Penegakan Hukum vs Operasi Militer Dalam Penanganan Terorisme
Sabtu 8 Agustus 2009 di Temanggung Jawa Tengah, polisi melakukan penyerbuan ke sebuah rumah yang diduga menjadi sarang teroris. Tidak tanggung-tanggung, pasukan polisi dari Densus 88/AT Mabes Polri turun langsung. Tembak (menembak) terjadi selama hampir 17 jam. Tidak hanya tembakan dari senapan yang ditampilkan oleh polisi tetapi juga ledakan-ledakan yang diarahkan ke rumah sasaran. Lebih hebat lagi adalah peristiwa ini disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi. Hasil dari 17 jam serbuan tersebut adalah korban tewas, hanya satu, bernama Ibrohim
Terlepas dari siapa yang berhasil ditembak dalam serbuan 17 jam tersebut, banyak pihak menyibir aksi polisi. Ada pihak yang mengatakan serbuan tersebut adalah rekayasa[1], dianggap proyek, dan tidak transparan.
Secara teknis proses penyergapan atau penyerbuan tersebut juga tidak efektif. Amunisi yang dihamburkan dari puluhan senjata selama 17 jam ternyata hanya untuk melawan dan melumpuhkan (hingga tewas) seorang teroris.
Suara-suara publik akhirnya bermunculan, kenapa harus Densus 88 atau Polisi yang melakukan penyerbuan? Kenapa bukan pasukan khusus dari TNI seperti Sat Gultor-81/Kopassus yang sudah teruji dan berpengalaman diturunkan?
Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan institusi antara Polri dan TNI terus menguat. Polri menjalankan amanat undang-undang untuk melakukan penanganan aksi terorisme. TNI mempunyai tugas dalam operasi militer selain perang dalam penanganan terorisme. Selain itu TNI mempunyai pasukan-pasukan penanggulangan teror yang dianggap lebih mampu dan cakap dalam melawan teror.
Pemisahan Polri dan TNI yang diatur dalam UUD 1945 pasal 30 ayat 2, mempertegas TNI untuk kembali ke barak dan berada dalam posisi menjaga pertahanan negara. Kewenangan polisi di bidang keamanan dan penagakan hukum yang bersentuhan dengan masyarakat seringkali menjadi gesekan antara Polri dengan TNI. Hal ini tentu akan berbahaya jika gesekan tersebut juga muncul dalam penanganan terorisme.
Penegakan Hukum atau Operasi Militer?
Pertanyaan umum muncul, mengapa dalam penanganan teroris, polisi yang bertindak, mengapa bukan TNI? Mengapa penanganan terorisme dengan pendekatan penegakan hukum, bukan operasi militer yang lebih cepat?
Esensi sebenarnya untuk menjawab pertentangan antara siapa yang lebih tepat menangani masalah terorisme, Polri atau TNI, bukan hanya soal kemampuan teknis melawan teroris, tetapi lebih pada kewenangan sesuai hukum dan dampak.
TAP MPR-RI No VI/MPR-RI/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri secara tegas menyebutkan kewenangan masing-masing. TNI mempunyai peran dalam pertahanan negara, Polri berperan dalam memelihara keamanan. Dijelaskan juga jika ada kegiatan yang berkaitan antara pertahanan dan keamanan maka TNI dan Polri harus bekerja sama.
Pertanyaannya adalah apakah penanganan teroris akan menggunakan penegakan hukum yang ditangani oleh Polri atau menggunakan pendekatan operasi militer yang ditangani oleh TNI. Bagaimana dasar pelaksanaan dan dampaknya?
Penegakan Hukum
Majelis Umum PBB pada 1999 mendefinisikan terorisme sebagai berikut : semua kejahatan yang dimaksudkan untuk memprovokasi atau melahirkan terror kepada masyarakat umum, kepada sekelompok orang atau kepada orang-orang tertentu untuk tujuan-tujuan politik tertentu yang tak dapat dijustifikasi baik secara politik, filosofis, ideologis, rasial, etnis, agama dan lain-lain.
Terorisme dapat dikatakan sebagai suatu kriminal politik, untuk membedakan dengan tindak kriminal umum. Tindakan kriminal politik dilandasi oleh motif dilakukannya tindakan kriminal yang biasanya memperjuangan suatu keyakinan dan aliran tertentu.
Pelaku teror adalah wargan negara, yang kebetulan mempunyai haluan dan cara pandang yang beda. Teroris memaksakan kehendaknya dengan cara kekerasan. Penegakan hukum dilakukan polisi agar warga negara tersebut jera dan berubah serta kembali ke lingkungannya sebagai warga negara yang baik. Mereka tidak dianggap sebagai musuh seperti dalam terminologi perang.
Saat ini dasar hukum bagi penanggulangan terorisme adalah Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sesuai dengan undang-undang tersebut maka yang berhak melakukan penyidikan, penangkapan, dan penahanan adalah kepolisian. Hal inilah yang menjadi dasar polisi melakukan tindakan-tindakan terhadap kasus terorisme.
Penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri sudah tepat dan sesuai dengan koridor hukum. Pertentangan yang terjadi didasari oleh adanya ancaman terorisme perlu pendekatan kekuatan tempur untuk melawan terorisme yang lebih tepat jika dilakukan oleh militer, walaupun secara teknis polisi sudah mempunyai unit khusus untuk melakukan hal tersebut yaitu Densus 88/AT Mabes Polri.
Operasi Militer
Peran TNI dalam menangani terorisme disebutkan dalam UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pasal 7 yang menyebutkan terdapat dua operasi militer yaitu (a) operasi militer untuk perang, dan (b) operasi militer selain perang. Pada poin b disebutkan bahwa operasi militer selain peran adalah (3) mengatasi aksi terorisme, point lain menyebutkan (1) membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.
Secara hukum jika mengacu UU No 34 Tahun 2004 maka jika TNI terlibat dalam penangana terorisme dengan menggunakan operasi militer adalah sah. UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menjadi salah satu rujukan selain UU No 34 Tahun 2004, menyebutkan bahwa dalam menghadapi ancaman yang bersifat militer, TNI merupakan komponen utama dalam sistem pertahanan nasional, sedangkan komponen-komponen lain merupakan komponen pendukung.
Dalam menghadapi berbagai ancaman non-militer, TNI merupakan komponen pendukung sedangkan komponen lainnya tergantung pada sifat dan jenis ancaman, dapat menjadi kompnen utama.
UU No 3 Tahun 2002 ini bisa menjadi landasan TNI dalam menangani teroris mengingat teroris termasuk ancaman nasional seperti tertuang dalam UU No 15 Tahun 2003 poin (b) bahwa terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun international.
Secara logika hukum maka tidak ada hal yang dilanggar jika TNI terlibat dalam penanganan terorisme di Indonesia. Tetapi menangani terorisme dengan pendekatan operasi militer akan membawa masalah terorisme ke dalam suasana tempur/perang. Teroris akan ditumpas hingga kalah, doktrin TNI memang demikian. Hal tersebut juga pasti bukan persoalan bagi TNI yang mempunyai kemampuan penanggulangan teror
Selanjutnya setelah ditumpas dengan pendekatan operasi militer apakah terorisme akan selesai? Bagaimana dengan jaringannya, keluarganya, simpatisannya? Bagaimana jika mereka dendam? Bukankah hal tersebut akan menjadikan musuh baru bagi negara? Mereka tidak akan jera, justru akan semakin nekad karena sentimen/kebencian yang semakin bertambah.
Pembagian Peran
Peran Polri dan TNI harus diatur dengan jelas dan diberi kekuatan hukum. Tanpa kekuatan hukum maka justru akan menjadi masalah tersendiri yang akan mengurangi kekuatan dan konsentrasi tugas utama untuk menangani terorisme.
Konflik kepentingan antara Polri dan TNI akan terus terjadi selama tidak ada ketentuan hukum yang secara tegas mengatur fungsi dan peran masing-masing institusi.
Pembagian peran sebaiknya dalam rangka untuk penguatan penanganan terorisme, bukan sekedar untuk pembagian proyek atau untuk menunjukkan eksistensi institusi. Untuk menghandari hal tersebut maka peran apapun yang dilakukan oleh Polri atau TNI sebaiknya dibawah lembaga tersendiri, (bukan Polri atau TNI), seperti BNPT.
Contoh pembagian peran berdasarkan kondisi, yang sebaiknya penentuan tingkat kondisi dilakukan oleh BNPT , yang penulis usulkan adalah sebagai berikut :
Kodisi Teror | Peran Polri | Peran TNI |
Indikasi ada gerakan terorisme | Melakukan penyelidikan | Membantu dengan informasi intelijen |
Ada ancaman terorisme | Penyelidikan dan Pencegahan | Memberikan back up kepada Polri jika diperlukan/diminta |
Terjadi tindak terorisme yang mengancam / menimbulkan korban masyarakat | Melakukan penggulangan, penyelidikan, penyidikan, dan penanganan korban. | Memberikan back up kepada Polri, jika Polri belum ada di tempat maka TNI melakukan tindakan awal penanggulangan hingga Polri datang/siap. |
Terjadi serangan terorisme terhadap instansi pemerintah / simbol negara | Polri melakukan backup, jika TNI belum ada di tempat maka Polri melakukan tindakan awal penaggulangan hingga TNI datang/siap. | TNI melakukan tindakan penanggulangan |
Pembagian peran Polri dan TNI dalam penanganan terorisme sangat rawan akan gesekan lapangan. Jika hal ini terjadi maka harus dilakukan penguatan lembaga penanganan terorisme seperti BNPT yang berfungsi sebagai koordinator kegiatan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden No 46 Tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Tugas dari BNPT sesuai dengan Pepres tersebut adalah :
- Menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme
- Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme
- Melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk Satuan Tugas-Satuan Tugas yang terdiri dari unsur-unsur institusi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.
Mengacu pada Pepres tersebut, maka sudah tepat jika BNPT menjadi koordinator dalam penanganan (penanggulangan terorisme) termasuk membagi peran Polri dan TNI sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya masing-masing.
Kerjasama Intelijen
Mengingat ancaman terorisme yang bisa berdampak besar bagi masyarakat dan negara, maka Polri dituntut mempunyai peran tidak hanya pada penegakan hukum tetapi juga pada pencegahan, deteksi dini dan peringatan dini, dengan memaksimalkan fungsi intelijen.
Dalam kegiatan intelijen untuk penanggulangan terorisme, TNI dapat menujukkan peran dan wewenangnya dengan baik dan sesuai dengan ketentuan hukum untuk mendukung Polri. Produk intelijen TNI tentang terorisme dapat digunakan oleh Polri untuk langkah lebih lanjut. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme ayat 26 pasal 1 yang berbunyi “untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen”
Intelijen Polri dapat berkoordinasi dan bekerja sama dengan intelijen dari instansi lain seperti dari Kementrian Luar Negri, Kementrian Dalam Negeri, PPATK, BAIS TNI, dan kegiatan intelijen tersebut jika melibatkan organisasi lain sebaiknya dalam koordinasi Badan Intelijen Negara.
Hal ini sekaligus guna menjalankan amanat UU No 17 Tahun 2011 yang menyebutkan Badan Intelijen Negara berkedudukan sebagai koordinator penyelenggara Intelijen Negara. Penyelenggara Intelijen Negara lainnya, yaitu Intelijen TNI, Intelijen Kepolisian, Intelijen Kejaksaan dan Intelijen Kementerian/lembaga pemerintah non-Kementerian wajib berkoordinasi dengan Badan Intelijen Negara
Rekomendasi
Mengingat masih adanya kontroversi tentang pembagian peran Polri dan TNI dalam penanganan terorisme, terutama dengan adanya rancangan Peraturan Presiden tentang Penataan Organisasi yang diajukan oleh TNI yang mengindikasikan “keluar barak” dan menyentuh area keamanan[2], maka direkomendasikan dalam konteks penanganan terorisme sebagai berikut :
- Adanya penguatan fungsi dan wewenang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, penguatan ini yang akan mengatur gerakan Polri dan TNI dalam penanganan terorisme di bawah BNPT, bukan Kapolri atau Panglima TNI.
- Mempertegas kewenangan BNPT selaku badan yang menangani masalah terorisme, termasuk sebagai koordinator, agar tidak tumpang tindih dengan kewenangan institusi lain.
- Membagi peranan Polri dan TNI dengan syarat dan kondisi tertentu yang tertuang dalam aturan yang jelas, dengan rincian kapan menjadi domain Polri, kapan menjadi domain TNI, atau kapan Polri dan TNI melakukan penanganan secara bersama-sama.
- Jika terdapat suatu kegiatan/operasi yang melibatkan Polri dan TNI secara bersama-sama, maka kegiatan tersebut sebaiknya dibawah kendali BNPT, bukan Kapolri atau Panglima TNI, hal ini untuk menghindari ego sektoral. Contoh kerjasama lembaga dapat melihat pada penanganan bencana yang merupakan salah satu tugas TNI dalam operasi militer selain perang. Ketika TNI megirimkan pasukan untuk penanganan bencana maka TNI berada di bawah kendali Badan SAR Nasional. Hal ini juga bisa dilakukan jika TNI akan melakukan operasi pembersihan pengguna narkoba di internal TNI, maka POM TNI dapat di-BKO- di bawah BNN.
- Kegiatan bersama antara Polri dan TNI sebaiknya tidak hanya dalam operasi penanganan terorisme, tetapi harus diawali dengan latihan bersama/gabungan di bawah kendali BNPT dan kerjasama pertukaran informasi intelijen, sehingga kegiatan selanjutnya di lapangan tidak terjadi gesekan.
Kesimpulan
Peran bersama Polri dan TNI dalam penanganan terorisme jika diatur dengan baik dan meninggalkan ego sektoral, jika ditujukan untuk kepentingan mencegah ancaman kepada negara, bukan sesuatu yang haram. Kepentingan negara harus diutamakan.
Hal paling esensial adalah jangan sampai terjadi rebutan peran atau proyek penanganan terorisme. Jika terjadi, maka hal tersebut justru akan menjadi ancaman yang serius, lebih dari ancaman terorisme.
Penguatan BNPT sebagai koordinator penanganan terorisme, yang dilengkapi dengan penguatan lembaga dan ketentuan hukum untuk menentukan kewenangan dan peran Polri dan TNI sesuai dengan kondisi yang terjadi, dapat mencegah konflik kepentingan antar institusi.
TNI dan Polri harus bekerja sama dalam kegiatan intelijen untuk deteksi dini dan peringatan dini (pencegahan) ancaman terorisme. Polri melakukan tindakan penegakan hukum dan penanggulangan aksi terorisme dalam konteks menjaga keamanan negara. TNI siap siaga untuk membantu Polri jika terjadi aksi terorisme yang harus diatasi dengan pendekatan tempur. ***
*) Stanislaus Riyanta, menempuh S2 Kajian Stratejik Intelijen di Universitas Indonesia, peneliti dan editor di jurnalintelijen.net
[1] Dien Syamsuddin mencurigasi bahwa penangkapan teroris hanya proyek rekayasa, dan tidak transparan. Sumber berita di http://nasional.tempo.co/read/news/2013/08/06/063502587/dien-syamsuddin-curiga-rekayasa-kasus-teroris
[2] Lihat di Majalah Tempo edisi 8 November 2015 hal 84-85, “Muslihat Ke Luar Barak”