Bencana Pendidikan & Sinau Kesejahteraan Guru di Ujung Lorong Gelap

Bencana Pendidikan & Sinau Kesejahteraan Guru di Ujung Lorong Gelap

Share This:

Salah satu pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa, Darmaningtyas, melalui kolom oponi Harian Kompas tertanggal 21 Desember 2022 lalu, menyampaikan suatu kekhawatiran beliau terkait keberlangsungan dunia pendidikan. Melalui tulisan berjudul “Bencana Pendidikan, Krisis Guru dan Dosen PNS”, disampaikan bahwa ada suatu potensi ancaman (shock) yang akan mengganggu proses gelar pendidikan di Indonesia pada suatu ketika, kapan dan dimulai dari daerah mana dulu memang tidak dijelaskan secara tegas.

            Kekhawatiran tersebut memang sangat berdasar jika potret atas fenomena semakin menurunnya minat masyarakat untuk menjadi guru atau dosen dari tahun ke tahun. Salah satu akar masalah yang dipotret adalah masalah kesejahteraan profesi guru, khususnya para guru yang belum mendapatkan status sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Fenomena kesejahteraan para guru ini memang sangat menyedihkan, khususnya para guru dengan status honor. Masih terdengar keluhan dan suara rintihan para guru honor dalam melangsungkan hidup ini karena gaji mereka masih di angka satu juta lebih sedikit, begitulah satire santun yang acap penulis dengar secara langsung.

            Salah satu perbincangan dengan salah satu mahasiswa yang mengambil pendidikan keguruan di universitas swasta cukup membuat penulis meng-amini apa yang dikatakan Darmaningtyas. Kebetulan almarhum ayahnya seorang guru, si mahasiswa yang bekerja sebagai salah satu sales di perusahaan swasta, memilih ingin menjadi guru karena mengambil role model ayahnya. Namun pada saat sudah menempuh pendidikan lebih dari dua tahun, niatnya mulai urung karena semakin mengetahui bagaimana potret kesejahteraan profesi yang akan dijalaninya. Secara tegas dikatakannya jika ingin menjadi guru dengan status ASN adalah mimpi di siang bolong, tetapi jika tidak menjadi ASN pun, kalau gajinya bisa 70% saja dari Upah Minimum Regional (UMR), saya akan jalankan profesi ini. Pernyataan ini seolah-olah menarik memori penulis ke 20 tahun yang lalu ketika menjalani profesi sebagai dosen muda. Fenomena kesejahteraan dosen dengan status Non-ASN tersebut mengarahkan penulis untuk memilih profesi dosen sebagai “sampingan”, bukan utama, bahkan sampai tahun 2022 ini.

Pendidikan sebagai Public Goods vs Private Goods

            Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menunjukkan pada tahun 2022 ada 439.062 sekolah, terdiri dari 171.655 (39,10%) sekolah negeri dan 267.407 (60,90%) sekolah swasta. Komposisi 60,90% swasta dan 39,10% ini selaras dengan jumlah guru status PNS dan Non PNS. Seperti yang disampaikan Darmaningtyas, catatan dari Data Badan Kepegawaian Negara, terdapat guru PNS sebanyak 1.345.201 (40,28%) dan ada 1.994.751 (59,72%) guru Non PNS. Potret formasi ratio swasta negeri dengan pola 60:40 ini mengundang pertanyaan fundamental yang harus dijawab secara paradigmatik, “Apakah pendidikan dipandang sebagai public goods (kebutuhan publik) atau private goods (kebutuhan privat).

            Tentu untuk menjawab fenomena ini sebagai suatu tontonan memerlukan tuntunan yang mengarahkan pada konstitusi sebagai konsensus kita bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menuju tatanan yang dicita-citakan, salah satunya kehidupan bangsa yang cerdas. Jika pendidikan dipandang sebagai hak warga negara, tentu secara tegas dapat dikatakan pendidikan adalah public goods yang berimplikasi tugas negara karena menjadi amanah konstitusi untuk menyediakannya. Formasi 60:40 yang didominasi swasta, baik sekolah maupun guru, tentu dapat dimaknai praktik yang berlangsung pendidikan cenderung mengarah pada private goods, bukan public goods. Kenapa? Karena ada biaya pendidikan yang beragam dan tidak standar, cenderung mahal karena ketersediaan sekolah terbatas.

            Jika dilihat dari formasi antara sekolah negeri dan swasta, terdapat SD Negeri sebanyak 130.141 (87,19%) dan SD Swasta 19.128 (12,81%). Semakin tinggi tingkatannya, dominasi negeri bergeser pada dominasi swasta. SMP Negeri sebanyak 23.937 (56,46%) dan SMP Swasta 18.463 (43,54%). Untuk SMA/SMK Negeri sebanyak 10.712 (37,23%) dan SMA/SMK Swasta 18.064 (62,77%). Pergeseran pola dominasi negeri ke swasta diikuti dengan turunnya angka partisipasi pendidikan, dari tingkat SD yang sangat tinggi, menurun pada tingkat SMP yang dapat dibaca sebagai angka putus sekolah, cukup signifikan pada tingkat SMA/SMK, dan sangat signifikan pada tingkat perguruan tinggi. Kenapa? Karena ada biaya pendidikan yang cenderung menjadi mahal dan sehingga sulit diakses dan ketersediaan sekolah negeri masih sangat terbatas pada tingkat menengah dan perguruan tinggi.

Sinau Kesejahteraan Guru di lorong gelap

            Permasalahan mendasar karena arah pendidikan cenderung menjadi mahal ditambah potensi krisis guru dan dosen PNS seperti yang disampaikan Darmaningtyas di atas dapat mengancam sistem pendidikan kita. Ketahanan pendidikan jika tidak dilakukan penguatan (booster) secara terarah dan terukur, potensi kekacauan dalam dunia pendidikan yang mengarahkan pada kondisi pendidikan sebagai private goods murni akan menjadikan pendidikan hanya dapat diakses oleh orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi saja. Oleh karena itu, kemerdekaan pendidikan karena dipandang sebagai hak akan mengalami pergeseran makna yang berdampak pada sulitnya memenuhi keadilan sosial. Mengapa? Karena prinsip dasar keadilan menjadi sulit dipenuhi, sebab pilar kesetaraan dan kemerdekaan (bebas memilih dan haknya dilindungi) menjadi hilang. Konsep pendidikan yang merdeka karena memiliki kesetaraan (tanpa melihat latar belakang suku, ekonomi, keluarga, dsb) dan bebas memilih karena ketersediaannya dapat diakses dengan mudah tidak lagi dapat dijalankan.  

            Namun demikian, mirisnya, kecenderungan mahalnya biaya pendidikan tersebut tidak diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan para guru secara umum. Masih banyak suara-suara yang mengatakan rendahnya kesejahteraan guru, khususnya guru tidak tetap meskipun mengajar di sekolah swasta. Guru yang mengajar di sekolah swasta (60,90%) juga terkadang tidak dipandang sebagai profesi yang derajatnya tinggi karena terkadang gajinya di bawah UMR. Padahal profesi guru memiliki derajat lebih tinggi daripada pekerja yang dilindungi oleh UMR tersebut. Dikatakan sebagai profesi karena harus menamatkan pendidikan kesarjanaan melalui pendidikan formal, selanjut harus mengikuti kode etik yang ditetapkan organisasi profesi, dan diuji kompetensinya. Seorang pekerja out sourcing sebagai potong rumput di perusahaan tambang minyak, tidak dapat dikatakan sebagai profesi potong rumput karena tidak harus menamatkan pendidikan kesarjanaan ilmu tertentu, tidak diikat kode etik profesi, dan tidak perlu lulus ujian kompetensi, tetapi hak upahnya dilindungi melalui kebijakan UMR. Mengapa perlindungan itu tidak berlaku pada profesi guru?

            Peradaban bangsa yang baik tentu harus dapat melindungi kaum cerdik pandainya, untuk itu negara harus hadir. Minimal upah ideal yang mereka harus terima adalah tiga kali UMR karena mendidik anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa, membantu anak-anak kita melukis masa depannya, menjalankan tugas konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa. Untuk itu, negara harus hadir melalui intervensi kebijakannya, menghadirkan suatu standar yang layak seperti “Upah Minimum Guru” (UMG) atau “Jasa Pelayanan Minimum” yang melindungi seluruh profesi guru, baik yang mengajar di sekolah swasta maupun sekolah negeri dan harus dipatuhi oleh seluruh Organisasi Pendidikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian, apapun bentuk kebijakan yang akan diambil pemerintah, ketika harapan kesejahteraan guru terpenuhi sudah membuat saya senang. Terpenuhi minimal setara 70% saja dari UMR, seperti yang diharapkan oleh mahasiswa sebagai lawan diskusi saya, sehingga tidak urung nantinya menjadi seorang guru, diharapkan dapat menjawab sedikit kekhawatiran Darmaningtyas dalam melihat masa depan pendidikan kita.

            Saya sangat berharap, momentum Indonesia mengejar 2045 sebagai Indonesia Emas akan mengantarkan kesejahteraan guru melebihi tiga kali UMR yang berlaku. 2045 sebagai sinau harapan meskipun lorong yang ditempuh saat ini masih gelap, cahaya di ujung lorong itu menjadikan kesejahteraan guru sebagai pertanda rendah tingginya peradaban kita, simbol peradaban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena tugas transmisi nilai antar generasi ada di pundak mereka.

Print Friendly, PDF & Email
jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent