Bahaya di Pakistan

Pakistan semakin mencekam. Sasaran teror semakin brutal dengan menyerang tempat-tempat ibadah kaum muslim: Masjid. Konflik sektarian di sana menjadi makin buruk dan tak terkendali.
Tahun 2015 mungkin jadi awal terburuk dalam beberapa tahun terakhir. Kekerasan sektarian antara kelompok sunni melawan minoritas syiah -yang jumlahnya lima persen dari populasi- makin tahun kian parah. Kekerasan terbaru yang kembali ditujukan pada minoritas Kristen -yang jumlahnya sekitar dua persen dari populasi- memperpanjang daftar kengerian di negeri ini.
Negara yang menjadi markas Taliban ini juga menjadi salah satu negara dengan penyumbang personil ISIS terbesar. Para teroris Indonesia pun banyak alumni kamp-kamp mujahidin di Pakistan. Berkat ISIS, saat ini Pakistan lebih banyak memasok personil untuk wilayah konflik di timur tengah.
Salah satu wilayah aman bagi para teroris di Pakistan adalah Datta Khel dan Lembah Shawal. Selain menjadi tempat persembunyian sejumlah tokoh al-Qaeda, kedua tempat tersebut juga dikenal sebagai sebagai tempat transit untuk mujahidin yang akan memasuki atau meninggalkan Afganistan.
Pakistan juga merupakan tempat persembunyian pimpinan Al-Qaidah, Osama Bin laden. Pada 2011, tokoh teroris itu tewas di Abbottabad, dalam sebuah operasi militer oleh pasukan elite Amerika, Navy Seal.
Maka tidak heran jika berdasarkan riset tahunan yang dilakukan oleh Global Peace Index, tahun 2014 Pakistan masuk dalam daftar 10 negara paling tidak aman di dunia dengan GPI score mencapai 3107. Pun dengan riset yang di rilis The Economist Intelligence Unit yang menyebutkan dari skala 1-5, indeks teroris di Pakistan mencapai angka 5, yang berarti angka sempurna untuk kegiatan terorisme.
Lihat saja awal tahun ini, Pakistan disambut dengan serangkaian teror bom yang sasarannya adalah tempat-tempat ibadah: masjid-masjid kaum syiah. Teror masjid diawali di kota Shikarpur, provinsi Sindh, Pakistan Selatan, bom diledakkan saat umat sedang menjalankan ibadah sholat jumat. 61 orang tewas! Sepekan kemudian, lagi-lagi masjid menjadi target. Sebuah masjid di kawasan Timur Laut Pakistan diledakkan, 23 tewas.
Teror masjid itu masih berlanjut di Ibukota Islamabad. Kota yang biasanya tenang ini dikejutkan oleh ledakan bom saat masjid dipenuhi umat yang sedang menjalankan ibadah shalat. 3 tewas dan puluhan luka.
Rentetan teror masjid ini menjadi yang paling berdarah di awal tahun 2015. Pemerintah Pakistan pun sempat dipertanyakan perihal kemampuan dan kemauannya menyelesaikan konflik sektarian yang dilakukan oleh Taliban dan sempalannya Jamatul Ahrar.
Aksi teror di Pakistan nampaknya semakin tak pandang bulu. Beberapa waktu lalu terjadi serangan bom di Gereja Katolik St John dan Gereja Kristus di kawasan Youhanabad, kota Lahore, Pakistan. Serangan terjadi saat gereja dipenuhi jemaat yang menghadiri kebaktian. Lebih dari 14 orang tewas. Ini merupakan peristiwa terburuk ke dua setelah tragedi Gereja Peshawar tahun 2013 yang menewaskan 80 orang.
Belum hilang tentunya dari ingatan saat para teroris menghabisi sekolah umum milik militer di Peshawar yang menewaskan 150 orang, termasuk 133 anak-anak. Tak heran jika para guru di sana sampai diperbolehkan membawa senjata. Mengerikan!
Perang “saudara” antar islam ini sangat melemahkan. The Economist Inteligence Unit, dalam National Cost of Violence, memaparkan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah Pakistan untuk persoalan kekerasan ini telah mencapai angka US$ 40,315,000,000. Bila digabungkan dengan kerugian sosial dan politik, jumlah itu tentu bisa membengkak menjadi jauh lebih besar.
Bila melihat kehancuran yang diderita Irak dan Suriah, biaya yang dikeluarkan oleh Pakistan itu tentu jauh lebih kecil. Bila dibandingkan lagi dengan kerugian jiwa, angkat tersebut pasti tampak sangat kerdil.
Bayangkan, bila nanti ratusan mungkin ribuan orang Indonesia yang kini bergabung dengan ISIS, dan telah terlatih untuk menyembelih orang seperti binatang kembali ke tanah air. Mengerikan!
*Tulisan ini pernah di publish oleh penulis di indonesianreview.com