Kekuatan Soft Power di Tangan Masyarakat Sipil
RESENSI BUKU: DERADIKALISASI: PERAN MASYARAKAT SIPIL INDONESIA MEMBENDUNG RADIKALISME
PENULIS: MUHAMMAD A.S HIKAM
PENERBIT: PENERBIT BUKU KOMPAS
HALAMAN: 230 HALAMAN
Deradikalisasi mungkin kata yang masih awam di telinga banyak orang. Jika kegiatan kita berdekatan dengan isu terorisme, istilah deradikalisasi bukanlah suatu yang asing di telinga. Lantas, apa itu deradikalisasi? Sederhananya, deradikalisasi adalah kontra atau lawan dari radikalisasi. Radikalisasi terjadi ketika pemikiran dan perilaku seseorang itu menjadi berbeda secara signifikan dari sebagian besar anggota masyarakat dalam melihat isu-isu sosial dan cara berpartisipasinya secara politik. Ia pun akan cenderung memaksakan perubahan berdasarkan cara pandangnya tersebut. Sementara deradikalisasi, menurut laporan Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina, Goethe-Institute dan Konrad Adenauer Foundation, terdiri dari tiga proses: (i) deradikalisasi dalam pengertian yang paling sederhana, melibatkan perubahan pola pikir, jauh dari ideologi radikal; (ii) ketidaksertaan (disengagement), melibatkan perubahan perilaku, jauh dari kekerasan (namun tidak harus melibatkan perubahan pola pikir); (iii) kontraradikalisasi atau melawan kekerasan ektremisme (countering violent extremism, CVE), termasuk melindungi kelompok rentan dari perekrutan.
Deradikalisasi perlu dipahami semua masyarakat sipil. Tidak hanya dipahami oleh pemerintah, polisi, tentara, intelijen, dan lembaga-lembaga kontrateror lainnya. Mengapa pentingnya deradikalisasi untuk dipahami masyarakat sipil? Jika program ini ingin berhasil, deradikalisasi bukan hanya tugas pemerintah saja. Masyarakat sipil perlu terlibat di dalamnya. Masyarakat sipil yang tergabung dengan organisasi massa, lembaga pendidikan, berbagai komunitas, dan kelompok lainnya serta sebagai individu.
Deradikalisasi perlu dipahami masyarakat sipil karena terorisme sebagai kejahatan luar biasa, tidak dapat hanya dihadapi dengan pendekatan hard power tapi juga soft power. Hard power adalah suatu cara yang dilakukan menggunakan tindakan penyergapan, penangkapan, penyerangan yang dilakukan oleh aparat negara terhadap kelompok teror. Pendekatan hard power jelas pelakunya adalah aparat penegak hukum. Sementara pendekatan soft power menggunakan cara seperti melakukan penyuluhan, pembimbingan, pengajaran, persuasi terhadap kelompok teror aktif maupun yang sudah insaf. Soft power ini juga dapat dilakukan dengan menyasar masyarakat luas agar tidak terperangkap masuk ke dalam ajaran-ajaran radikal. Dr. H. As’ad Ali dalam pengantar buku ini menjelaskan pendekatan soft power, yang bersifat preventif, bertujuan untuk mematikan sumber api terorisme, yakni paham keagamaan radikal. Inilah arti penting dari deradikalisasi dan dengan cara ini pula masyarakat sipil Indonesia dapat berperan.
Agar program deradikalisasi dapat berhasil, keterlibatan masyarakat sipil tidak dapat diabaikan. Dibutuhkan kerjasama pemerintah dan masyarakat sipil beserta diperlukan pendekatan soft power yang lebih terencana dan terarah. Itulah tesis yang ditawarkan oleh buku ini.
Dengan sejarah panjang aksi teror yang dilakukan oleh berbagai kelompok pelaku berideologi radikal, apapun latar belakangnya, baik agama atau ideologi lain, dari zaman kemerdekaan menghadapi pemberontakan-pemberontakan, hingga sekarang menghadapi ISIS, masyarakat sipil hampir selalu turut menjadi korban aksi teror tersebut. Masyarakat sipil tidak dapat bekerja sendiri untuk melakukan usaha deradikalisasi. Peran pemerintah sangat diperlukan untuk membangun kesadaran akan pentingnya deradikalisasi. Sudah banyak yang dilakukan pemerintah untuk menangkal dan memberantas aksi terorisme, terutama dalam urusan regulasi. Sudah beberapa undang-undang dan peraturan yang dilahirkan untuk memperkuat aparat penegak hukum menangkal dan menindak pelaku aksi teror.
Kendala yang paling sering terjadi dalam mengimplementasikan suatu program adalah keberlanjutan program itu sendiri. Biasanya dalam perencanaan progarm sudah matang namun begitu masuk tahapan implementasi sering terjadi masalah. Masalah dapat terjadi karena banyak hal, yang paling utama sering terjadi adalah masalah koordinasi dan sosialisasi. Sehingga program biasanya terhenti di tengah jalan. Dalam buku ini ditawarkan beberapa strategi dalam pengembangan dan sosialisasi program deradikalisasi.
Pendekatan hard power sudah memberi banyak capaian yang signifikan bagi peemberantasan terorisme. Prestasi pendekatan hard power ini juga sudah banyak diakui oleh dunia internasional. Masalahnya, penanggulangan masalah radikalisme yang akhirnya menuju tindak terorisme ini tidak hanya memerlukan pendekatan ‘keras’ saja. Pendekatan ‘lunak’ (soft power) juga dibutuhkan, karena terorisme melibatkan ideologi serta terkait dengan faktor-faktor sosial, ekonomi, politk, dan budaya di dalam masyarakat. Sehingga pendekatan ‘lunak’ ini menjadi begitu penting untuk menetralisasi pengaruh ideologi radikal, yang khususnya mengatasnamakan agama.
Melihat perkembangan diseminasi ideologi radikal sudah begitu bebas dan meluas melalui berbagai medium, oleh karena itu pengembangan dan sosialisasi program deradikalisasi menajadi makin penting. Meski pentolan-pentolan kelompok teror banyak yang sudah tertangkap atau tewas, namun kaderisasi tidak lah berhenti dan yang paling akhir adalah munculnya dukungan terhadap ISIS dari kelompok-kelompok radikal. Melalui pendekatan netralisasi ideologi, penanggulangan terorisme akan dapat lebih mendalam dan berimplikasi jauh, karena dapat menyentuh sampai pada akarnya terdalam yaitu ideologi.
Mengutip dari buku ini, program deradikalisasi perlu diperluas lagi. Dari yang hanya menyentuh para narapidana aksi teror dan mantan teroris, harus menyasar masyarakat lebih luas lagi. Di sinilah pelibatan masyarakat sipil Indonesia berperan dan berfungsi terutama dalam sistem masyarakat demokratis. Masyarakat sipil dapat menjadi mitra penting bagi pemerintah dan melakukan berbagai kegiatan yang tidak mungkin dilakukan pemerintah dan aparatnya. Organisasi masyarakat sipil memiliki kapasitas dalam mengomunikasikan dan menyosialisasikan gagasan, pengalaman dan inovasi secara lebih intensif. Aktivitas ini akan lebih mudah diterima sesama warga masyarakat dibanding jika pemerintah yang melakukan.
Program deradikalisasi adalah program yang unik dan dipercaya mampu menanggulangi terorisme namun dibutuhkan komitmen, tenaga, biaya dan waktu untuk menjadikannya mendekati sempurna. Presiden Joko Widodo baru-baru ini sudah memberi sinyal sebagai bentuk komitmen pemerintah dengan mengajak berbagai ormas untuk bergabung dalam program deradikalisasi. Karena menekan atau bahkan menghapus suatu ideologi radikal bukanlah perkara mudah. Berpikir secara radikal mustahil untuk dihalangi tapi bagaimana cara meminimalkan ideologi radikal berkembang bebas dan meluas di dalam kehidupan bermasyarakat, dapat kita lakukan bersama.
*) Arindra Khrisna, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen, Universitas Indonesia