Teror Bom Sarinah Adopsi Serangan ISIS di Paris
Kamis 14 Januari 2016 menjadi hari yang tidak terlupakan bagi Jakarta. Serangkaian aksi teror yang diduga dilakukan oleh sekelompok orang simpatisan ISIS melakukan bom bunuh diri dan serangan kepada Polisi dan warga sipil di Starbucks dan Pos Polisi Thamrin Jakarta. Aksi teror itu mengakibatkan 7 orang tewas yang terdiri dari 2 orang warga sipil dan 5 orang pelaku serangan (data ini akhirnya diralat menjadi 4 pelaku dan ada tambahan korban warga sipil yg tewas). Selain korban tewas terdapat 19 orang luka-luka sebagai dampak serangan teror ini. Polri dengan cepat dan sigap berhasil menangani aksi ini sehingga situasi dapat terkendali dalam waktu 4 jam.
Polisi menduga bahwa pelaku teror di Jakarta ini adalah kelompok Bahrun Naim. Motivasi untuk menjadi pimpinan ISIS di Asia mendorong Bahrun Naim melakukan aksi teror di Jakarta dengan gaya baru. Bahrun Naim bukan pemain baru, dia pernah ditangkap oleh Densus 88/Anti Teror pada 9 November 2010. Selesai masa hukuman 2 tahun 6 bulan diduga Bahrun Naim hijrah ke Suriah.
Sesuai dengan perkiraan dari intelijen bahwa akan ada serangan bom pada natal dan tahun baru, maka kejadian teror di Thamrin ini adalah bukti dari peringatan intelijen tersebut. Arus balik simpatisan ISIS dari Suriah ke Indonesia sudah terjadi, bahkan sudah melakukan aksi di Indonesia. Kelompok ini diduga akan melakukan serangan pada saat Natal dan tahun baru, namun dengan adanya penangkapan terduga teroris AH di Bekasi dan rekannya dari Uigur, membuat serangan ini terpaksa tiarap dan menunda serangan.
Serangan di Thamrin dapat dikatakan gaya baru bagi teror di Indonesia. Teror bom sebelumnya yang terjadi di Indonesia hanya dilakukan oleh pelaku bom bunuh diri. Namun kali ini aksi teror dilakukan dengan berbagai model, ada bom bunuh diri, ada pula serangan dengan granat dan senjata api. Model ini diduga mengadopsi dari aksi teror kelompok ISIS di Paris. Keberhasilan serangan kelompok ini diharapkan akan menaikkan pamor Bahrun Naim dan menjadi jalan mulus sebagai pemimpin ISIS di Asia.
Bahrun Naim diduga adalah penghubung kelompok pendukung ISIS yang dipimpin Santoso Abu Wardah, Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, dengan ISIS di Timur Tengah. Anggota dari kelompok Santoso dari Poso inilah yang menjadi eksekutor lapangan aksi teror di Thamrin yang dikendalikan oleh Bahrun Naim.
Aksi teror di Thamrin ini diperkirakan bukan yang terakhir. Serangan yang dieksekusi oleh 4 orang tersebut pasti didukung oleh banyak orang disekitar lokasi teror. Dari dokumentasi yang sudah tersebar di media masa, salah satu pelaku yang dengan tenang melakukan tembakan di tengah-tengah masa menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang terlatih dan sudah disiapkan. Pelaku memang ingin melakukan serangan dan siap untuk mati, bukan untuk melarikan diri. Berbeda dengan teror bom sebelumnya di Jakarta, kelompok ini lebih menunjukkan eksistensi daripada menunjukkan kemampuan untuk membuat banyak korban.
Bom dengan kekuatan ringan dengan jumlah banyak yang kurang mematikan diduga lebih berfungsi sebagai pencari perhatian. Pelaku juga menggunakan pistol rakitan yang mempunyai daya serang rendah, yang seharusnya sudah dihitung akan berhadapan dengan aparat dengan jumlah banyak dan persenjataan yang lebih mematikan. Kelompok ini jelas ingin menunjukkan eksistensi perlawanan, terutama terhadap pemerintah (polisi), tidak hanya sekedar membuat korban. Serangan ISIS di Paris menjadi model bagi serangan kelompok teror di Thamrin Jakarta.
Diperkirakan aksi di Thamrin Jakarta ini bukan akhir dari aksi kelompok simpatisan ISIS di Indonesia, akan ada serangan lain dengan kekuatan yang berbeda. Pemerintah bersama seluruh lapisan masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaannya untuk menghadapi aksi teror lanjutan. Seluruh warga negara harus menunjukkan semangat persatuan untuk tidak takut melawan kelompok radikal. Aparat intelijen harus meningkatkan kinerjanya untuk melakukan deteksi dini dan memberikan peringatan dini kepada pemerintah dan masyarakat terhadap potensi ancaman teror.
Polri dan TNI dipastikan sudah memberlakukan status Siaga 1. Tidak perlu meragukan kemampuan Polri dalam melakukan penanganan aksi teror. Penanganan aksi teror di Thamrin dalam waktu 4 jam membuktikan bahwa Polri semakin tangguh dan profesional. Namun untuk melawan kelompok teroris tidak cukup hanya Polri, peran masyarakat sangat besar terutama sebagai mata dan telinga yang efektif di lingkungannya.
Tempat usaha dengan simbol-simbol barat, termasuk perusahaan, tempat hiburan dan pusat perdagangan perlu meningkatkan kewaspadaaan. Satuan pengamanan tempat-tempat tersebut perlu meningkatkan statusnya menjadi Siaga 1 dan melakukan pemeriksaan yang lebih ketat dan ekstra waspada untuk mencegah terjadinya aksi teror di tempatnya masing-masing.
Usaha untuk menanggulangi terorisme perlu melibatkan media masa. Pemerintah perlu mengatur dan memanfaatkan media masa dalam menanggulangi terorisme. Jangan sebaliknya, media masa menjadi katalisator dalam aksi teror. Pemberitaan yang terlalu vulgar justru membuat pesan dibuat oleh kelompok teror dengan mudah diterima oleh masyarakat luas. Bahkan pemberitaan media yang serampangan justru akan menimbulkan suasana tambah mencekam dan menambak kepanikan di masyarakat. Pemerintah perlu ketegasan untuk mengatur media saat menyiarkan informasi tentang aksi teror.
Kelompok radikal akan sulit dibendung masuk di Indonesia. Arus balik WNI yang menjadi simpatisan ISIS dari Suriah sudah mulai terjadi. Pemerintah dan segenap lapisan masyarakat harus melawan aksi teror. Siaga 1 harus diberlakukan untuk seluruh komponen bangsa, tidak hanya aparat keamanan. Bangsa Indonesia tidak boleh takut menghadapi pelaku teror demi. Kelompok radikal harus dilawan demi mewujudkan Indonesia yang damai.
Stanislaus Riyanta (Mahasiswa S2 Kajian Stratejik Intelijen – Universitas Indonesia)