Manifestasi Reformasi Intelijen Indonesia Sebagai Bentuk Pencegahan Pendadakan Startegis
- Pendahuluan
Pada masa Orde Baru, intelijen sering disalahgunakan sebagai alat bagi penguasa dan kepentingan pihak tertentu Ini semua tidak terlepas dari kepentingan politik. Intelijen seolah kehilangan identitas serta fungsinya. Intelijen di masa itu juga menjadi eksekutor ketika terjadi kepentingan.
Intelijen erat kaitannya dengan kegagalan. Kegagalan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor misalnya informasi dan lemahnya koordinasi antar badan-badan intelijen. Koordinasi yang kurang baik antara badan-badan intelijen di Indonesia menyebabkan masing-masing badan intelijen berjalan sendiri-sendiri.
Penyalahgunaan intelijen di masa lalu, perlu dilakukan reformasi terutama dalam tubuh intelijen sendiri. Di Indonesia, sudah ada reformasi legal intelijen yaitu melalui Undang-Undang Intelijen Nomor 17 Tahun 2011. Namun reformasi intelijen tidak cukup hanya dengan pembuatan Undang-Undang semata.
Intelijen harus patuh terhadap demokrasi dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Sumber daya manusia yang cerdas dan profesional merupakan unsur penting dalam proses reformasi terutama reformasi intelijen di era keterbukaan karena intelijen harus mampu beradaptasi dalam situasi apapun terutama pada era demokrasi seperti sekarang.
- Dinamika Pendadakan Strategis Indonesia
Pendadakan strategis merupakan masalah yang selalu diantisipasi oleh para lembaga intelijen manapun. Kegagalan intelijen dalam menyikapi pendadakan strategis tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti persepsi atau penafsiran informasi yang salah dan etnosentrisme.[1] Pendadakan strategis adalah suatu aksi yang cepat serta tidak terduga dan berdampak fatal karena itu merupakan muara dari ketidakmampuan untuk membuat forecasting mengingat segala kemungkinan bisa terjadi. Intelijen harus bisa memikirkan kemungkinan-kemungkinan serta skenario terburuk yang akan terjadi dimasa sekarang dan masa depan.
Dalam tatanan operasional, terdapat beberapa landasan intelijen, diantaranya intelijen merupakan sistem keamanan nasional, intelijen sebagai sistem peringatan dini, intelijen sebagai manajemen informasi, dan sebagai sistem analisis strategis di bidang keamanan nasional sebagai pelindung keutuhan serta keberlangsungan negara berdasarkan prinsip negara demokratis.[2]
Dalam hukum pertempuran, pihak yang terdadak selalu menderita kekalahan. Hakikatnya, pendadakan strategis merupakan suatu bentuk kegagalan intelijen dalam mendeteksi potensi ancaman. Hal ini pernah dialami oleh Indonesia ketika terjadi kemunculan kelompok separatisme, aksi terorisme, dan konflik horizontal di tanah air.
2.1 Kemunculan Kelompok Separatis
Kemunculan gerakan-gerakan separatisme di Indonesia merupakan hal yang mengancam bagi keutuhan negara Indonesia. Faktor yang melandasi kemunculan gerakan tersebut merupakan akumulasi bentuk kekecewaan rakyat Indonesia terhadap kinerja pemerintah pusat yang sebagian besar tidak menaruh perhatian terhadap suatu daerah dan masalah ideologi. Sehingga keinginan untuk melepaskan diri dari NKRI sudah tidak bisa terbendung lagi. Kasus GAM di Aceh dan RMS di Ambon merupakan beberapa contoh gerakan separatisme di Indonesia.
Beberapa kelompok intelektual di Aceh mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 4 Desember 1976.[3] Organisasi yang mendukung serta yang melatar belakang upaya Aceh untuk melepaskan diri dari NKRI dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka. Landasan gagasan separatis ini pada dasarnya bersifat ekonomis, karena mereka melihat Aceh yang kaya sumber alam terutama minyak, hanya menjadi sapi perah untuk kepentingan pemerintah pusat di Jakarta (Jawa).[4]
Apabila gerakan separatisme di Aceh dilandasi dengan unsur kekecewaan terhadap pemerintah pusat, lain halnya dengan yang terjadi di Ambon. Secara ideologis sejak awal kemerdekaan RI memang sudah ada bibit separatisme, yaitu sekelompok eks KNIL (dalam jumlah ribuan) yang dijanjikan oleh Pemerintah Belanda untuk diberikan kemerdekaan dan dibantu mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS).[5]
Pada dasarnya, gerakan separatisme merupakan suatu ancaman bagi Indonesia sehingga gerakan tersebut harus ditumpas sampai ke akar. Oleh karena itu, penanganan separatisme harus dengan konsep dan implementasi yang terpadu, meliputi aspek intelijen, pertahanan dan keamanan, hukum, politik, ekonomi, dan sosial-budaya.[6] Kegiatan multi aspek tersebut dapat efektif apabila berada dalam manajemen yang terkoordinasi dan berada dalam satu komando.[7] Sehingga patut dipertanyakan mengenai kinerja intelijen ketika gerakan-gerakan semacam ini muncul ke permukaan. BIN sebagai garda utama sistem peringatan dini di Indonesia tidak maksimal dalam meredam kemunculan gerakan separatisme. Tidak ada koordinasi yang baik antar lembaga intelijen menyebabkan hal semacam ini terjadi.
2.2 Aksi Terorisme dan Pemboman di Tanah Air
Pada 12 Oktober 2002, Indonesia dikagetkan dengan serangan bom di Bali. Ratusan orang baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing turut menjadi korban pada malam nahas itu. Pada saat itu, terjadi serangkaian ledakan bom. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali. Kurang lebih 10 menit kemudian, ledakan kembali mengguncang Bali.[8] Teror Bom Bali nyatanya tidak berhenti begitu saja, pada tanggal 1 Oktober 2005 terjadi ledakan bom kembali. Tiga serangan bom meledak di dua tempat wisata di Bali, Jimbaran dan Kuta.[9]
Selain serangan bom Bali, masih ada seranga-serangan bom lainnya yang dilakukan oleh oknum terorisme di Indonesia. Seperti yang terjadi pada 5 Agusutus 2003 Bom meledak di Hotel JW Marriot, Jakarta. 10 September 2006 Bom meledak di Kedutaan Besar Australia, Jakarta. Jumlah korban sekitar 6 sampai 9 orang. Pada 17 Juli 2009 Bom meledak di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton. Ledakan bom Marriot merupakan yang kedua kalinya, setelah 2003. 9 korban tewas dan puluhan luka-luka.[10]
Terorisme ternyata terus membayangi kedamaian hidup masyarakat Indonesia yang sedang berbenah dan membangun suatu negara demokrasi yang kuat. Aksi terorisme di Indonesia merupakan suatu kegagalan intelijen dalam memprediksi dan menganalisa keberadaan serta ancaman yang dilakukan oleh para teroris. Apabila intelijen dijalankan sesuai tugas dan fungsinya, tentu saja hal-hal seperti pendadakan strategis tidak akan terjadi. Sehingga perlu regulasi khusus dalam memenindaklanjuti hal seperti ini agar tidak terulang ke depannya.
2.3 Konflik Horizontal Berbasiskan SARA
Di Indonesia, masih saja terjadi konflik-konflik horizontal baik antar antar warga maupun yang melibatkan aparat. Seperti yang pernah terjadi di Poso dan Sampit. Konflik besar yang pernah terjadi waktu itu mengancam keamanan negara terutama rakyat Indonesia.
Kerusuhan yang berlatarbelakang agama, etnis, dan golongan terjadi di Poso, Sulawesi Tengah pada 17 April 2000. Dalam kerusuhan tersebut terjadilah saling serang antara desa Nasrani dan desa Islam.[11] Dari kerusuhan tersebut banyak memakan korban baik dari warga yang terlibat kerusuhan maupun dari militer. Selain itu sarana dan prasarana juga hancur akibat dari kerusuhan ini.
Konflik etnis lainnya yang pernah terjadi di Indonesia adalah konflik yang terjadi di Sampit. Konflik ini dilatarbelakangi oleh permusuhan antara dua suku asli dan suku pendatang. Peristiwa kerusuhan yang pecah pada 18 Februari 2001 di Jalan Karyabaru, Sampit dan di Jalan Tidar Cilik Riwut (km 1, Sampit) dipicu oleh serangan yang dilakukan kelompok suku Madura selaku pendatang terhadap suku Dayak.[12] Akibar dari konflik ini, banyak korban jiwa yang berjatuhan baik dari suku Dayak maupun suku Madura.
Pendadakan (surprise) menurut hukum pertempuran adalah suatu kesalahan taktis yang merupakan tanggung jawab seorang komandan. Namun, kesalahan taktis tersebut dapat bersifat strategis jika lingkup masalah di Poso dan Sampit ternyata terkait dengan masalah yang terjadi di berbagai wilayah nasional lainnya.[13] Sehingga secara tidak langsung, bukan hanya kesalahan dari komandan taktis dilapangan namun juga sepenuhnya menjadi tanggung jawab bagi pemerintah pusat.
Kepemimpinan nasional Indonesia dalam konteks keamanan nasional, secara sesat telah dilahirkan oleh para pemimpin bangsa kita yang berada di badan-badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kesesatan ini ditambah lagi dengan konstruksi sosial yang terbangun sebagai akibat euforia demokrasi dan trauma masa lalu yang tak kunjung selesai. Dengan demikian secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kekacauan yang pernah terjadi di Poso dan Sampit merupakan akibat dari kesesatan sistemik yang kita alami dalam menjalani kehidupan bersama masyarakat bangsa yang pluralistis.[14]
- Model Reformasi Intelijen Indonesia
Segelintir kegagalan intelijen dan catatan hitam di masa lalu mengharuskan intelijen di Indonesia untuk bereformasi. Makna reformasi adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas badan intelijen dari segala aspek. Reformasi intelijen negara ditentukan oleh pertarungan antara desakan masyarakat sipil untuk melakukan demokratisasi intelijen dan kebutuhan negara untuk memperkuat kapasitas fungsional dinas-dinas intelijen. [15] Sehingga reformasi intelijen bukan hanya berbicara mengenai penataan organisasinya saja tetapi juga mengenai perbaikan kinerja dan profesionalitasnya.
Arah reformasi intelijen di Indonesia sudah tertuang dalan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang intelijen negara. Dalam Undang-Undang, pasal-pasal yang tercantum lebih condong mengarahkan pada otoritas BIN secara spesifik. Namun, intelijen di Indonesia bukan hanya BIN saja tetapi masih ada lembaga-lembaga lain yang juga turut serta dalam menjaga keamanan serta kedaulatan Indonesia.
Reformasi intelijen Indonesia yang ideal dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan menjalankan tugas sebagai pemberi informasi sebagai dasar pengambilan keputusan strategis oleh user. Ada beberapa model yang harus di reformasi oleh intelijen Indonesia seperti mereformasi kewenangan intelijen, koordinasi antar lembaga intelijen negara, akuntabilitas intelijen, kerahasiaan versus keterbukaan intelijen, serta mereformasi intelijen dalam konteks demokrasi, efisiensi, dan teknologi.
3.1 Kewenangan
Ancaman global yang sewaktu-waktu bisa muncul akan menjadi sangat sulit ditangani dan menjadi sangat mahal dampaknya, maupun upaya-upaya represi yang harus dilakukannya, manakala ancaman itu telah menjamah targetnya. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa satu-satunya strategi yang sangat tepat untuk penanganan ancaman global adalah strategi pre-emptive (pencegahan).[16] Pencegahan tersebut dilakukan agar tidak terjadi pendadakan strategis. Dengan tujuan tersebut, teori-teori intelijen secara sistematik terbagi dalam fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Implementasi dari ketiga fungsi tersebut merupakan cara intelijen untuk mengetahui musuh, kemudian menjadikannya kekuatan yang menguntungkan pihak sendiri demi mencapai tujuan.[17]
Melalui penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan, intelijen mencari informasi mengenai bukti atau ancaman yang datang terutama ancaman bagi negara merupakan langkah preventif dalam mendeteksi suatu ancaman. Karena intelijen bukan lembaga penegak hukum, maka segala informasi tersebut diberikan kepada aparat penegak hukum yang berwenang menindaklanjuti laporannya.
Melalui konteks intelijen yang tidak mencampuradukkan peran organisasi intelijen stratejik dan intelijen militer, serta kejelasan mengenai wewenang intelijen sebagai lembaga non yustisia, diharapkan kedepannya tidak ada lagi tindakan-tindakan represif yang dilakukan intelijen dalam menjalankan tugasnya. Tindakan represif yang dimaksud adalah tindakan-tindakan pelanggaran HAM berat seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Selain itu, pembagian kewenangan seperti ini membuat operasi-operasi intelijen menjadi terkontrol serta mengenai tugas pokok dan fungsi antar masing-masing lembaga jadi semakin jelas.
3.2 Koordinasi Lembaga Intelijen Negara
Badan Intelijen Negara (BIN) merupakan badan koordinator sekaligus operator intelijen di Indonesia. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 Pasal 28, yaitu:[18]
- Badan Intelijen Negara menyelenggarakan fungsi Intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 di dalam negeri dan di luar negeri.
- Selain menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Intelijen Negara menyelenggarakan fungsi koordinasi Intelijen Negara.
Fungsi dari koordinasi ini adalah sebagai langkah antisipasi dan penanggulangan segala bentuk ancaman. BIN selaku koordinator intelijen di Indonesia harus bisa melaksanakan dan menata kegiatan yang dilakukan antar lembaga intelijen.
Di Indonesia, koordinasi antar lembaga-lembaga intelijen masih lemah padahal unsur yang paling penting dalam reformasi intelijen adalah koordinasi antara lembaga intelijen negara. Karena pada hakikatnya, BIN sebagai badan intelijen negara tidak bisa hanya bekerja sendiri dalam mencari informasi, deteksi dini, dan mengantisipasi segala bentuk ancaman. Perlu adanya dukungan dan koordinasi dari lembaga-lembaga intelijen lainnya agar tidak terjadi pendadakan strategis seperti yang sudah terjadi sebelumnya.
Secara organisasi, ada bentuk-bentuk pemisahan sesuai dengan kewenangan antara intelijen domestik dan intelijen luar negeri. Intelijen domestik terbagi-bagi menjadi intelijen kriminal, kejaksaan agung, bea cukai dan imigrasi, serta Badan Intelijen Negara. Berbeda halnya dengan intelijen luar negeri secara ideal ditempatkan di bawah departemen pertahanan yang diberikan kewenangan khusus untuk melakukan kegiatan kontra intelijen untuk menangkal elemen-elemen asing (baik negara maupun non negara) yang nyata-nyata melakukan serangkaian aksi yang mengancam keamanan nasional.[19]
Dalam Pasal 9 disebutkan mengenai penyelenggaraan intelijen negara terdiri atas :[20]
- Badan Intelijen Negara;
- Intelijen Tentara Nasional Indonesia;
- Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia;
- Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia; dan
- Intelijen kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.
Seluruh lembaga yang menjalankan fungsi intelijen harus bergabung dalam suatu mekanisme koordinasi terpadu. Komunitas intelijen nasional adalah kumpulan dari seluruh dinas intelijen negara yang bekerja dalam suatu sistem jaringan kerja dan struktur koordinasi melingkar cakrabyuha yang terkait dengan masalah keamanan nasional, termasuk di dalamnya forum komunikasi intelijen daerah (Forkominda).[21] BIN dalam konteks ini adalah regulator, koordinator, sekaligus juga operator, dalam siasat (kebijakan, strategi, dan taktik operasional) intelijen negara, yang meliputi aspek-aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.[22]
Mengenai komunitas intelijen, terdapat tiga karakteristik yang harus dapat teridentifikasi pada masing-masing lembaga intelijen, diantaranya[23] :
- Komunitas intelijen memiliki saluran komunikasi dua arah antar dinas intelijen. Saluran komunikasi antar dinas intelijen yang tersumbat, terputus atau bahkan sama sekali tidak ada dan pola komunikasi yang saling menegasikan informasi akan memperumit perumusan kebijakan;
- Dinas-dinas intelijen memiliki mekanisme pertukaran informasi, rapat koordinasi dan verifikasi (cross check). Mekanisme pertukaran informasi yang berbasis individu atau jaringan interpersonal, bukan lembaga akan mengakibatkan embargo atau blokade informasi antar dinas intelijen dan/atau dominasi dan monopoli informasi oleh satu dinas intelijen;
- Komunitas intelijen memiliki mekanisme operasi bersama (bisa berupa satuan tugas gabungan) untuk melakukan operasi intelijen.
3.3 Akuntabilitas Intelijen
Secara normatif, mekanisme pertanggung jawaban (akuntabilitas) dinas keintelijenan seperti yang disebutkan pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara yaitu “Badan Intelijen Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden”.[24]
Mengenai Peraturan Undang-Undang di atas, maka mekanisme pertanggung jawaban dinas intelijen langsung kepada Presiden sebagai konsekuensi logis yuridis bahwa dinas intelijen merupakan lembaga non-departemen yang keberadaannya langsung di bawah Presiden. Segala sesuatu kegiatan intelijen harus dipertanggungjawabkan secara langsung kepada Presiden sekaligus sebagai user.
Selain bertanggungjawab kepada Presiden. intelijen juga bertanggungjawab kepada rakyat Indonesia dan sekaligus sebagai pengawas yang bersifat eksternal dan intelijen perlu mendapat pengawasan itu. Disamping itu, untuk memperkuat akuntabilitas badan intelijen, diperlukan adanya pengawasan eksternal yang imparsial, independen dan tidak memiliki kepentingan politik.[25]
3.4 Kerahasiaan VS Keterbukaan Intelijen
Di era demokrasi seperti sekarang, transparansi atau keterbukaan selalu didengungkan. Namun tidak begitu dengan intelijen. Hal ini berbenturan dengan sifat intelijen yang tertutup dan rahasia. Unsur ketertutupan intelijen di era keterbukaan ini harus bisa memilah mana yang harus ditutup rapat dan mana yang bisa dibuka.[26] Intelijen harus bisa beradaptasi dalam situasi apapun termasuk dalam era keterbukaan seperti sekarang. Sehingga lembaga intelijen harus bersedia menyediakan informasi-informasi untuk di publikasikan, namun tetap dalam koridor serta porsi yang lagi-lagi harus dibatasi. Intelijen dihadapkan pada suatu dilema besar: di satu pihak, intelijen membutuhkan “sifat kerahasiaan” untuk menjaga efektifitas operasinya, namun di lain pihak, operasi intelijen juga membutuhkan pengawasan dan pertanggungjawaban untuk menjamin apakah operasi yang dilakukan oleh lembaga negara tersebut tidak melanggar hak asasi manusia, dilandasi oleh prinsip penegakan hukum, sesuai dengan Undang-Undang yang ada, dan absah (legitimate) di mata publik.[27]
Mengenai keterbukaan, ada beberapa aspek yang bisa dibuka intelijen kepada publik terutama mengenai anggaran dan operasi. Untuk mengenai anggaran, intelijen khususnya BIN dihimbau untuk terbuka mengenai dana-dana yang digunakan dalam melakukan kegiatan intelijen. Pada Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2010 Pasal 54 mengenai pembiayaan: “Untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi BIN dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara“.[28] Berdasarkan Peraturan Presiden tersebut yang akhirnya mengharuskan BIN untuk terbuka mengenai anggaran karena anggarannya merupakan sebagian besar uang rakyat sehingga rakyat berhak tahu penggunaan anggaran tersebut secara tepat guna.
Mengenai keterbukaan operasi, apabila terjadi penyimpangan harus segera dilakukan reformasi. Namun, bukan berarti data-data intelijen bisa dibuka utk umum karena menyangkut rahasia negara. Mengenai keterbukaan data-data, intelijen tetap mengacu pada masa retensi selama 25 tahun.
Transparansi artinya semua kegiatan termasuk anggarannya bisa dipertanggungjawabkan ke Presiden sebagai user. Jika terjadi penyimpangan, Dewan Legislatif dapat melakukan pemeriksaan yang terlebih dahulu dilakukan sumpah untuk menjaga rahasia negara melalui data-data intelijen.
Pada prinsipnya, intelijen merupakan garda utama keamanan negara dalam mendeteksi ancaman sedini mungkin dengan cara mengumpulkan informasi yang valid. Informasi-informasi intelijen tersebut kemudian diberikan kepada pembuat kebijakan untuk selanjutnya digunakan dalam pengambilan keputusan. Sehingga prinsip dari kerahasiaan intelijen tersebut harus dipertahankan. Mengingat informasi-informasi intelijen merupakan informasi rahasia negara yang tidak bisa begitu saja dibeberkan ke publik.
Hakikatnya, semakin dengan pergeseran zaman akan semakin sulit untuk menutupi sesuatu. Namun, sampai kapan pun intelijen tidak akan pernah bisa transparan, terutama mengenai informasi intelijen. Apabila melihat pola 95 : 4 : 1 walaupun 95% merupakan sumber informasi terbuka, namun terdapat beberapa persen yang harus tetap dirahasiakan.
Dalam menjawab tantangan reformasi intelijen di era transparansi, intelijen perlu melakukan perbaikan dan siasat ulang terhadap sistem transparansi data-data intelijen seperti melakukan mekanisme-mekanisme penyimpanan informasi, mekanisme akses informasi, mekanisme diseminasi informasi, serta mekanisme, deklasifikasi, dan terminasi informasi yang bisa meminimalisir penyebaran informasi intelijen yang menyalahi ketentuan tentang tingkat kerahasiaan dan menahan informasi intelijen.[29]
3.4 Mereformasi Kegagalan Intelijen dalam Konteks Demokrasi, Efisiensi, dan Teknologi
Dalam konteks Indonesia, masyarakat awam hanya memandang intelijen dari penataan demokrasi saja. Namun efisiensi dan teknologi juga menjadi perhatian khusus serta penting dalam proses reformasi intelijen.
Demokrasi
Intelijen tidak boleh digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan politik kelompok tertentu. Apabila hal itu terjadi maka harus dilakukan pembenahan di dalam tubuh intelijen itu sendiri karena intelijen tidak boleh melakukan tugas hanya berdasarkan kepentingan suatu oknum. Sherman Kent mengatakan bahwa intelijen harus independen, tidak boleh ada campur tangan atau pengaruh politik dari pihak yang mempunyai kepentingan tertentu ke dalam kinerja intelijen.[30]
Kembali kepada fungsi intelijen sebagai garda utama keamanan Indonesia yang harus melindungi segenap rakyat Indonesia dari segala bentuk ancaman, baik ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar. Hal ini menuntut intelijen untuk bekerja secara profesional dan bukan karena ada embel-embel kepentingan di dalamnya. Apabila hal tersebut terjadi maka intelijen secara tersirat menjadi ancaman bagi negara.
Prinsip-prinsip kegiatan Intelijen harus menghargai nilai-nilai demokrasi. Salah satunya menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Sehingga paradigma serta pola kerja intelijen harus cerdas. Dengan kata lain, intelijen harus cerdas dalam bertindak, mengutamakan kemampuan otak ketimbang ototnya. Sehingga hal-hal kekerasan di masa lalu tidak akan terulang kembali dan kepercayaan publik terhadap kredibilitas intelijen pun akan meningkat.
Efisiensi
Efisiensi merupakan pembahasan tentang keefektifitas kerja intelijen. Pembahasan mengenai efisiensi disini mengenai anggaran dan cara kerja intelijen. Melakukan suatu operasi intelijen merupakan hal yang tidak murah, sehingga intelijen dituntut untuk bisa melakukan operasi intelijen secara bijak tanpa harus merugikan negara. Upaya-upaya yang dilakukan oleh intelijen dalam melakukan keefektifan kerja adalah dengan melakukan koordinasi antar lembaga intelijen. Ini dilakukan agar terjadi fusi informasi. Misalnya, apabila BIN sedang membutuhkan suatu informasi yang berkenaan dengan potensi ancaman untuk negara, maka BIN bisa meminta informasi tersebut kepada instansi terkait tanpa harus melakukan operasi.
Intelijen modern harus bisa bekerja secara profesional, efektif, serta tetap memegang teguh prinsip Velox et Exactus. Ketika koordinasi antar instansi atau lembaga intelijen tercipta, dilakukan fusi informasi agar mencegah pendadakan strategis serta lebih efektif.
Teknologi
Teknologi merupakan salah satu sumbu kekuatan intelijen. Reformasi intelijen diarahkan sesuai dengan perkembangan teknologi. Intelijen harus bisa memanfaatkan teknologi sebaik-baiknya terlebih mengingat ancaman di era globalisasi seperti sekarang sebagian besar bersumbu pada teknologi. Reformasi intelijen yang harus dilakukan adalah dengan mengganti paradigma intelijen menjadi smart intelligence. Intelijen harus mengandalkan kecerdasan dalam setiap pencarian, analisis, dan pengolahan informasi melalui teknologi.
Perlu diketahui bahwa medan tempur intelijen untuk ke depannya adalah informasi dan pembentukan opini.[31] Sehingga intelijen harus sanggup untuk menjawab tantangan tersebut dengan cara pemanfaatan teknologi dan penerapan smart intelligence.
Bentuk kecerdasan intelijen di era globalisasi seperti sekarang adalah penggunaan serta pemanfaatan teknologi secara tepat, misalnya dengan mencari informasi melalui Open Source Intelligence (Osint). Sebagai contoh, jika pada zaman dahulu teknik untuk mengetahui informasi dari seseorang dilakukan dengan cara mengintimidasi, melanggar HAM, dan cenderung memaksa dengan tekanan. Operasi intelijen di dalam negeri tidak membenarkan melakukan operasi dengan cara-cara kekerasan. Sehingga sekarang para pelaku intelijen dalam melakukan operasi dibekali dengan latihan-latihan serta pendekatan lunak kepada sasaran dengan menggunakan teknik elisitasi yang lebih ramah dan tindak melanggar HAM. Selain itu, memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mencari informasi secara langsung atau melalui Osint. Mereka dididik untuk lebih cerdas merayu ketimbang memaksa sasaran. Intelijen terbukti dapat menuai hasil yang jauh lebih baik, tanpa harus menyiksa orang yang menjadi sasarannya atau membuat derita keluarga mereka.[32]
- Penutup
4.1 Kesimpulan
Mengingat kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh intelijen di masa lalu, maka intelijen Indonesia harus berbenah dan bisa bereformasi dengan menjunjung tinggi profesionalitas kerja demi mewujudkan tatanan pemerintahan serta sistem keamanan yang baik.
Representasi bentuk reformasi intelijen di Indonesia yang telah direalisasikan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 harus ditinjau ulang. Hal ini berkenaan mengenai Undang-Undang itu sendiri yang sepertinya lebih condong ke arah BIN. Pembahasan mengenai lembaga-lembaga intelijen lainnya tidak dibahas secara spesifik. Reformasi intelijen Indonesia baru sampai tahap pembuatan Undang-Undang dan belum mempunyai Peraturan Pemerintah yang seharusnya bisa memayungi serta mengakomodir fungsi intelijen itu sendiri.
Sistem kerja intelijen di Indonesia masih berjalan sendiri-sendiri, belum ada koordinasi yang tepat. Walaupun sekarang sudah ada forum komunikasi intelijen daerah (forkominda) namun masih belum efisien dalam menjalankan koordinasi antar lembaga intelijen. Reformasi yang paling penting justru di koordinasi antar lembaga. Koordinasi yang baik antar lembaga intelijen diharapkan bisa membentuk suatu komunikasi yang baik satu sama lain dan pelaksanaannya tidak terjadi tumpang tindih lagi, karena koordinasi antar lembaga intelijen merupakan upaya dalam pencegahan pendadakan strategis.
Kemungkinan-kemungkinan pelanggaran HAM masih bisa terjadi jika anggota intelijen tidak dibekali kemampuan yang cerdas dalam mencari sumber intelijen secara humanis dan modern. Sehingga diharapkan dalam proses pembentukan insan intelijen benar-benar menjunjung tinggi nilai demokrasi terutama Hak Asasi Manusia yang sudah tidak bisa ditawar lagi. Mengenai penataan demokrasi, efisiensi, dan teknologi tentunya dapat terbentuk suatu sinergi sebagai acuan dalam kegiatan intelijen.
4.2 Saran
- Reformasi mengenai legalitas intelijen negara, saat ini baru sebatas Undang-Undang intelijen No 17 Tahun 2011. Sehingga harus dibuatkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksanaan untuk menjalankan Undang-Undang tersebut sebagaimana mestinya. Peraturan Pemerintah ini juga sebagai perwujudan pelaksanaan atau sistem lembaga intelijen yang lain.
- Membenahi sistem koordinasi antar lembaga intelijen di Indonesia.
- Pengembangan sumber daya manusia bagi intelijen yang cerdas serta dibekali dengan pelatihan-pelatihan dan kemampuan untuk mencari informasi yang lebih humanis dan tidak dengan cara kekerasan serta melanggar HAM.
- Secara politis, pemerintah dan legislatif harus menjaga kebutuhan politik untuk tidak melakukan intervensi terhadap intelijen di luar batas kewenangannya.
[1] Michael. I. Handel, Paradoxes of Strategic Intelligence. (Great Britain : Frank Cass Publishers,
2003). hlm 22
[2] Abram N Shulsky dan Gary J Schmith, Silent Warfare; Understanding the World of Intelligence. (Virginia : Brasseys’sInc, 2002). hal 23
[3] Wahyudi Pramono, Mencermati Dinamika Gerakan Separatisme Di Indonesia. Diakses di http://www.madiknas.com/satukan-nkri-lawan-gerakan-separatis/. Pada 10 Desember 2014 Pukul 16.09 WIB
[4] Ibid
[5] Kiki Shaynakri, Aku Hanya Tentara, Catatan Militer, Kepemimpinan, dan Kebangsaan. (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2008), hlm 150-151
[6] Ibid, hlm 151.
[7] Ibid, hlm 152.
[8] Dwifantya Aquina, Kilas Balik Peristiwa Pahit Bom Bali 12 Tahun Silam.Diakses di http://nasional.news.viva.co.id/news/read/547155-kilas-balik-peristiwa-pahit-bom-bali-12-tahun-silam. Pada 10 Desember 2014 Pukul 16.09 WIB.
[9] Nenden Novianti, Bom Bali 2005. Diakses di http://dunia.news.viva.co.id/news/read/1157-bom_bali_2005. Pada 10 Desember 2014 Pukul 16.16 WIB.
[10] Tim Riset Global Future Institute (GFI), Serangkaian Teror Bom Dulu dan Sekarang di Tanah Air. Diakses di
http://www.theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&id=522&type=2#.VIgT3KmyfFI. Pada 10 Desember 2014, Pukul 16.40 WIB
[11] Nn, Konflik Antar Agama dan Etnis di Poso dan Sampit. Diakses di http://www.museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_konflik-poso-sampit.html. Pada 10 Desember 2014 Pukul 16.40 WIB.
[12] Ibid
[13] A.M. Hendropriyono, Dari Terorisme Sampai Konflik TNI-Polri, Renungan dan Refleksi Menjaga Keutuhan NKRI. (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2013), hlm 20.
[14] Ibid, hlm 21
[15] Andi Widjajanto, Arah Reformasi Intelijen Negara, Diakses di
http://nasional.kompas.com/read/2011/10/18/02490241/Arah.Reformasi.Intelijen.Negara. Pada 9 Desember 2014 Pukul 15.24 WIB
[16] A.M. Hendropriyono. Op.Cit, hlm 143
[17] A.M. Hendropriyono, Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia. (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2013), hlm 207
[18] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara Pasal 28 Mengenai Fungsi Intelijen
[19] Ismantoro Dwi Yuwono, Kupas Tuntas Intelijen Negara Dari A sampai Z, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2011). hlm 125
[20] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara Pasal 9 Mengenai Penyelenggaraan Intelijen Negara.
[21] Ismantoro Dwi Yuwono, Op.Cit, hlm 126-127
[22] A.M. Hendropriyono, Kebijakan Intelijen Negara: Suatu Refleksi Kritis Terhadap UU 17/2011. Diakses di http://www.hendropriyono.com/2013/12/kebijakan-intelijen-negara-suatu-refleksi-kritis-terhadap-uu-172011/, Pada 10 Desember 2014 Pukul 14.55 WIB
[23] Andi Widjajanto (ed), Menguak Tabir Intelijen “Hitam” Indonesia. (Jakarta : Pacivis, 2006), hal 34
[24] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara Pasal 27 Mengenai Kedudukan Intelijen Negara
[25] Nn, Badan Pengawas Intelijen Negara Perlu, Diakses di http://sp.beritasatu.com/home/badan-pengawas-intelijen-negara-perlu/7414. Pada 9 Desember 2014 Pukul 16.45 WIB
[26] Intelijen Harus Beradaptasi dengan Keterbukaan dan Profesional, Diakses di http://www.bin.go.id/wawasan/detil/304/3/27/08/2014/intelijen-harus-beradaptasi-dengan-keterbukaan-dan-profesional, Pada 9 Desember 2014 Pukul 02.29 WIB
[27] Bob S. Hadiwinata (ed), Mendorong Akuntabilitas Intelijen: Dasar Hukum dan Praktik Terbaik dari Pengawasan Intelijen., (Jakarta : DCAF, FES dan Kementerian Luar Negeri Republik Federal Jerman, 2007), hlm 14
[28] Peraturan Presiden No.34 Tahun 2010 Tentang Badan Intelijen Negara Pasal 54 Mengenai Pembiayaan, Diakses di www.bin.go.id/asset/upload/446.pdf, Pada 10 Desember 2014 Pukul 19.18 WIB.
[29] A.M. Hendropriyono, Op.Cit, hal 36-37
[30] James J. Wirtz, The Intelligence-Policy Nexus, Strategic Intelligence. Vol 1, Praeger Security International, 2007. hlm 141
[31] A.M. Hendropriyono. Op.Cit, hlm 37
[32] A.M. Hendropriyono. Op.Cit., hlm 46