Kelompok-kelompok Pro Kemerdekaan Papua masih terus berjuang untuk dapat memisahkan diri dengan Indonesia dengan berbagai cara. Menjelang pertemuan para pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG) yang akan diselenggarakan pada tanggal 6 Mei 2016 di Port Vila, Vanuatu, kelompok tersebut akan mengajukan aplikasi agar United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dapat menjadi anggota penuh dalam MSG.
ULMWP berusaha mencoba kembali mengajukan aplikasi untuk menjadi anggota tetap setelah pada tahun 2015 lalu ditolak oleh MSG. Dalam hal ini, ULMWP tidak memahami bahwa MSG bukanlah organisasi biasa, seolah-olah mendaftar ke MSG seperti mendaftar untuk masuk sekolah atau untuk ikut Pilkada yang ketika berkas-berkas kurang dapat diulangi lagi mendaftar. Sementara itu, negara-negara yang menjadi anggota MSG paham tentang situasi dan kondisi permasalahan Papua merupakan urusan internal Indonesia, sehingga MSG menolak pengajuan aplikasi ULMWP tersebut.
Hal prinsip lainnya yang menyebabkan ULMWP tidak dapat diterima di MSG adalah, ULMWP tidak mewakili masyarakat Papua dan tidak didukung oleh masyarakat Papua. Jika ada organisasi yang menyatakan dukungan terhadap ULMWP, organisasi tersebut merupakan sebagian kecil dari banyaknya organisasi yang berjuang untuk kemerdekaan Papua. Organisasi yang berjuang untuk memisahkan diri dari Indonesia sangat banyak dan beragam serta sebarannya di daerah tidak terpantau. Namun dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok mayoritas yaitu kelompok yang berjuang melalui jalur politik seperti KNPB, IPWP, NFRPB, jalur Kombatan yaitu Tentara Pembebasan Nasional (TPN) diberbagai pegunungan dan jalur intelektual seperti NAPAS, AMP diberbagai kota studi.
Dari 3 kelompok besar tersebut juga terbagi banyak kelompok-kelompok kecil yang tidak pernah terkordinasi satu sama lain. Aspirasi dan suara kelompok juga menginginkan hal berbeda disetiap daerah. Seringkali dalam setiap kegiatan seperti unjuk rasa, seminar, press release hanya mengangkat tentang pelanggaran HAM, kriminalitas dan masalah sosial namun selalu dikait-kaitkan dengan meminta referendum. Sedangkan, tentang ULMWP akan mendaftar ke MSG atau ke organisasi lintas Negara lainnya hanya dikketahui oleh sebagian pemimpin organisasi dan hanya sebagai tulisan di kertas karena tidak ada yang memahami tentang ULMWP, MSG, PBB, dll.
Pada tahun 2015 Oktovianus Mote, Sekjen ULMWP, dalam forum MSG (sebagai observer) mengatakan kepemimpinan ULMWP didukung 55.000 orang Papua. Dibandingkan jumlah penduduk Papua yang lebih dari 3 juta jiwa maka jumlah tersebut tidak mencapai 2%. Namun dengan percaya dirinya mengatakan bahwa mereka di ULMWP mewakili Papua. Sebuah logika berpikir yang sulit dipahami. Belum lagi Benny Wenda, Juru bicara ULMWP, yang tinggal di Inggris namun tidak memiliki pekerjaan tetap. Hal-hal seperti ini memunculkan pertanyaan apa sebenarnya motivasi orang-orang dalam kelompok ini, mengapa mereka tetap menyuarakan Papua merdekadan tetap ingin masuk dalam forum lintas negara.
Sudah menjadi rahasia umum di masyarakat Papua bahwa tidak perlu mengetahui permasalahan detail tentang Papua merdeka, namun hanya perlu ikut saja dengan kegiatan kelompok Pro Merdeka. Selain itu, Kelompok Pro merdeka juga seringkali mengumbar janji-janji bahwa Papua akan segera lepas dari NKRI sehingga masyarakat harus mau segera bergabung dari saat ini. Kelompok ini memainkan psikologi masyarakat, namun tidak pernah benar-benar untuk mewakilinya memperoleh kemerdekaan. Hal-hal seperti ini hanya dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan pribadi baik dari masyarakat, dari pemerintah daerah dan pusat maupun dari perusahaan yang ada di Papua.
Akhirnya, maka wajarlah ULMWP ditolak bahkan sudah pantas bersyukur dapat diterima menjadi observer di MSG. ULMWP tidak mewakili siapa-siapa melainkan hanya anggota dan kroninya saja, tidak pantas ULMWP mengatakan bahwa mereka mewakili masyarakat Papua.
*) Jeremias Jouwe, pemerhati masalah Papua asal Serui.