Dimensi Intelijen dalam Proses Back-Channel Negotiations

Dimensi Intelijen dalam Proses Back-Channel Negotiations

Pendahuluan

Intelijen oleh khalayak umum sering dipandang sebagai suatu kegiatan yang penuh rahasia, misterius, dan menakutkan. Beberapa pihak juga menilai bahwa intelijen adalah alat pemerintah untuk melenyapkan penentang kebijakan negara. Sisi negatif intelijen selalu lebih dominan untuk diperbicangkan dibanding sisi positifnya. Namun, tidak semua asumsi itu benar. Berangkat dari sini lah pembahasan mengenai sisi lain dari intelijen cukup menarik untuk dibahas. Terlebih mengingat peran intelijen dalam menentukan masa depan suatu negara yang cukup besar terutama mengenai fungsinya dalam menjaga keamanan negara.

Tulisan ini akan mengulas tentang sudut pandang berbeda dari intelijen yang bukan hanya berperan dalam keadaan perang namun turut berupaya dalam mewujudkan perdamaian antar negara. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui efektifitas Back-Channel Negotiation yang selanjutnya disingkat BCNs dalam memecahkan kebuntuan konflik yang tidak bisa diselesaikan dengan cara Front-Channel Negotiations yang kemudian disingkat FCNs. Kebuntuan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang salah satunya mengenai perbedaan budaya dalam negosiasi internasional. BCNs sendiri melibatkan intelijen sebagai instrumen perdamaiannya karena BCNs sendiri bermain dalam ranah kerahasiaan dan ketertutupan. Dalam tulisan ini pula ditambahkan contoh kasus konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia tahun 1963-1966 sebagai refleksi penggunaan BCNs dalam perwujudan perdamaian.

Pentingnya Back-Channel Negotiations

Perdamaian merupakan suatu capaian tertinggi bagi negara-negara yang tengah berkonfrontasi. Perdamaian suatu negara bisa diselesaikan dengan hard power yaitu dengan penggunaan kekerasan dan senjata maupun soft power yang lebih mengutamakan cara-cara diplomasi, negosiasi, serta melaksanakan operasi pengumpulan informasi. Namun dewasa ini, cara-cara penyelesaian suatu konflik dengan cara soft power dinilai lebih efektif dan lebih sesuai, salah satunya dengan negosiasi.

Dalam pelaksanaan diplomasi dan negosiasi, ada beberapa konsep yang melibatkan peran intelijen. Negosiasi yang dilakukan oleh negara-negara yang sedang mengalami konflik dapat ditempuh melalui teknik-teknik intelijen dan melalui orang-orang intelijen. Diplomasi dan negosiasi dalam mendorong upaya perdamaian sendiri dilakukan dengan prosedur formal baku yang memuat taktik-strategi serta kerahasiaan informasi dalam prinsip pemenuhan kepentingan nasional, bahkan kerahasiaan merupakan salah satu dari lima karakteristik diplomasi model lama.[1]

Mengenai penyelesaian suatu konflik khususnya konflik antar negara, diperlukan proses negosiasi damai untuk mengakhirinya. Proses negosiasi damai tersebut dibedakan menjadi dua yaitu Front-Channel Negotiations (negosiasi terbuka) dan Back-Channel Negotiations (negosiasi tertutup). Tahap negosiasi pertama yang ditempuh dalam penyelesaian konflik adalah dengan jalan FCNs.

FCNs merupakan proses negosiasi yang tidak memiliki kerahasian. Hal ini berbeda dengan BCNs. FCNs dilakukan dengan terbuka, diawasi oleh publik, diliput oleh media, serta menghabiskan sebagian waktu hanya untuk menyampaikan keluhan daripada benar-benar melakukan negosiasi.[2]

FCNs dalam prakteknya acap kali menimbulkan ketidakefektifan karena keterbukaan publik bisa menjadi penghambat bagi proses negosiasi terutama disaat konflik. Transparansi dan pengawasan publik dalam proses FCNs sering menimbulkan intervensi dari pihak luar dan memunculkan pihak-pihak oposisi yang akan menghambat jalannya proses negosiasi. Sementara, negosiasi saat terjadinya konflik harus dilakukan dengan rentang waktu yang singkat serta efektif. Apabila negosiasi tersebut memakan waktu yang cukup lama, maka akan berpengaruh pada situasi konflik yang semakin membesar dan inisiatif untuk mewujudkan perdamaian akan sulit tercapai tanpa adanya resolusi.

Menurut Anthony Wanis, apabila upaya FCNs tidak berhasil dan tidak menemui titik terang, maka harus ditempuh dengan BCNs dalam proses negosiasi untuk menghasilkan kesepakatan perdamaian diantara negara-negara yang sedang berkonfrontasi.[3]

Anthony Wanis-St. John (2001) mengatakan bahwa ketika front channel tidak dapat menghadirkan suatu kesepakatan, maka akan hadir suatu kebijakan untuk menggunakan back channel. Back channel sendiri dapat didefinisikan sebagai negosiasi rahasia dan resmi diantara para pihak yang berselisih, yang mana negosiasi rahasia ini dapat paralel atau  menggantikan negosiasi front channel.[4]

Para pihak yang mengalami konflik berkepanjangan memilih untuk berkomunikasi dan menggunakan BCNs untuk memecahkan kebuntuan yang selama ini selalu ditemui. Pihak yang berkonfrontasi dapat memilih jalan untuk berkomunikasi. Hal ini senada dengan ripeness theory atau teori kematangan yang dikemukakan oleh Zartman :

Kematangan biasanya merupakan hasil dari kebuntuan dimana kedua belah pihak menyadari bahwa mereka telah mencapai titik dimana mereka tidak bisa lagi meningkatkan cara mereka untuk kemenangan dan biaya yang dikeluarkan juga sangat mahal sehingga menimbulkan kebuntuan.[5]

BCNs adalah komunikasi rahasia antara perwakilan negara atau kelompok dengan tujuan menyelesaikan sengketa antara masing-masing pihak. BCNs dapat dilakukan secara langsung antara lawan pihak oleh perwakilan resmi mereka atau secara tidak langsung melalui perantara pihak ketiga.[6] Pada dasarnya BCNs merupakan upaya-upaya dari pihak ketiga untuk mengajak pelaku perselisihan internasional agar mereka menjauhkan diri dari ancaman perang.[7]

Negosiasi merupakan keinginan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan dan langkah yang kreatif dalam menemukan solusi. BCNs merujuk pada upaya komunikasi dan diskusi mengenai situasi konflik dan upaya-upaya penyelesaian konflik tersebut secara rahasia dan tidak diketahui oleh masyarakat luas. Louis Kriesberg (1992) mengatakan bahwa pertemuan-pertemuan rahasia merupakan awal dari diadakannya suatu negosiasi yang dapat mengarah pada penyelenggaraan negosiasi yang lebih substantif.[8] Unsur kerahasianaan dari BCNs semata-mata untuk melindungi setiap informasi rahasia kenegaraan dari pihak musuh dan sebagai upaya perwujudan suasana negosiasi yang kondusif. Karakter yang rahasia dan resmi serta pencarian solusi dalam penyelesaian masalah yang direalisasikan melalui kebijakan-kebijakan secara keseluruhan merupakan kesatuan dari BCNs itu sendiri.

Peran Intelijen dalam Back-Channel Negotiations         

Pada hakikatnya fungsi intelijen sendiri bukan hanya digunakan dalam perang namun juga digunakan dalam proses perdamaian. Secara umum, tidak ada negara yang ingin perang atau berkonflik. Semua negara ingin menciptakan perdamaian. Menurut Sun Tzu, dalam perang dan damai intelijen harus mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri maupun lawan, serta cara bertindaknya. Dalam situasi perang dapat digunakan untuk membantu mencari kekuatan, kelemahan musuh, penyerang musuh, sedangkan dalam keadaan damai digunakan untuk pembangunan serta memetakan potensi-potensi kekuatan diri sendiri.[9] Sehingga, intelijen harus bisa beradaptasi dalam setiap keadaan. Baik dalam keadaan perang atau pun damai, andil intelijen amat lah penting.

Peran intelijen dalam mengupayakan perwujudan perdamaian antar negara merupakan tugas utamanya. Ini merupakan salah satu fungsi positif dari intelijen. Dalam hal ini, intelijen melakukan pengumpulan informasi, menganalisis informasi terutama informasi-informasi yang berkaitan dengan penyelesaian suatu konflik, melihat peluang-peluang yang akan ditempuh dalam proses penyelesaiannya, serta melakukan negosiasi-negosiasi rahasia dan tertutup terhadap aktor-aktor yang terkait.

Dalam menjalankan hubungan antara masyarakat yang terorganisasi, diplomasi, dengan penerapan metode negosiasi, persuasi, tukar pikiran, dan sebagainya, mengurangi kemungkinan penggunaan kekuatan yang seringkali tersembunyi di belakangnya.[10] Dalam situasi konflik yang sedang memanas, keterlibatan intelijen dalam upaya penyelesaian konflik melalui BCNs dinilai tepat. Keunggulan aktivitas intelijen adalah mengetahui setiap informasi dengan cara menyusup ke wilayah lawan dan mengetahui aktivitas lawan. Hal ini membuat intelijen menjadi paham mengenai situasi lingkungan serta isu yang sedang berkembang dimasing-masing pihak yang sedang berkonfrontasi sebagai upaya untuk mewujudkan perdamaian.

Segala unsur yang berkaitan dengan BCNs bersifat rahasia. Hal ini dipastikan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam BCNs hanya dipilih sesuai dengan hubungan diplomatik dan mempunyai pengaruh. Para negosiator BCNs pun dipilih yang dinilai dekat dengan pembuat kebijakan serta yang mempunyai jalur istimewa kepada Presiden.[11] Salah satu negosiator yang tepat dalam keterlibatan dalam BCNs ini adalah intelijen. Intelijen mempunyai tanggung jawab langsung kepada Presiden sebagai end user-nya. Selain itu, intelijen sebagai pendukung kebijakan pemerintah harus bisa mengupayakan cara terbaik agar konfrontasi yang tengah berlangsung tidak berlarut-larut agar tidak menciptakan ketegangan baik ketegangan antar wilayah maupun ketegangan di dunia internasional.

Peran intelijen dalam proses BCNs sangat besar. Disamping unsur kerahasiaan yang selalu dijaga selama berlangsungnya proses negosasi, intelijen juga mempunya keleluasaan dalam mengumpulkan, menganalisis, dan mengolah segala bentuk informasi yang dibutuhkan guna menunjang proses negosiasi. Pelaksanaan diplomasi dan negosiasi memungkinkan peran intelijen terlibat di dalamnya. Sehingga peran intelijen sangat penting sebagai aktor dalam penyelesaian konflik melalui negosiasi dan upaya untuk mewujudkan perdamaian tersebut.

Keberhasilan BCNs tentunya didukung oleh aktor-aktor pengusung perdamaian. Dalam hal ini, terdapat upaya-upaya dari pihak intelijen yang berusaha mencari dan mengolah informasi selengkap-lengkapnya sebagai bahan yang akan dibahas pada negosiasi tersebut. Negosiasi tertutup seperti ini memungkinkan bagi para pihak yang berkonfrontasi untuk membicarakan kemungkinan-kemungkinan adanya perdamaian dengan tenang tanpa adanya tekanan maupun campur tangan dari pihak luar yang mempunyai kepentingan tertentu. BCNs membuat para negosiator untuk bisa lebih leluasa dalam melakukan upaya-upaya komunikasi perdamaian bagi kedua belah pihak.

Salah satu contoh keberhasilan penerapan BCNs dalam pencapaian kesepakatan perdamaian adalah ketika konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia yang berlangsung pada tahun 1963 sampai dengan 1966. Contoh tersebut dimaksudkan sebagai jembatan dalam pemahaman proses implementasi perdamaian yang melibatkan intelijen terhadap BCNs.

 Akhir dari Konfrontasi Indonesia dan Malaysia Melalui Praktik BCNs

            BCNs menjadi cara yang tepat dalam menyelesaikan suatu konflik dengan perdamaian. Dalam upaya penyelesaian konflik Indonesia dan Malaysia pada tahun 1963-1966, ditempuh dengan cara BCNs. Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia bergulir ketika koloni Inggris yang mencakup Sarawak, Sabah, Borneo Utara, Brunei dengan Malaya tergabung dalam Federasi Malaysia.[12] Keinginan pembentukan Federal Malaysia yang lebih dikenal sebagai Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961 ditentang oleh Presiden Soekarno. Soekarno mengganggap pembentukan Federasi Malaysia sebagai “boneka Inggris” yang merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru.[13]

Upaya untuk menyelesaikan konflik tersebut dilakukan dengan negosiasi terbuka namun tidak menghasilkan apa-apa. Dari kegagalan tersebut, timbul upaya-upaya dari pihak intelijen Indonesia yang berusaha untuk menghubungi pihak Inggris dalam penyelesaian konflik dan mencari dukungan. Selain itu intelijen Indonesia berusaha untuk menjalin komunikasi dengan pihak Malaysia guna menyelesaikan konfrontasi dengan BCNs.[14]

Sepanjang bulan Oktober 1964, terdapat beberapa penjajag rujuk yang menjalankan misi rahasia dari pihak Indonesia. Dari kalangan Dinas Intelijen ABRI, terdapat nama-nama seperti Mayjen Suwondo Parman dan Kolonel Ibnu Sutowo, sementara dari kelompok Soekarno diantaranya adalah Brigjen Soegih Arto dan Wakil PM (Waperdam) III Chaerul Saleh.[15]

Achmad Yani adalah salah satu tokoh militer Indonesia yang menjadi pembuka jalan perdamaian. Pada pertengahan tahun 1964 terjadi komunikasi antara Achmad Yani dengan Ghazali Sahfie, Kepala Intelijen Malaysia. Dari komunikasi ini, Achmad Yani mengetahui bahwa ada beberapa kalangan di Malaysia yang menginginkan perdamaian dengan Indonesia. Selain dengan intelijen Malaysia, Achmad Yani juga menjalin kontak damai melalui jalur diplomasi lewat jalur Departemen Pertahanan Inggris dengan mengirimkan Brigadir Jendral S Parman, Asisten Intelijen Panglima TNI-AD.[16]

Achmad Yani menyampaikan upaya perdamaian ini kepada Mayor Jendral Soeharto, kemudian Soeharto menugaskan Letnan Kolonel Ali Moertopo untuk mengelola operasi perdamaian dibantu oleh beberapa perwira muda Mayor LB Moerdani, Letkol Ramli, dan Letkol Sugeng Djarot. Sepanjang usaha perdamaian melalui negosiasi tertutup atau BCNs, ternyata juga berlangsung pertempuran di Kalimantan Utara. Pihak ABRI terus melakukan infiltrasi ke daerah musuh. Sengitnya pertempuran di Kalimantan Utara ini membuat jalur diplomasi kurang efektif.

Usaha perdamaian mulai berjalan pada awal tahun 1965. Setelah peristiwa G 30 S/PKI yang dilanjutkan dengan peristiwa Supersemar maka upaya perdamaian dengan Malaysia kembali dilanjutkan secara intensif. Pertengahan Desember 1965 tim Opsus Indonesia yang terdiri dari Ali Moertopo, Daan Mogot, dan Willy Persik datang ke Kuala Lumpur.[17] Benny Moerdani sudah berada di Kuala Lumpur untuk tetap menjaga komunikasi antara Indonesia – Malaysia. Komunikasi pihak Opsus Indonesia berjalan baik dengan pihak Malaysia yang diwakili oleh Menteri Pertahanan Tun Abdul Razak, walaupun beberapa pejabat imigrasi Malaysia tersinggung dengan kegiatan ini.

Kegiatan untuk menjalin komunikasi dengan Abdul Razak dilakukan tertutup, pihak Malaysia yang lain tidak ada yang tahu termasuk Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman. Sementara Presiden Soekarno juga hanya bisa menerka-nerka tetapi tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi.Akhirnya Benny Moerdani selaku Chief Liaison Officer Indonesia di Kuala Lumpur merasa perlu mengirimkan delegasi resmi ABRI ke Malaysia. Operasi intelijen untuk mengawali komunikasi yang sudah terjalin dengan baik dianggap cukup dan perlu dilanjutkan dengan kegiatan menuju perdamaian secara terbuka.

Tanggal 25 Mei 1966 sebuah penerbangan rahasia pesawat militer Indonesia diawaki oleh Komodor Susanto membawa sejumlah perwira ABRI datang ke Kuala Lumpur. Rombongan Indonesia terdiri Laksamana Muda OB Syaaf, Letkol Ali Moertopo, Kolonel Yoga Sugomo, Brigjen Kemal Idris, Letkol Sofyar, Kolonel Tjonopranolo. Adapun Benny Moerdani dan Atase Militer Indonesia di Bangkok, Kolonel Sugeng Djarot yang sudah terlebih dahulu tiba di Kuala Lumpur bertugas untuk meyambut rombongan.[18] Sementara itu, pihak Malaysia diwakili oleh Ghazali Shafie. Kemudian dari situ terjadi suatu perundingan antara delegasi Indonesia dengan Malaysia untuk segera mengakhiri konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia.

Akhirnya, setelah melewati berbagai macam perundingan, pertemuan, negosiasi, serta fase-fase yang panjang dan rumit lainnya dalam mengakhiri konfrontasi antar dua negara ini, pada tanggal 11 Agustus 1966 dibuat suatu pencapaian kesepakatan perdamaian antara Indonesia dan Malaysia. Kesepakatan ini merupakan akhir dari konflik. Kesepakatan dan persetujuan tersebut dikenal dengan piagam Jakarta Accord yang berisi persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia yang ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik dan Abdul Razak.[19]

 Kesimpulan

Dalam konstelasi internasional, konflik atau pergesekan antar negara akan selalu ada. Namun, penyelesaian konflik tidak semudah memulai konflik dan harus diupayakan cara-cara damai dalam penyelesaiannya. Konfrontasi yang terjadi antar negara sebaiknya sesegera mungkin diselesaikan dengan jalan damai karena apabila konfrontasi itu terus bergulir maka akan menimbulkan ketegangan bagi negara-negara tetangga yang tidak ikut dalam konfrontasi tersebut maupun ketegangan bagi dunia internasional.

Diplomasi dan negosiasi merupakan salah satu upaya dalam penyelesaian konflik secara damai. Dalam konteks ini, intelijen merupakan instrumen perdamaian bagi kedua belah pihak dengan melakukan negosiasi back channel jika upaya dalam negosiasi terbuka tidak menghasilkan resolusi apa-apa.

BCNs telah digunakan secara efektif untuk memecahkan kebuntuan dalam sejumlah kasus yang berujung pada pencapaian kesepakatan. Tabir unsur kerahasiaan yang diusung oleh BCNs dinilai efektif bagi pihak-pihak yang berkonfrontasi dalam menjalin komunikasi secara tertutup. Sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa BCNs, maka perwujudan perdamaian yang diharapkan akan sulit untuk terwujud. Studi kasus mengenai konfrontasi Indonesia dan Malaysia jelas menunjukkan bahwa BCNs merupakan alat dalam memecahkan kebuntuan konflik dan intelijen sebagai poros utamanya.

Peran intelijen dalam pencapaian perdamaian sangat penting sehingga paradigma mengenai intelijen yang menakutkan sedikit demi sedikit bisa terkikis. Korelasi untuk intelijen di masa yang akan datang agar bisa mewujudkan prinsip smart intelligence dalam menghadapi setiap ancaman, mengupayakan jalur negosiasi yang damai, tajam dalam menganalisa informasi, serta mampu mempertahankan keutuhan serta keamanan Indonesia.

 

[1] Harold Nicholson, Transition From The Old to The New Diplomacy dalam Elmer Plischke, ed., Modern Diplomacy: the Art and the Artisans (Washington DC:American Enterprise Institute, 1979), hlm 44-45

[2] Wanis-St.John, Back Channel Diplomacy: The Strategic Use of Multiple Channels of Negotiation in Middle East Peacemaking. (United States : Tufts University, 2001), hlm 11

[3]Ibid, hlm 12

[4] Anthony Wanis-St. John, Back-Channel Negotiation: International Bargaining in the Shadows, Negotiation Journal, 22:2 (Apr, 2006), hlm 123

[5] Zartman, I.W., Bargaining and Conflict Resolution (1996), juga digunakan oleh: Pruitt,D.G., Ripeness Theory and the Oslo Talks, International Negotiation, Volume 2, Issue 2, Kluwer Law International (1997) hlm 237

[6] Dean. G. Pruitt, Back-channel Communication in the Settlement of Conflict, International Negotiation, Vol 13,Number 1(2008). hlm 37

[7] Anthony Wanis-St John. Op.Cit., hlm 13

[8] Anthony Wanis-St John. Op.Cit., hlm 123

[9]Intelijen Harus Beradaptasi dengan Keterbukaan dan Profesionalitas. Diakses di http://www.bin.go.id/wawasan/detil/304/3/27/08/2014/intelijen-harus-beradaptasi-dengan-keterbukaan-dan-profesional. Pada 8 Desember 2014 Pukul 22.41 WIB

[10] S.L. Roy, Diplomasi, Terjemahan oleh Herwanto dan Mirsawati. (Jakarta : CV. Rajawali, 1991), hlm. 23

[11]Op.cit, hlm 120

[12] David Easter, British and Malaysian Covert Support for Rebeovement in Indonesia During The ‘Confrontation’, 1963-66. Intelligence and National Security, 14:4 (1999), hlm 195-196

[13] Linda Sunarti, Persaudaraan Sepanjang Hayat, Mencari Jalan Penyelesaian Damai Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1963-1966. (Serat Alam Media : Tangerang Selatan, 2014), hlm 15

[14] Ibid, hlm 175

[15]Ibid, hlm 156-157

[16] Ibid, hlm 157-158

[17] Ibid, hlm 290-291

[18] Ibid, hlm 291

[19]Ibid, hlm 291-292

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent