Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) berpotensi mangkrak

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) berpotensi mangkrak
istockphoto/ Igor Ilnitckii

JI-Jakarta. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang digagas Pemerintah Indonesia dengan menggandeng investor dari China, mengalami pembengkakan anggaran.
Alhasil, China melalui China Development Bank (CDB) meminta Indonesia turut menanggung pembengkakan biaya tersebut.
Pembengkakan biaya dalam proyek KCJB timbul seiring terjadinya kelebihan biaya atau cost overrun dalam pengerjaan konstruksi dalam proyek tersebut.
Adapun cost overrun dalam proyek KCJB adalah sebesar 8 miliar dolar AS atau setara dengan Rp114 triliun rupiah.
Jika dilihat dari angka tersebut, maka biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membengkak 1,9 miliar dolar AS atau setara dengan Rp27,09 triliun, dari anggaran awal sebesar 6,07 dolar AS ekuivalen Rp86.5 triliun.
China minta RI ikut tanggung pembengkakan biaya
Adanya permintaan China tersebut disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian, Wahyu Utomo.
Ia mengatakan, China meminta Indonesia ikut menanggung pembekakan biaya dalam proyek KCJB dengan menggunakan APBN.
“Ada permintaan karena cost overrun ini agar di-cover oleh pemerintah Indonesia,” jelas Wahyu Utomo dikutip pada Rabu (27/7/2022).
“Terkait hal ini, teman-teman dari Kementerian Keuangan baru membahas yang merupakan bagian kewajiban kami untuk kontribusi dalam pembangunan, bukan cost overrun,” lanjutnya.
Hingga kini, Presiden Jokowi belum merespons masalah pembengkakan biaya dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Dan terkait permintaan China agar pemerintah Indonesia ikut menalangi pembengkakan biaya tersebut, Presiden Jokowi juga belum memberikan arahan apapun.
Namun sebelumnya, Presiden Jokowi sempat menegaskan beberapa kali kalau proyek KCJB tersebut adalah murni business to business (b to b). Presiden juga pernah berjanji tida akan menggunakan dana APBN sepeserpun dalam proyek tersebut.
PT KAI ikut angkat bicara
Terkait masalah pembengkakan biaya dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI), Didiek Hartantyo ikut angkat bicara.
Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi V DPR RI, Didiek mengatakan, penyelesaian proyek KCJB memang terhambat dan penyelesaian proyeknya terancam diundur.
Menurutnya, penyelesaian proyek KCJB akan molor jika PMN tak kunjung cair, terlebih menyusul menipisnya kas KCIC hingga September mendatang.
KCIC yang sahamnya dimiliki oleh sejumlah BUMN berharap, kucuran dana APBN melalui skema PMN yang sudah disetujui bisa menjadi penyelamat proyek ini.
“Ini yang kemarin ditayangkan saat RDP di komisi VI disampaikan menteri BUMN dan kemarin dalam pembahasan menyeluruh dan ini akan diberikan support,” ujar Didiek dalam RDP dengan Komisi V DPR RI, Rabu (6/7/2022).
“Dan apabila ini tidak cair di 2022 ini, maka penyelesaian proyek ini akan terhambat juga,” tandasnya.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) kembali menjadi sorotan publik. Hal ini lantaran China lewat China Development Bank (CDB) disebut meminta Indonesia ikut menanggung biaya bengkak (cost overrun) proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).
Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Wahyu Utomo mengatakan masalah pembengkakan biaya KCJB masih dibahas oleh pemerintah.
“Memang beberapa waktu lalu disampaikan permasalahan cost overrun. Tentang cost overrun ini setahu saya masih dibahas karena ada permintaan agar cost overrun ini juga di-cover oleh pemerintah Indonesia,” ujar Wahyu dalam konferensi pers, Selasa (26/7) lalu.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sebenarnya sudah digagas sejak era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelum China memegang proyek ini, Negeri Tirai Bambu tersebut sempat beradu kuat dengan Jepang, negara yang lebih dulu melakukan studi kelayakan proyek ini.
Pada 2014 lalu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah menginisiasi studi kelayakan dengan Japan Internasional Corporation Agency (JICA).
Awalnya, pemerintah mengkaji proyek kereta semi cepat Jakarta-Surabaya sepanjang 748 km. Kala itu, JICA bersedia menalangi biaya pelaksanaan studi tersebut. Hasilnya, proyek tersebut diperkirakan membutuhkan biaya Rp100 triliun. Pemerintah pun memutuskan untuk membangun proyek tersebut secara bertahap. Lalu, timbul gagasan untuk lebih dulu membangun Kereta Cepat Jakarta-Bandung sepanjang 150 km dengan proyeksi investasi Rp67 triliun. Setelah itu, China mengutarakan minat untuk menggarap proyek tersebut.
Pada 2015, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil kala itu mengungkapkan perusahaan asal Jepang dan China mengikuti ‘kontes kecantikan’ untuk memperebutkan proyek kereta cepat (high speed train) Jakarta-Bandung yang akan dibangun pemerintah.
“Mereka keduanya telah melakukan studi, sehingga tinggal keputusan pemerintah siapa yang akan memenangkan. Kesimpulannya kami akan membuat proses beauty contest, sehingga nanti siapa yang terbaik yang akan menang. Pemerintah akan memberi award pada hasil beauty contest ini,” ujar Sofyan dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan. Lalu bagaimana proposal China dan Jepang yang diberikan kepada pemerintah dalam buku bertajuk ‘Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Maret 2018’?
Proposal Konsorsium China dan Indonesia memuat nilai penawaran sebesar US$5,13 miliar. Tidak ada jaminan pemerintah, pembiayaan dari APBN dan subsidi tarif, dan pembengkakan biaya menjadi tanggung jawab joint venture company (JVC).
Sementara, proposal Jepang berisi nilai penawaran sebesar US$6,2 miliar. Ada jaminan pemerintah, pembiayaan dari APBN dan subsidi tarif, serta pembengkakan biaya ditanggung pemerintah.
Pada 2016, Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) dan Presiden China Xi Jinping menandatangani perjanjian pendanaan infrastruktur antara China Development Bank dengan KCIC. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung masuk ke dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016.
Dalam pembangunannya, anggaran KCJB mengalami pembengkakan. Pada September 2021, anggaran proyek ini membengkak menjadi US$8 miliar atau setara Rp114,24 triliun (kurs Rp14.280). Proyek infrastruktur ini sebelumnya dianggarkan US$6,07 miliar atau setara Rp86,67 triliun.
Penyelesaian proyek ini juga terancam mundur akibat kurangnya modal. Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo mengatakan hal tersebut bisa terjadi jika modal negara yang diberikan dalam bentuk PMN tidak segera cair. Ia mengatakan keterlambatan pencairan akan membuat kas PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) selaku pelaksana proyek hanya bisa bertahan hingga September 2022 mendatang
“Kemarin sudah dalam pembahasan menyeluruh dan ini akan diberikan support. Apabila ini (PMN) tidak cair di 2022, maka penyelesaian kereta cepat ini akan terlambat juga,” ujarnya dalam rapat dengan bersama Komisi V DPR RI, Rabu (6/7/2022).
Didiek menuturkan jika PMN tidak bisa turun tahun ini, maka penyelesaian proyek KCJB yang direncanakan selesai Juni 2023 tidak akan terwujud. Pada Juni 2022 lalu, PT KCIC juga membeberkan peluang terjadinya pembengkakan biaya (cost everrun) dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Penambahan biaya diperkirakan mencapai Rp2,3 triliun yang berasal dari pajak dan pengadaan lahan.
Managing Director Political Economic and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan khawatir pihak China meminta Indonesia menanggung pembengkakan biaya 100 persen. Hal ini berarti pemerintah 100 persen atau patungan dengan BUMN yang tergabung dalam konsorsium PSBI.
“Yang dikhawatirkan China minta Indonesia menanggung 100 persen. Ada masalah pembengkakan biaya dalam pembebasan lahan, itu takutnya Indonesia yang disalahkan,” ucap Anthony. Tapi, secara hitung-hitungan bisnis seharusnya itu tak terjadi. Minimal, pembengkakan biaya ditanggung oleh pemegang saham secara rata.
Pihak Indonesia idealnya menanggung 60 persen dan China 40 persen. Hal ini sesuai dengan kepemilikan porsi saham. BUMN Indonesia yang tergabung dalam konsorsium PSBI menggenggam 60 persen saham proyek KCJB dan sisanya dikempit China.
Yang belum jelas, apakah negara akan ikut turun tangan mengatasi masalah ini atau tidak. Sebab, belum tentu BUMN anggota konsorsium punya duit untuk menanggung pembengkakan biaya proyek KCJB. “Kalau sampai Pemerintah Indonesia menanggung 100 persen ini celaka. Ini merugikan keuangan negara,” tutur Anthony.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE) Mohammad Faisal seharusnya sebagian besar pembengkakan biaya proyek KCJB ditanggung BUMN yang menjadi anggota konsorsium dan China sebagai pemegang saham. Jadi, Pemerintah Indonesia tak perlu keluar uang banyak lagi untuk proyek tersebut.
“Porsi pemerintah harusnya dikit. Jadi sebagian besar ditanggung pemegang saham. Uang BUMN dan China. Entah mungkin BUMN mengeluarkan obligasi dan lain-lain,” terang Faisal.
Kalau memang butuh suntikan PMN lagi, pemerintah sifatnya cuma membantu sebagian kecil. Jangan sampai mayoritas dipikul oleh pemerintah.
Apalagi, KCJB sebenarnya bukan proyek mendesak yang kalau tak diselesaikan akan berdampak negatif pada banyak pihak. Lebih-lebih, negara juga sedang sibuk menekan inflasi dengan menambah subsidi di tengah kenaikan harga pangan dan energi.
“Masalah APBN bukan cuma mengurus proyek kereta cepat. Apalagi sekarang sedang konsolidasi fiskal. Proyek kereta cepat tidak urgent, tidak seperti belanja covid-19 atau kebutuhan untuk mengendalikan inflasi. Jadi PMN seharusnya hanya sebagian kecil, sisanya BUMN dan China,” jelas Faisal.
Faisal mengingatkan pemerintah dan KCIC untuk segera mencari solusi menyelesaikan masalah pembengkakan biaya proyek KCJB. Jika tidak, maka proyek itu berpotensi mangkrak. “Pasti berpotensi (mangkrak). Makanya perlu dicari solusi tapi ingat jangan jadinya PMN dikeluarkan banyak. PMN jangan jadi yang utama, cari solusi lain,” ujar Faisal.
Senada, Anthony menilai proyek KCJB berpotensi mangkrak. Sebab, 2023 tinggal sebentar lagi. “Pasti (mangkrak), karena targetnya dipasang 2023. Target juga mundur terus, pertama 2019, lalu 2022, lalu jadi 2023,” ujar Anthony.
Selain itu, belum ada kejelasan pihak mana saja yang harus ikut menyelamatkan proyek KCJB. Berapa porsi untuk masing-masing pihak tersebut, apakah mayoritas menggunakan uang negara, apakah BUMN, apakah China, atau semua pihak tanggung renteng menutupi tambahan biaya proyek tersebut.
Sementara, Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto mengatakan KCIC bisa mencari investor baru untuk menambah modal proyek KCJB. Misalnya, BUMN yang tergabung dalam PSBI melepas sebagian saham ke pihak swasta.
“Salah satunya dengan mencari strategic investor, kalau bisa dari investor domestik,” kata Toto. Konsekuensinya, kepemilikan saham pihak RI di proyek KCJB akan berkurang. Sebagai gantinya, proyek itu akan bisa diimplementasikan.
Toto mengatakan bahaya jika 100 persen pembengkakan biaya proyek KCJB menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia. Sebab, risiko proyek sepenuhnya akan ditanggung negara. “Karena kalau sepenuhnya disokong APBN maka risiko sepenuhnya di negara, padahal konsep awal bisnis ini adalah B to B (business to business),” jelas Toto.
Semula, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan proyek KCJB hanya US$6 miliar atau setara Rp90 triliun. Namun jika dihitung dengan potensi pembengkakan biaya, maka total dana yang dibutuhkan untuk membangun KCJB tembus US$7,9 miliar atau Rp118,5 triliun.
Dalam perjanjian awal, sebagian besar atau 75 persen dari nilai proyek KCJB dibiayai oleh CDB dan 25 persen dari pemegang saham. Dengan kata lain, 25 persen itu akan berasal dari BUMN yang tergabung dalam konsorsium dan Beijing Yawan HSR.
Proyek kereta Jakarta-Bandung yang digarap konsorsium perusahaan Indonesia-China kini tersandung masalah. Proyek ini seharusnya rampung pada 2019, namun diperkirakan baru selesai pada pertengahan 2023. Biaya pembangunan pun membengkak.
Biaya pembangunan mega proyek infrastruktur itu mengalami cost overrun menjadi US$ 8 miliar atau setara Rp 114,2 triliun.
Angka tersebut membengkak US$ 1,9 miliar, dari rencana awal sebesar US$ 6 miliar. Pembengkakan biaya memang tak terhindarkan lantaran ada beberapa acuan harga yang harus disesuaikan. Selain itu, penambahan waktu estimasi pelaksanaan proyek juga turut berdampak terhadap biaya proyek. Adapun beberapa pembengkakan biaya proyek tersebut disebabkan karena pengadaan lahan yang memakan waktu hingga berdampak pada kenaikan harga tanah. kondisi geologi di tunnel 2, penggunaan frekuensi GSM-R, instalasi listrik dan lainnya, hingga faktor pandemi Covid-19.
Bahkan, China Development Bank (CDB) dikabarkan telah meminta pemerintah Indonesia ikut menanggung cost overrun yang terjadi atas proyek tersebut. Namun, pemerintah tidak langsung memenuhi permintaan tersebut karena perlu ada pembahasan dan kajian mendalam.
“Setahu saya masih dibahas karena ada permintaan agar cost overrun ini jgua di cover oleh pemerintah Indonesia,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wahyu Utomo.
Jika menelisik ke belakang, China pada saat itu bukanlah satu-satunya investor yang berminat terhadap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Jauh sebelum itu, sudah ada Jepang yang bahkan sudah melakukan studi kelayakan untuk pembangunan kereta semi cepat rute Jakarta-Surabaya.
Kala itu, Jepang ingin menggarap proyek tersebut selama ada jaminan pemerintah. Jaminan yang dimaksud adalah apabila proyek tiba-tiba berhenti di tengah jalan, pemerintah Indonesia dapat memberikan pendanaan dan mampu melanjutkan proyek tersebut hingga benar-benar tuntas.
Namun, China justru menawarkan proposal yang membuat pemerintah akhirnya ‘luluh’. China pada saat itu mengaku siap untuk menggarap mega proyek tersebut tanpa adanya jaminan pemerintah, alias tidak ada sepeserpun uang yang akan keluar dari kas keuangan negara.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan juga selalu menegaskan bahwa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tidak akan menggunakan uang rakyat yang berasal dari Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kereta cepat tidak menggunakan APBN. Kita swerahkan BUMN untuk business to business. Pesan yang saya sampaikan kereta itu dihitung lagi,” kata Jokowi pada September 2015 lalu.
Jokowi kembali menegaskan bahwa pemerintah sama sekali tidak memberikan jaminan atau garansi apa pun untuk proyek tersebut. Pasalnya, pengerjaan seluruh proyek dikerjakan konsorsium BUMN dan perusahaan China dengan perhitungan bisnis.
“Jadi sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN. Tidak ada penjaminan dari pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN yang melakukan yang namanya B to B,” kata Jokowi.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent