Perang Melawan Teroris Harus “All Out”
Kita sebagai bangsa sudah sepakat dan sepaham bahwa ancaman terorisme dan radikalisme menjadi musuh utama bagi eksistensi bangsa ini ke depan, bahkan ancaman terorisme juga sudah disepakati secara global oleh komunitas internasional sebagai extra ordinary crimes. Walaupun kelompok teror global yang tergabung dengan ISIS semakin terlindas baik di Suriah dan Irak, ancaman teror tetaplah membahayakan.
Harus diakui bahwa belum diketahui jumlah pasti penduduk Indonesia yang tergabung dalam ISIS ataupun kelompok teror lainnya. Sebagai contoh, menurut peneliti ahli dari BNPT, Sidratahta Mukhtar menyatakan ada 2,7 juta orang Indonesia terlibat dalam serangkaian serangan teror. Bahkan jumlah itu belum termasuk pengikut dan simpatisan jaringan teroris. Sedangkan orang-orang yang terindikasi berafiliasi dengan ISIS, menurut Sidratahta, jumlahnya mencapai 0,004 persen atau sekitar 1.000 orang. “Angka itu sudah cukup besar,” ujarnya. Berdasarkan data estimasi BNPT, ada sekitar 10-12 jaringan inti teroris yang saat ini berkembang di Indonesia. Namun untuk jaringan sel-sel yang lebih kecil lebih banyak lagi.
Jaringan teroris ini, menurut Sidratahta, sudah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Bahkan sampai ke pelosok seperti jaringan Santoso yang bergerak di wilayah timur Indonesia. Belakangan ini kelompok yang paling mencuat adalah jaringan Bahrun Naim. sudah ada di Jawa, Bima, Aceh, dan wilayah lainnya.
Sedangkan, peneliti terorisme Universitas Indonesia, Ridlwan Habib menjelaskan, gerakan ISIS di Indonesia dipelopori oleh Amman Abdurahman, seorang narapidana teroris yang kini ditahan di Nusakambangan, walaupun Amman belum pernah terlihat di medan perang Poso, Mindanau, atau Afghanistan. Jumlah jaamaah ISIS Amman Abdurahman ini kira-kira hanya 500 orang, tersebar di Bekasi, Solo, Lombok dan beberapa kota lain. Mereka ditambah pecahan Jaamaah Ansharut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Ba’asyir, yang jumlahnya sekitar 3.000an orang.
Sementara, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian menyatakan, sepanjang 2016 sekitar 600 Warga Negara Indonesia (WNI) berangkat ke Suriah lalu bergabung dengan kelompok ISIS.
Menurut data dari Kementerian Dalam Negeri Turki seperti dilansir News.com.au, Sabtu (15/7/2017), dari total 4.957 militan asing ISIS yang ditangkap di Turki, warga Rusia adalah yang terbanyak di dunia, yakni 804 orang. Diikuti kemudian oleh warga Indonesia yang berjumlah 435 orang. Jumlah tersebuy menempatkan Indonesia di peringkat kedua di dunia dalam daftar jumlah militan asing ISIS yang ditangkap di Turki. Peringkat ketiga diduduki Tajikistan, Irak (nomor 4) dan Prancis berada di nomor 5.
Menurut analis terorisme Sidney Jones seperti dikutip News.com.au, banyaknya jumlah warga Indonesia yang ditangkap di Turki mungkin disebabkan oleh fakta bahwa banyak wanita dan anak-anak yang ditangkap setelah pergi ke Suriah bersama keluarga mereka.
Harus All Out
Diakui banyak kalangan, bahwa kelompok teror tetap akan berusaha eksis walaupun dalam kondisi tertekan dan selalu dipantau masyarakat bekerjasama dengan aparat negara. Oleh karena itu, kelompok teror juga terus mengembangkan modus baru agar mereka tetap eksis antara lain para teroris bakal menempati rumah kontrakan, dengan meminta tolong orang yang belum diketahui pergerakannya untuk mengontrak rumah. Setelah mendapatkan kontrakan, yang tinggal bukan penyewa melainkan pelaku. Untuk itu, Babinkamtibmas dan RT/RW harus cekatan dan mendatangi rumah warga dari pintu ke pintu. Selain itu, jangan percaya kepada orang yang belum dikenal.
Terkait dengan masih eksisnya orgnisasi teror, maka langkah pencegahan atau penanggulangannya haruslah dilakukan secara all out. Menurut Nathanael E.J. Sumampouw, dosen di Fakultas Psikologi UI, merangkum enam kiat menjelaskan soal aksi terorisme kepada anak-anak. Pertama, ajukan pertanyaan tentang terorisme. Dengan demikian, kita akan tahu apa saja yang anak ketahui dan pahami, untuk dijadikan pengetahuan anak sebagai tolak ukur untuk menjelaskan pada langkah selanjutnya. Kedua, batasi hal-hal yang mengandung kekerasan, seperti tayangan televisi, foto korban, ataupun media sosial, yang menyajikan berita-berita tentang terorisme. Ketiga, ceritakan. apa yang terjadi dengan cara sederhana tentang apa itu terorisme. Keempat, mendengarkan perasaan dan pikiran anak yang harus diluapkan. Kelima, ekstra perhatian, ekstra kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya. Keenam, fokus pada aktivitas atau rutinitas anak.
Selain itu, cara lainnya adalah agar masyarakat tidak memiliki fanatisme, sebab kebanyakan pelaku teror memiliki kesamaan pola pikir, yaitu fanatisme. Menurut, Profesor Randy Borum dari Departemen of Mental Health Law and Policy, University of South Florida berpendapat, bila perilaku teroris tidak ada kaitannya dengan jiwa yang sakit (mental illness). Beberapa penelitian psikologi menemukan fakta, bahwa pelaku teror cenderung memiliki riwayat masa kecil yang cukup suram, seperti kekerasan, pelecehan, ketidakadilan dan penghinaan. Sementara Reza Indragiri menyebutkan, perilaku seseorang menjadi teroris dapat dipengaruhi oleh kualitas relasi yang dibentuk antara anak dan orang tua, serta negara. J.Post membagi terorist menjadi dua tipe, yaitu karena perpanjangan tangan orang tua, dan pengalihan kebencian terhadap orang tua ke pihak lain, intinya ada konflik yang tidak terselesaikan.
Selain cara persuasif terhadap masyarakat dan anggota keluarga untuk terhindar dari kelompok teror dan radikal, maka hard approach juga diperlukan dalam menangkal terorisme, dimana hal ini juga sebagai indikasi sikap all out memerangi teror dan radikalisme.
Cara-cara hard approach yang dapat digunakan antara lain memanfaatkan dan memperluas saling kompetisi antar kelompok teror itu sendiri, sehingga diantara mereka terjadi benturan, sebab selain ISIS, ada juga Jabhat Al-Nusra yang merupakan cabang Alqaeda di Suriah. Sedangkan di Indonesia sendiri, Kapolri menyatakan ada kelompok-kelompok yang mendukung perjuangan ISIS dan Alqaeda, contohnya Jamaah Anshar Daulah (JAD) merupakan pendukung ISIS sedangkan Jamaah Islamiyah mendukung Al-Qaeda.
Last but not least, pelibatan TNI dalam memerangi terorisme juga sangat diperlukan tanpa dijadikan wacana ataupun perdebatan yang dapat mengurangi soliditas dan kebersamaan dalam memerangi teror dan kelompok radikal. Oleh karena itu, sangat disayangkan sikap beberapa NGO yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari a.l. Imparsial, KontraS, Elsam, ICW, YLBHI, Setara Institute, Infid, dan Indonesian Legal Roundtable dengan penanggungjawab Usman Hamid, Direktur Amnesty Internasional Indonesia yang tampaknya masih mempertanyakan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Mereka menyoroti tentang pelibatan militer secara langsung dalam Revisi UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merusak sistem penegakan hukum dan mengancam HAM. Oleh karenanya, meminta Pemerintah dan DPR agar dalam merevisi UU tersebut tetap berada dalam kerangka sistem negara demokrasi, penghormatan pada hukum dan HAM serta menggunakan mekanisme criminal justice system.
Menurut mereka, jika pemerintah dan DPR tetap bersikukuh mengatur pelibatan militer dalam Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka harus memenuhi syarat yaitu, pelibatan militer harus atas dasar kebijakan dan keputusan politik negara; atas permintan dari kepolisian atau pemerintah pusat; dilakukan pada saat ancaman terorisme mengancam keamanan dan ketertiban yang tidak dapat ditangani oleh kepolisian; prajurit yang dilibatkan merupakan BKO kepolisian; bersifat proporsional dan dalam jangka waktu tertentu serta tuntuk pada sistem peradilan hukum.
Menurut penulis, perang melawan kelompok teror tidak boleh menjadi domain kelompok tertentu di Indonesia, sehingga harus menjadi komitmen bersama sehingga harus dihadapi bersama-sama, karena kelompok teroris tidak hanya menyasar aparat keamanan dan aparat negara lainnya, namun juga kelompok masyarakat sipil yang didalamnya ada NGO/LSM, DPR dan media massa juga akan menjadi target sasaran kelompok teror juga, sehingga menggunakan kekuatan negara secara all out menjadi kunci penting perang melawan kelompok teror.
*) Amril Jambak, Penulis adalah wartawan senior di Pekanbaru, Riau.