu sudah menanyakan hal ini kepada World Bank, yang juga membantah tudingan Ratna.
Selanjutnya, “debat politik ekonomi” yang diperkirakan akan memanas dan menjadi idola dalam materi kampanye di Pilpres 2019 ini adalah masih utang pemerintah. Total utang pemerintah hingga Agustus 2018 sudah mencapai Rp 4.363,19 triliun. Angka itu meningkat Rp 537,4 triliun jika dibandingkan periode yang sama di 2017 sebesar Rp 3.825,79 triliun. Jika dilihat dalam kurun waktu 5 bulan terakhir utang pemerintah memang terus tumbuh. Detik Finance merangkum utang pemerintah berdasarkan data dari APBN Kita yang dirilis Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pada April 2018 utang pemerintah mencapai Rp 4.180,61 triliun. Angka itu bertambah Rp 46 triliun atau lebih tinggi 1,06% dari Maret yang sebesar Rp 4.136 triliun. Total utang pemerintah per April 2018 juga lebih tinggi 13,99% dibandingkan periode yang sama di 2017 sebesar Rp 3.667,41 triliun.
Namun pada Mei 2018, total utang pemerintah turun Rp 11,52 triliun menjadi Rp 4.169,09 triliun dibandingkan April 2018 yang sebesar Rp 4.180,61 triliun. Pada periode Juni 2018. Total utang pemerintah pusat kembali meningkat menjadi Rp 4.227,7 triliun. Angka itu juga tumbuh 14,06% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pada Juli 2018, utang pemerintah kembali naik menjadi Rp 4.253,02 triliun. Angka itu juga naik 12,51% secara year on year (yoy). Kemudian pada Agustus 2018 utang pemerintah melonjak lagi. Kali ini besarnya mencapai Rp 110,17 triliun dari Rp 4.253,02 triliun menjadi Rp 4.363,19 triliun. Kubu Jokowi-Ma’ruf Amin melalui salah satu Jubirnya yaitu Yusuf Lakaseng yang juga mantan aktifis Partai Rakyat Demokratik (PRD) selama Orba berkuasa ini dalam sebuah acara di TV One menyebutkan, di era Jokowi pengelolaan hutang pemerintah dilakukan secara benar, tepat sasaran dan efektif, sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Yang pasti masyarakat pemilih terutama pemilih milenial akan menaruh pilihannya pada pemimpin masa depan yang dapat memberikan harapan baru kepada bangsa Indonesia karena tantangannya ke depan yang semakin besar. Mereka akan memilih pemimpin yang visioner, demokrat dan cinta kepada rakyatnya. Mereka akan mengevaluasi dan membicarakan di kafe-kafe dan warteg soal Pilpres 2019, karena mereka tidak ingin yang tidak berkualitas akan memimpin mereka ke depan. Siapapun itu pemimpin yang akan dipilih, adalah benar ajakan Presiden Jokowi bahwa jangan gara-gara Pilpres, maka persaudaraan kita sebagai bangsa akan hancur dan menjadi taruhannya. Elit politik juga harus memilih diksi-diksi dan berkomentar yang baik dan beradab di ranah media massa dan media sosial, termasuk komunitas netizen harus mampu menyebarkan pesan damai seperti yang diinginkan Jokowi maupun Prabowo Subianto selama Pilpres 2019. Jangan buat gaduh dan berlakulah santun. Pasti menang.
*) Mustara Sukardi, pemerhati masalah Indonesia. Tinggal di Jatisawit, Cirebon, Jawa Barat.