Megawati “Guru Besar Politik”

Megawati “Guru Besar Politik”
Deklarasi Ganjar Pranowo, 21 April 2023 (Sumber Foto: Kompas)

            Ganjar Pranowo dideklarasikan sebagai Capres PDI-P pada 21 April 2023 lalu (bertepatan dengan Hari Kartini dan sehari menjelang Hari Raya Idul Fitri 1444 H versi Pemerintah), secara langsung diumumkan oleh Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI-P di Istana Batu Tulis. Deklarasi tersebut memberikan ragam makna simbolik pada arena politik menjelang kontestasi Pilpres 2024. Pemaknaan secara simbolik tersebut dimulai dari pemilihan tanggal 21 April yang diperingati sebagai Hari Kartini dari aspek waktu (time), Istana Batu Tulis dari aspek tempat (place), eksistensi Presiden Jokowi Widodo atau Jokowi yang juga didampingi Puan Maharani dan Prananda Prabowo (putera dan puteri Megawati) dari aspek ketokohan (actor) yang ditugaskan mengawal tujuan akhir deklarasi tersebut. Foto Megawati yang diapit oleh Presiden Jokowi dan Ganjar Pranowo dengan pengawalan putera dan puteri Megawati dari sisi kiri dan kanan, seolah-olah menampilkan pesan bahwa estafet kekuasaan dari Presiden Jokowi ke Ganjar Pranowo sudah direstui Megawati dan harus dikawal oleh seluruh elemen kekuatan PDI-P secara kelembagaan melalui pesta demokrasi Pilpres 2024 berdasarkan konstitusi.

            Sebelum deklarasi tersebut memang ada sejarah cukup panjang terkait dorongan oleh beberapa tokoh internal PDI-P agar Puan Maharani diusung menjadi Capres 2024. Upaya pengajuan Puan sebagai Capres tersebut sampai mengkristal melalui peristiwa pembentukan “dewan kolonel” meskipun langsung “dibubarkan”. Selain itu, beberapa perdebatan di ruang publik antara relawan pengusung Ganjar Pranowo dengan tokoh internal PDI-P juga terekam dan terarsip melalui media konvensional dan media sosial. Kemelut apakah PDI-P mengusung Puan atau Ganjar akhirnya terjawab sudah. Secara simbolik, selain pesan agar seluruh kekuatan internal PDI-P harus solid dan bersinergis dengan kekuatan lainnya, Megawati ingin menyampaikan bahwa PDI-P percaya diri meskipun seminggu sebelumnya pembentukan koalisi besar telah melibatkan Koalisi Indonesia Raya (KIR – Gerindra dan PKB) dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB – Golkar, PAN, PPP), sekitar 45,93% yang  sebenarnya dapat mencalonkan dua paslon.

            Sikap diam Megawati selama ini seperti “harimau menyembunyikan kuku”, tetapi sekali bertindak dengan memakaikan peci hitam kepada Ganjar Pranowo secara simbolik, menyelesaikan beberapa kebuntuan politik di internal dan eksternal, sambil menyelem minum air. “Kemelut” internal apakah Puan atau Ganjar, dan “kemelut” eksternal seolah-olah “menggoda” PDI-P agar berada dalam koalisi besar dimana Prabowo Subianto sebagai central of gravity-nya terjawab sudah. Ganjar Pranowo adalah Capres yang akan didaftarkan PDI-P pada pesta demokrasi Pilpres 2024 nanti, bukan sebagai Cawapres.

Megawati “Guru Besar” Politik Pilpres 2024

            Langkah “catur politik” yang dimainkan Megawati menjelang Pilpres 2024 ini  menunjukkan kepiawaian yang sangat elegan, mulai dari pemanfaatan momentum, simbol, dan makna sehingga dinamika politik bergerak kencang ditandai dengan meningkatnya pertemuan-pertemuan politik yang diliput media, menyikapi peristiwa pemberian peci hitam kepada Ganjar oleh Megawati tersebut. Partai PPP secara kelembagaan akhirnya mendeklarasikan mendukung Ganjar dan meninggalkan KIB. Dinamika tersebut juga seolah-olah mengunci KIB dan mempertanyakan eksistensi Koalisi Besar, galau – gelisah antara lanjut atau udahan, jika meminjam istilah Gen Z saat ini.

            Megawati sehari-harinya memang bukan pengajar ilmu politik (as science), tetapi langkah “catur politik” yang dilakukannya dapat dikatakan sebagai karya seorang maestro politik. Karya yang begitu halus dalam balutan seni berpolitik dan hanya dapat dipahami oleh pembaca karya para “maestro” atau “guru”. Kontemplasi dan “penderitaan politik” yang dialami Megawati telah mengantarkannya sebagai tokoh politik yang bijaksana, setingkat kebijaksanaan yang dimiliki para guru besar dalam mengasuh para calon doktoral di dunia akademisi. “Penderitaan politik” tersebut juga mengantarkannya menjadi Presiden RI kelima. Selain itu, kontemplasi dan “penderitaan politik” yang dideranya pada masa Orde Baru seolah-olah memurnikannya sebagai politikus sejati yang mampu melihat arti kekuasaan sesungguhnya, kekuasaan yang digunakan untuk kepentingan yang lebih besar meskipun harus mengalahkan eksistensinya. Peristiwa pencalonan Jokowi sebagai Capres 2014 lalu sebagai bukti Megawati mampu mengalahkan egonya sebagai pemilik hak prerogratif dan peristiwa pencalonan Ganjar sebagai Capres 2024 juga sebagai bukti Megawati mampu mengalahkan egonya sebagai seorang ibu. Pilihan rasional yang ditentukan dan ditunjukkan Megawati dalam berpolitik selama ini dapat dikatakan jika Megawati adalah “Guru Besar” Politik, meskipun bukan “Guru Besar” Ilmu Politik. Langkah politiknya selama ini menunjukkan jika dia sudah jauh melompati standar minimal logos, ethos, dan pathos dalam praksis politik.

Sikap Megawati sebagai “Guru Bangsa” dalam Politik Pilpres 2024

            Sikap politik Megawati baik secara individu maupun secara kelembagaan sebagai Ketua Umum PDI-P menunjukkan sikap yang mengedepankan superego, dan mengalahkan ego serta mengubur id-nya jika dilihat dari perspektif Sigmun Freud untuk memotret struktur psikologis politik Megawati. Sikap mendidik, memberikan arahan, dan mendorong kader dibuktikan dengan mengusung Jokowi sebagai Capres 2014 dan Capres 2019 serta mengusung Ganjar sebagai Capres 2024 adalah sikap seorang guru, guru yang meneladani Tut Wuri Handayani. Sikap tersebut jarang dimiliki para tokoh dalam praktik politik di Indonesia dewasa ini.

           Pesan yang disampaikan Megawati kepada Ganjar juga jelas agar menjadi pemimpin yang bijaksana dan baik. Tentu “bijaksana” tersebut harus bersandar pada logos, ethos, dan pathos serta “baik” yang bersandar pada nilai dan norma yang mengedepankan kepentingan orang banyak dibanding kepentingan dirinya sendiri. Tentu Ganjar harus bijaksana melihat kepentingan nasional, khususnya keberlangsungan arah pembangunan nasional. Perubahan tersebut dapat dipengaruhi faktor ketiadaan GBHN sehingga memungkinkan arah pembangunan nasional menjadi “zig-zag” atau “tidak terpola/ semerawut” atau faktor ego pemimpin ketika berkuasa. Rumor “antitesa Jokowi” dan perdebatan keberlangsungan pembangunan DKI Jakarta (sebelum 2017 dan 2017 – 2022) antara pemimpin sebelum dan penggantinya kerap menjadi perdebatan panjang di ruang publik, seolah-olah tampil menjadi momok yang menakutkan terkait keberlangsungan pembangunan jalan tol dan infrastruktur lainnya yang masih harus dilanjutkan dan nasib Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Oleh karena itu, Ganjar diharapkan maju dan menang bukan untuk kekuasaan semata, tetapi untuk memperjuangkan kepentingan yang lebih besar, yaitu keberlangsungan dan keselarasan pembangunan nasional yang sudah dijalankan, membuat Indonesia yang sudah baik menjadi lebih baik lagi, sebagai keadaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus berjalan ke arah tujuan yang telah ditetapkan dalam Alinea ke-4 dalam Pembukaan UUD 1945. Semangat itulah yang harus dipatrikan Ganjar Pranowo dalam berpikir, bersikap, dan bertindak agar dapat menjadi “bijaksana” dan “baik”, sebagaimana hal tersebut juga menjadi pesan-pesan dari “Guru Bangsa” para pendiri dan pejuang terdahulu.

              Menjelang batas akhir pendaftaran pasangan calon Capres dan Cawapres pada 25 November 2023 nanti, masih banyak momentum hari yang dapat dipergunakan seperti 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, dan lain sebagainya bahkan 15 hari sebelumnya, yaitu 10 November sebagai Hari Pahlawan.  Politik Indonesia akan indah sekali dalam harmonisasi persatuan dan kesatuan bangsa jika sikap politik yang ditampilkan Megawati selama ini, sebagai “Guru Besar” Politik dan “Guru Bangsa” dapat diteladani, sikap yang mengalahkan ego politik dirinya baik sebagai seorang Ketua Umum PDI-P maupun sebagai seorang ibu dari anaknya yang juga terlibat dalam praktik politik Indonesia. Sikap politik yang mengedepankan kepentingan nasional sebagai tarikan nafasnya dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Mari kita teladani bersama sikap tersebut demi kejayaan Indonesia yang maju dan berdaulat, jayalah selalu Indonesia.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent