Saatnya Pemerintah Tegas Terhadap Freeport
Ulah perusahaan pertambangan multinasional asal AS, Freeport MacMoran, yang di Indonesia menggunakan nama PT Freeport Indonesia (PTFI), mesti disikapi secara proporsional, rasional, namun juga tegas dan mandiri serta menjunjung prinsip martabat sebagai bangsa dan negara yang berdaulat. Pasalnya, Pemerintah RI telah memutuskan untuk menjalankan kebijakan yang sesuai dengan UU terkait masalah perpanjangan kontrak PTFI, namun ditolak oleh pihak yang disebut belakangan itu.
Bahkan perkembangan terakhir, menurut laporan media, pihak Freeport akan membawa masalah ke Badan Arbitrase Internasional apabila tidak tercapai kesepakatan dengan Pemerintah RI. PTFPI memberi batas waktu 120 hari kepada Presiden Jokowi untuk membuat kesepakatan dengan pihaknya. Yang dimaksudkan oleh PTFI dengan “kesepakatan” tsb adalah agar Pemerintah RI urung menerapkan kebijakan-kebijakan mengenai kontrak karya (KK), pembangunan smelter, dan penerapan rezim pajak yang sedang berlaku (prevailing), dan divestasi saham sampai 50%.
Sikap yang ditunjukkan oleh Freeport melalui CEO nya, Richard C Adkerson, bisa jadi mengingatkan kepada kita akan sikap perusahaan-perusahaan multinasional AS pada dekade 70-an terhadap rezim-rezim di Amerika Latin, Asia, dan Afrika yang berusaha mandiri dan terlepas dari kontrol mereka. Kasus jatuhnya rezim Presiden Salvador Allende (SA) di Chile pada 1973 sering menjadi referensi, ketika sebuah perusahaan AS yang bergerak di bidang pertambang tembaga menyeponsori penjatuhan sang Presiden. Melalui sebuah kudeta militer yang memakai kode “Operasi Jakarta,” Presiden yang beraliran sosialis itu jatuh dan digantikan oleh Jenderal Agusto Pinochet (AP) yang pro kapitalis dan MNC, yang berkuasa sampai tahun 1990. Akankah PTFI bersikap sama dengan menggunakan kekuatan Pemerintah AS di bawah Trump yang juga sangat kanan itu? .
Namun demikian, fakta sejarah menunjukkan bahwa Freeport adalah perusahaan pertambangan multinasional yang telah beroperasi selama lbh dr 50 th di bawah 7 Presiden, dan tetap survive serta memperoleh laba sangat besar yang juga dinikmati Pemerintah Pusat dan Daerah serta pelbagai kelompok masyarakat. Fakta ini tidak bisa diabaikan begitu saja karena salah satu implikasinya adalah kompleksitas persoalan yang telah, sedang dan akan dihadapi Pemerintah. Ia meliputi bukan saja dimensi ekonomi dan hukum, tetapi juga politik, sosial, dan hubungan internasional, khususnya hubungan RI dan AS. Fakta bahwa upaya melakukan renegosiasi mengenai KK sejak era Orba sampai saat ini masih tetap alot, menunjukkan bahwa yang dihadapi Pemerintah bukan hanya soal teknis hukum belaka, tetapi lebih juga politik serta berbagai implikasi strategisnya.
Pemerintah Presiden Jokowi jelas memiliki sebuah greget untuk menuntaskan masalah Freeport ini dengan berpijak kepada landasan kemandirian Negara dan keadilan ekonomi. Greget inilah yang dipersepsikan telah mengusik status quo yang selama puluhan tahun menguntungkan PTFI, para pemegang sahamnya, dan tentu saja kelompok-kelompok kepentingan politik dan ekonomi baik di AS maupun di Indonesia. PTFI akan mencoba melakukan tekanan balik kepada Presiden Jokowi dan, bisa jadi, menggunakan dalih kepentingan nasional AS. Dan saya kira ini akan bisa “nyambung” dengan elit politik di negeri Paman Sam yang menganggap bhw Freeport adlh salah satu kepentingan strategis baik dr sisi ekonomi maupun geopolitik.
Jelaslah bahwa Presiden Jokowi tidak bisa sendirian dalam menjalankan kebijakan yang sangat mulia ini. Rakyat dan seluruh komponen bangsa harus diajak memikirkan dan mendukung pencarian solusi yang seusai dengan prinsip-prinsip kedaulatan negara, kemandirian, keadilan, dan kejehateraan rakyat Indonesia, khususnya rakyat Papua. Upaya yang dilakukan Presiden Jokowi untuk membangun Papua secara fundamental dan jangka panjang akan sangat tergantung pula dengan kebijakan tentang PTFI ini. walhasil kebijakan terkait PTFI ini, tak bisa lagi hanya dipandang sebagai sebuah kebijakan Pemerintah Presiden Jokowi saja, tetapi menjadi kepentingan bangsa yang berdaulat dan bermartabat.
*) Muhammad A S Hikam, pengajar di Universitas Presiden, Sekolah Tinggi Intelijen Negara, Sesko TNI dan Universitas Pertahanan.