Perdagangan Bebas dan Kunjungan PM Australia
Perdana Menteri Australia Scott Morrison yang menggantikan Malcolm Turnbull melakukan kunjungan luar negeri pertamanya ke Indonesia untuk bertemu dengan Presiden Jokowi pada awal September 2018. Di dalam negeri, Morrison mendapat desakan dari kalangan petani Australia agar pemerintahannya menyepakati perdagangan bebas dengan Indonesia. Kesepakatan perdagangan bebas kedua negara telah dibicarakan selama 8 tahun terakhir. Desakan kalangan petani Australia kepada Scott Morrison disebabkan karena petani Australia menghendaki adanya perluasan akses pasar Asia, dan saat ini hubungan perdagangan Australia-China mengalami ketegangan, dimana para eksportir Australia saat ini kesulitan mengirim anggur dan daging sapi ke China dalam beberapa bulan terakhir. Jika ditandatangani, ini akan menjadi perjanjian perdagangan keempat yang dicapai Australia di Asia, menyusul Korea Selatan, Jepang dan China. Bagaimana sebaiknya Presiden Jokowi menyikapi hal ini ? Siapkah petani Indonesia menghadapi perdagangan bebas?
Indonesia penting bagi Australia
Buku Putih Kebijakan Luar Negeri Australia yang baru menegaskan kembali dan menekankan pentingnya hubungan Indonesia-Australia. Ini bukan hal yang baru, karena “Indonesia Country Strategy” yang dicanangkan pemerintahan Kevin Rudd pada 2013, dan strategi “Australia in the Asian Century” pemerintahan Julia Gillard pada 2012 memasukkan Indonesia ke dalam fokus kebijakan luar negeri mereka. Jika ada hal baru di Buku Putih tersebut, itu adalah seberapa dekat hubungan strategis Australia dengan Indonesia jika ditempatkan dalam konteks Indo-Pasifik.
Buku Putih itu membuat argumen bahwa Australia harus bertanggung jawab atas keamanan dan kemakmurannya sendiri, dan pada saat yang sama mengakui bahwa Australia “lebih kuat saat berbagi beban kepemimpinan dengan mitra dan teman yang terpercaya.” Sementara mitra dan teman Australua tersebar di seluruh dunia, Buku Putih dengan jelas menyebutkan fokus Australia adalah pada rekan-rekan mereka di Indo-Pasifik, dan terutama dengan negara-negara besar di kawasan ini seperti Amerika Serikat, Jepang, India, Korea Selatan, dan Indonesia.
Indonesia, menurut beberapa perkiraan, diprediksi sebagai ekonomi terbesar kelima di dunia pada tahun 2030, memiliki warga kelas menengah yang berkembang, dan berlokasi secara strategis dalam hal ukuran, signifikansi dan geografi di persimpangan Samudera Hindia dan Pasifik.
Hubungan Indonesia-Australia terjadi dalam berbagai sektor seperti ekonomi, keamanan dan berkolaborasi memperkuat institusi negara. Dalam hubungan ekonomi, Australia dan Indonesia menyelesaikan putaran 11 perundingan mengenai Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia; Di sisi keamanan, Australia menegaskan komitmen terhadap Perjanjian Lombok tahun 2006, yang menjadi dasar pertahanan dan keamanan mereka. Kedua negara memiliki kepentingan bersama dalam memerangi terorisme, perdagangan manusia, keamanan dan keamanan maritim, dan ketahanan pangan; Kedua negara juga memiliki tujuan memperdalam kolaborasi untuk memperkuat institusi dan forum regional seperti KTT Asia Timur, Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN Plus, Komunitas Ekonomi Asia Pasifik (APEC), dan Asosiasi Pelaut Samudra Hindia (IORA).
Australia sangat menginginkan perdagangan bebas dengan Indonesia bahkan kalangan oposisi di negara Kanguru tersebut juga mendukungnya. Juru bicara oposisi urusan Perdagangan dan Investasi Jason Clare mengatakan selama ini perdagangan dengan Indonesia “sangat diremehkan”. “Australia dan Indonesia seperti tetangga yang nyaris tidak saling tegur,” katanya. “Jika perjanjian ini bisa mengubah hal itu, meningkatkan perdagangan, pekerjaan dan menyatukan kedua negara, maka hal itu bagus,” ujar Clare. Sampai saat ini, Indonesia belum menjadi salah satu dari 10 mitra dagang utama Australia.
Jika ditandatangani kesepakatan perdagangan atau free trade agreement antara Australia dengan Indonesia, maka ada beberapa produk impor Australia yang akan membanjiri Indonesa seperti ekspor gandum mencakup sekitar separuh dari perdagangan dengan Indonesia. Ekspor ternak, gula, daging sapi dan kapas merupakan lima komoditi pertanian utama Australia yang diekspor ke Indonesia.
Harus membela petani Indonesia
Kesepakatan perdagangan atau free trade agreement akan sangat menguntungkan bagi pelakunya jika sudah memiliki banyak persiapan, mulai dari persiapan daya saing, mutu produksi, kemampuan negosiasi jika terjadi trade dispute sampai kesiapan meminimalisir impor yang dapat memperparah current deficit account. Bagaimanapun juga, free trade agreement (FTA) akan semakin mengintensifkan ekspor-impor dan terjadinya perluasan akses pasar, namun bagi negara yang kalah dalam free trade agreement juga dapat menimbulkan beberapa dampak negatif antara lain : pertama, akan dibanjiri produk impor yang mengurangi cadangan devisa, sehingga dapat memperlemah nilai tukar mata uang. Kedua, penyempitan pasar penjualan di dalam negeri, terutama apabila “cinta produk dalam negeri” belum tertanam, maka barang impor akan semakin diminati pembeli dalam negeri, sehingga petani akan semakin terpinggirkan. Ketiga, memungkinkan terjadinya dispute perdagangan yang menyebabkan Indonesia bisa terkena sanksi jika dianggap tidak memenuhi FTA, seperti kasus dengan Amerika Serikat dan Selandia Baru. Keempat, kesejahteraan petani akan menurun dan di tahun politik hal ini sangat penting diperhatikan agar tidak terjadi politisasi. Kelima, FTA berpotensi dan rawan memicu trade war diantara kedua negara di kemudian hari.
Free trade agreement juga dapat menciptakan beberapa dampak positif antara lain : pertama, meningkatkan ekspor Indonesia dan memperluas pasar dengan catatan pelaku ekonomi dan produk yang dihasilkan di Indonesia memiliki daya saing yang baik. Kedua, menambah devisa negara, jika kita berhasil “memenangkan” kesepakatan dagang jika kita menguasai “daily business”nya. Ketiga, Indonesia tetap sebagai negara yang memiliki daya tarik bagi investor asing. Keempat, menciptakan peluang kerja dan bentuk kerjasama baru bersifat P to P dibalik dilaksanakannya FTA.
Namun, sekali lagi, hubungan Australia-Indonesia ditentukan oleh dua faktor yaitu kepemimpinan nasional di kedua negara dan sikap saling menghormati kedua negara. Jika diantara Joko Widodo dan Scott Morrison terjadi chemistry, maka FTA kemungkinan akan ditandatangani. Selain itu, faktor penting lainnya adalah kepentingan nasional terutama kepentingan membela petani di Indonesia juga tidak boleh dilupakan.
*) Toni Ervianto adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI).