Ancaman dan Optimisme Keamanan di Tahun 2017
Jakarta – Tahun 2016 diwarnai oleh beberapa kejadian yang berpengaruh terhadap situasi keamanan. Beberapa kejadian yang berasal dari sikap intoleran turut mewarnai bangsa Indonesia di tahun 2016. Kejadian di Tolikara, Tanjung Balai, dan Bandung adalah cermin dari sikap intoleran.
Kelompok eksklusif dan radikal, yang sebagian besar adalah kelompok yang bersimpati terhadap gerakan ISIS, mendominasi aksi terorisme di Indonesia. Kejadian di Thamrin-Jakarta, Solo, Medan, Tangerang, dan Samarinda, serta aksi pencegahan oleh Densus 88 di Majalengka, Tangerang Selatan, Batam, Ngawi, Solo, Payakumbuh, Deli Serdang dan kota lainnya menunjukkan bahwa isu terorisme di tahun 2016 masih sangat kuat. Hal ini tentu saja masih mempengaruhi situasi keamanan di tahun 2017.
Terkait dengan aksi massa, kelompok yang biasanya kerap menggunakan model aksi massa terutama aksi jalanan seperti buruh justru cenderung menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Demo buruh di tahun 2016 kurang popular dan cenderung berdaya tarik lemah.
Terorisme dan Aksi Intoleran
Aksi terorisme diperkirakan masih kuat di tahun 2017. Melemahnya kelompok radikal ISIS di Suriah dan Irak akibat tekanan dari kelompok internasional diperkirakan justru akan menggeser kekuatan ISIS ke wilayah lain. Beberapa tokoh ISIS yang berasal dari Asia Tenggara terutama Indonesia akan menunjukkan eksistensinya guna pamer kekuatan dan pengaruhnya.
Hal ini sudah dimulai pada tahun 2016 seperti aksi di Thamrin, Solo, Tangerang, Medan dan Samarinda yang dipengaruhi oleh Bahrun Naim, tokoh ISIS yang berasal dari Indonesia. Pada tahun 2017 aksi ini diperkirakan akan dilakukan (lagi) di Indonesia dan negara lain di Asia Tenggara. Tokoh-tokoh ISIS yang berasal dari Indonesia diperkirakan akan atau sudah bergeser ke Asia Tenggara dengan prediksi lokasi di Mindanao. Jika aparat keamanan di Indonesia tidak melakukan operasi di Poso maka kemungkinan Poso akan menjadi salah satu markas kelompok radikal yang berafiliasi dengan ISIS.
Ancaman lain terkait hal tersebut di atas adalah adanya arus balik WNI simpatisan ISIS dari Suriah. Kemungkinan arus balik tersebut bisa langsung menuju Indonesia kemudian membentuk sel-sel kelompok teror atau transit di tempat lain seperti Mindanao untuk menyiapkan kekuatan di sana.
Model aksi teror di Indonesia akan terus berubah dan beradaptasi guna mengelabui deteksi apparat keamanan. Model ini sudah mulai digunakan pada penghujung tahun 2016 dengan menggunakan perempuan sebagai ‘pengantin’ dalam rencana aksi bom bunuh diri. Hal ini tentu tidak menutup kemungkinan akan berkembang dengan menggunakan remaja atau anak-anak sebagai ‘alat’ untuk melakukan aksi bom bunuh diri seperti yang terjadi di daerah konflik di negara lain. Pengendalian aksi-aksi teror tersebut akan dilakukan secara remote dari jarak jauh bahkan dari negara lain dengan menggunakan bantuan teknologi seperti internet.
Selain terorisme, aksi intoleran cukup menyita perhatian di tahun 2016. Kejadian seperti di Tolikara dan Tanjung Balai pada tahun 2016 harus diwaspadai agar tidak menjadi model yang akan terjadi di tahun 2017 dengan tempat yang berbeda. Ruang gerak yang lebih leluasa kepada kelompok sektarian dan radikal perlu dibatasi. Ketegasan pemerintah terhadap kelompok-kelompok sektarian dan radikal yang cenderung intoleran diharapkan dapat mencegah bibit terorisme di Indonesia.
Konflik Politik
Kegiatan politik di tahun 2017 akan berpusat pada pilkada serentak pada bulan Februari. Pesta demokrasi yang terjadi di 101 daerah ini diperkirakan akan ikut mempengaruhi situasi keamanan di Indonesia.
Pilkada di Jakarta, yang menjadi pusat dan sorotan banyak pihak, tidak bisa lepas dari isu keamanan. Dunia bisnis tentu akan sangat khawatir terhadap isu keamanan ini. Pilkada serentak 2017 mulai terlihat berdampak pada keamanan di Jakarta pada semester kedua 2016. Pilkada di Jakarta menjadi lebih dinamis dan rawan karena adanya tokoh kontroversial Basuki Tjahaja Purnama yang diduga melakukan penistaan agama.
Daerah-daerah lain yang berpotensi terganggu keamanannya terkait kegiatan politik pilkada serentak seperti di Papua Barat, Aceh dan Banten patut diwaspadai. Isu-isu primordial diduga akan mumcul sebagai pemicu dari konflik pilkada.
Aturan pilkada yang bisa menjadi dua putaran akan membuat kekhawatiran terkait keamanan menjadi semakin panjang. Pilkada dua putaran akan menjadikan putaran terakhir sebagai pertarungan antar dua kubu. Hal ini akan menciptakan polarisasi yang cukup rawan sebagai sumber konflik.
Kegiatan politik harus tetap dijaga pada relnya dan tidak berubah menjadi pertarungan antar kubu yang bisa menjadi titik awal perpecahan dan konflik. Pengaruh dinamika politik di Jakarta yang bisa mengarah kepada polarisasi akan menjadi inspirasi bagi kelompok-kelompok lain di daerah.
Pemerintah perlu mewasapadai daerah-daerah yang mempunyai kerawanan dari sisi kekuatan aparat keamanan. Jakarta yang mempunyai kekuatan aparat keamanan yang cukup baik diperkirakan bukan menjadi sasaran bagi para pemain konflik. Namun isu-isu di Jakarta akan menjadi model dan inspirasi sebagai bahan untuk melakukan aksi di daerah.
Hajat politik pilkada serentak 2017 menjadi momentum bagi para pemain konflik. Para pemain konflik diperkirakan akan melempar isu agama dan ras sebagai trigger untuk membentuk polarisasi masa sehingga tercipta kubu yang saling berhadapan.
Politik yang cair dan bergerak sesuai kepentingan menjadi alat bagi para tokohnya untuk mencapai tujuan. Namun jangan sampai terjadi tujuan tersebut menjadi ancaman bagi persatuan bangsa.
Menjaga Indonesia Tetap Aman
Ada beberapa kunci untuk menjaga Indonesia tetap aman dan damai. Pemerintah harus tegas untuk menutup ruang gerak dari kelompok sektarian dan radikal. Kebebasan dan ruang bagi kelompok sektarian dan radikal menjadi peluang terjadinya tindakan intoleran, ancaman bagi eksistensi ideologi Pancasila, dan adanya aksi teror. Hal ini bukan suatu perkiraan saja namun sudah terjadi di Indonesia, terutama terkait aksi teror yang dilakukan oleh kelompok radikal yang berafiliasi dengan ISIS dan kelompok yang menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Tindakan tegas pemerintah yang perlu dilakukan adalah membubarkan organisasi yang mengarah kepada sektarian, radikal dan mengancam ideologi bangsa. Selain membubarkan, pemerintah perlu tegas bahwa organisasi dengan aliran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila adalah organisasi terlarang. Dengan hal ini maka pemerintah bisa dengan tegas memberikan tindakan hukum kapada anggota kelompok tersebut sebagai efek jera.
Organisasi yang dilarang tidak hanya yang mengancam ideologi Pancasila tetapi juga organisasi yang berpotensi melakukan makar atau ingin memisahkan diri dari Indonesia. Ketegasan untuk membubarkan selanjutnya harus diikuti dengan penggalangan dan mengarahkan kembali anggota kelompok tersebut agar kembali kepada ideologi Pancasila yang dianut secara wajib bagi warga negara Indonesia.
Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah berkesinambungan terhadap orang-orang atau kelompok yang sudah mempunyai paham radikal. Pelibatan lembaga keagamaan dan masyarakat untuk merangkul orang-orang dengan paham radikal perlu dilakukan.
Upaya membendung paham radikal yang menyebar di melalui media massa dan media sosial perlu dicegah dan dilawan. Dalam hal ini ketegasan pemerintah diperlukan terutama untuk menutup situs-situs dan konten di internet yang mengandung narasi radikal.
Mantan narapidana kasus terorisme harus dibina dan dirangkul supaya mereka tidak kembali melakukan aksi teror. Upaya untuk membuat lembaga pemsyarakatan khusus pelaku teror perlu didukung. Hal ini bertujuan agar pemerintah melalui BNPT bisa melakukan deradikalisasi dengan lebih fokus dan tepat sasaran. Jika narapidana terorisme menjadi satu dengan narapidana kasus lain maka besar kemungkinan terjadi penggalangan dan radikalisasi sehingga kelompok radikal justru mendapat ‘amunisi’ dan ‘pasukan’ baru untuk kelompoknya.
Terorisme bisa dicegah antara lain dengan memutus aliran dana dan mengawasi gerakan kelompok radikal dengan pemantauan keberadaan dan komunikasi yang dilakukan antar anggota kelompok radikal. Hal ini pasti sudah dilakukan dengan baik oleh pemerintah, namun keterbatasan dari pemerintah perlu diimbangi dengan upaya lain seperti fusi informasi antar lembaga yang berkaitan dengan terorisme. Untuk melakukan hal tersebut tentu saja perlu adanya suatu sistem fusi informasi dari lembaga seperti PPATK untuk analisis transaksi keuangan, Imigrasi untuk pemantauan keberadaan orang, BIN, Badan Intelkam Polri, BAIS TNI, dan tentu saja lembaga agama dan masyarakat.
Paling penting untuk mencegah terorisme di Indonesia adalah mengajarkan toleransi dan perdamaian kepada generasi muda sejak dini. Dengan sikap toleran dan damai yang kuat maka generasi muda tidak mudah dipengaruhi untuk diajak melakukan aksi teror terutama dengan janji-janji surgawi sebagai balasan jika mau melakukan aksi teror bom bunuh diri. Toleransi dan perdamaian ini harus dicontohkan dengan teladan terutama dari elit politik, tokoh agama, dan public figure lainnya yang menjadi panutan bagi masyarakat.
Masyarakat perlu menguatkan ‘radar’ sosialnya. Kemajuan teknologi hendaknya dimanfaatkan untuk saling mempererat masyarakat sehingga muncul kekuatan sosial yang positif. Jangan sampai terjadi dengan adanya kemajuan teknologi masyarakat justru semakin individualis sehingga ‘radar’ sosialnya tumpul. Ketidakpekaan atas fenomena sosial akan mempermudah dan memberi ruang bagi pihak-pihak tertentu untuk menggangu keamanan.
Pemerintah bersama dengan organisasi masyarakat sebaiknya bersatu padu dengan masyarakat untuk memperkuat nilai-nilai luhur bangsa seperti gotong royong, toleransi, dan kebhinnekaan. Pemahaman perbedaan sebagai kekuatan bangsa perlu disadarkan ulang secara masif untuk melawan gerakan yang mengusung perbedaan sebagai ancaman.
Kesimpulan
Pemerintah dan warga negara harus tetap optimis bahwa Indonesia akan tetap aman di tahun 2017 dan tahun-tahun berikutnya. Pelajaran yang diperoleh pada tahun 2016 harus menjadi bahan kajian untuk menjalani tahun 2017 dengan baik.
Perpecahan tidak boleh terjadi, pemerintah harus didukung. Eksistensi bangsa dengan ideologi Pancasila menjadi hal utama yang harus dibanggakan dan dijunjung tinggi daripada budaya dan ideologi asing. Warga negara harus fokus bahwa persatuan adalah isu utama yang harus diupayakan. Abaikan pihak-pihak yang mengusung isu ‘pengalihan isu’ untuk membelokkan fokus ancaman-ancaman bagi eksistensi bangsa.
Dukungan masyarakat yang kuat kepada pemerintah, sikap toleran dengan tetap menghormati keyakinan pihak lain, menjunjung tinggi persatuan, dan memahami kebhinnekaan sebagai persatuan akan membawa Indonesia tetap optimis, bahwa ancaman-ancaman terkait keamanan pada tahun 2017 bisa dihadapi dengan baik.
*) Stanislaus Riyanta, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, tinggal di Jakarta.