Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Membuka Asa Pendukung Penundaan Pemilu?

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Membuka Asa Pendukung Penundaan Pemilu?

JI-Jakarta, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, kemungkinan ada “kekuatan besar” di balik putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menunda Pemilu 2024. Pengadilan Negeri semestinya tidak berwenang untuk memutus sengketa terkait penetapan peserta pemilu yang merupakan wewenang Badan Pengawas Pemilu atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) yang gugatannya setelah tidak ditetapkan sebagai partai peserta pemilu berujung pada putusan menunda pemilu. Partai-partai politik semestinya sadar bahwa ada syarat untuk menjadi partai peserta pemilu.
Sementara, di Jakarta, Zulkifli yang juga Humas PN Jakpus mengatakan, putusan majelis hakim terhadap gugatan tersebut bukan menunda pemilu tetapi tidak melanjutkan sisa tahapan pemilu yang tengah berjalan.
Sedangkan, Ketua DPP Bara JP, Walman Siagian mengatakan, KPU boleh melakukan banding jika tidak setuju dan tidak mau menjalankan putusan PN. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama didepan hukum, termasuk juga partai Prima sebagai badan hukum yang merasa dirugikan oleh KPU. Menurutnya, dalam tahapan penentuan partai peserta pemilu, partai Prima sebagai penggugat merasa dirugikan haknya oleh KPU.
Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan, dirinya mendorong Komisi Pemilihan Umum melawan putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan Pemilu 2024 ditunda, dan hakim yang memutuskan telah salah kamar karena sudah merecoki pemilu, karena persoalan pemilu bukan wewenang PN tetapi wewenang Mahkamah Konstitusi (MK). PU melawan putusan PN Jakpus yang salah kamar, dan langkah KPU akan didukung rakyat.
Sedangkan, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam mengatakan, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat soal Pemilu 2024 ditunda merupakan kelanjutan dari “operasi kekuasaan” yang sejak lama menggulirkan isu penundaan pemilu. Putusan PN Jakpus ini menguatkan dugaan indikasi terjadinya praktik autocratic legalism di mana kepentingan sempit (vested interest) dari elite-elite kekuasaan masuk ke ranah yudisial, terlihat dari amar putusan yang seolah memperlihatkan ketidakpahaman Majelis Hakim bahwa mereka tidak punya wewenang mengadili perkara perdata pemilu. Putusan PN Jakpus tersebut menunjukkan rendahnya kualitas pemahaman Majelis Hakim terhadap aturan perundang-undangan pemilu dan objek perkara yang ditanganinya.
“Prima hanya sekadar pion kecil yang disiapkan untuk melancarkan agenda besar penundaan pemilu. Apalagi melihat gugatan partai pendatang baru terhadap KPU itu telah diajukan sedikitnya empat kali, mulai dari gugatan di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Pengadilan Negeri (PN),” ujarnya
Merespons semuanya, Wakil Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) Mangapul Silalahi mengatakan, tidak ada “bekingan” dalam upaya mereka menggugat KPU secara perdata ke PN Jakpus. Upaya gugatan perdata ke PN Jakpus hanya bentuk keberatan karena partainya dua kali dinyatakan KPU tidak memenuhi syarat verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024.
Menurut Redaksi, putusan PN Jakpus atas gugatan 757/Pdt.G/2022 yang dilakukan Partai Prima pada 8 Desember 2022, dimana dalam gugatannya, Partai Prima merasa dirugikan KPU saat verifikasi administrasi Parpol yang ditetapkan dalam Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu. Akibat verifikasi KPU itu, Partai Prima dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual. Untuk itu Partai Prima mengaku merugi secara immateriil, serta memengaruhi anggotanya di seluruh Indonesia. Partai Prima meminta PN Jakpus menghukum KPU agar tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sejak putusan dibacakan. Hakim memerintahkan KPU tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024. Bagaimanapun juga, narasi yang berkembang di masyarakat bahwa putusan penundaan Pemilu bukan soal independensi hakim, serta putusan terkait persoalan pemilu, bukan wewenang peradilan umum.
Banyak kalangan juga menyarankan KPU RI untuk melawan putusan PN Jakpus dengan upaya hukum berupa banding dan bila perlu sampai kasasi ketika dinilai tidak tepat. Bagaimanapun juga, putusan perdata PN Jakarta Pusat terkait gugatan Prima contoh buruk profesionalisme dan penghayatan hakim terhadap peraturan perundangan. Hakim PN Jakarta Pusat dalam perkara gugatan Partai Prima soal verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024 ini mencampuradukkan hukum perdata dan hukum administrasi. Dalam perkara gugatan Partai Prima, hakim telah mengacaukannya dengan persoalan administrasi yang bukan kewenangan pengadilan perdata.
Redaksi juga menduga jika beberapa yang sepakat dengan isu penundaan Pemilu sepertinya mendapatkan semacam mendapatkan “second wind atau angin baru” untuk terus mendesakkan usulan penundaan Pemilu 2024, walaupun beberapa kali Presiden Jokowi tetap tidak menginginkannya (Red).

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent