BOLEH KAGET TAPI JANGAN MASA BODOH (4): “MAKNA PASAL 37 UUD 1945 DAN SOAL AMANDEMEN UUD 1945”
Foto: Mayjen TNI (Purn) Prijanto, sumber foto: Prayogi /Republika
MAYJEN TNI (PURN) PRIJANTO
WAGUB DKI JAKARTA, 2007-2012
RUMAH KEBANGKITAN INDONESIA, 18 APRIL 2021
Di bawah ini, cuplikan-cuplikan dialog saat Sidang Pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Agustus 1945 (Sekneg RI, 1998, Risalah Sidang BPUPKI-PPKI):
Ketua Soekarno :
“Sidang saya buka lagi. Saya beri kesempatan untuk membuat pemandangan umum, yang singkat, cekak aos, hanya mengenai pokok-pokok saja dan tuan-tuan semuanya mengerti, bahwa Undang-undang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah Undang-undang Dasar sementara”.
“Kalau boleh saya pakai perkataan : ini adalah Undang-undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”.
Setelah pengantar Ketua Soekarno, terjadi tanya jawab antara Ketua, dengan anggota Amir, Soepomo, Ratulangie dan Iwa Koesoema Soemantri, dll. Salah satunya, usul anggota Iwa Koesoema Soemantri, yang kemudian atas perintah Ketua Soekarno, anggota Soepomo sebagai salah satu arsitek Rancangan Undang-undang Dasar diperintah untuk menjelaskan; cuplikannya sbb :
Anggota Iwa Koesoema Soemantri :
“Salah satu perubahan yang akan saya tambahkan, yang saya usulkan, yaitu tentang perubahan Undang-undang Dasar. Di sini belum ada artikel tentang perubahan Undang-undang Dasar dan itu menurut pendapat saya masih perlu diadakan. Terima kasih”.
Anggota Soepomo :
“Usul dari tuan Iwa; memang, kalau hanya penyempurnaan bersifat tehnis, memang ada lagi hal yang belum diuraikan oleh tuan-tuan. Saya sendiri ada juga. Ada dua hal. Memang lebih jelas, kalau begini :
“Berhubung dengan usul tuan Iwa itu, memang harus ada Bab XVI, tentang perubahan Undang-undang Dasar. Yaitu yang memuat pasal baru, ayat (1) yang menentukan bahwa untuk mengubah Undang-undang Dasar, sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota harus hadir. Jadi untuk mengubah Undang-undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari banyaknya anggota harus hadir dalam sidang. Dan ayat (2) bahwa putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada yang hadir”.
Mencermati tanya jawab di atas, kita bisa menarik bebarapa hal sbb :
- Bung Karno, selaku Ketua Panitia Tim Kecil yang menyusun Rancangan Undang-undang Dasar saat di BPUPKI, ketika menjadi Ketua Sidang PPKI menjelaskan bahwa Undang-undang Dasar yang sedang dibicarakan (saat ini disebut UUD 1945), merupakan Undang-undang Dasar sementara, atau Udang-undang Dasar kilat.
- Kata ‘sementara’ dan ‘kilat’ sebagai kata ikutan untuk mengiringi permintaan Ketua Soekarno, bahwa pandangan umum hendaknya ditujukan hal-hal yang pokok, disampaikan secara cekak aos saja. Bukan berati Rancangan Undang-undang Dasar yang sedang dibicarakan buruk.
Mengapa tidak bisa dikatakan buruk? Sebab, ketika anggota Koesoema Soemantri usul agar luas negara dan daerahnya masuk dalam Undang-undang Dasar, Ketua Soekarno menjawab : “Dalam Undang-undang Dasar modern, daerah tidak masuk”. Artinya, Rancangan Undang-undang Dasar yang sedang dibahas termasuk Undang-undang Dasar yang modern. Apalagi jika kita lihat kapasitas dan kompetensi para ‘founding fathers’ jelas tidak mungkin menyusun asal-asalan.
- Bagaimana dengan yang disampaikan Bung Karno bahwa nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, akan membuat Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna? Berdasarkan UUDS 1950 yang berlaku saat itu, setelah Pemilu 1955 ada Konstituante bertugas membuat Undang-undang Dasar. Namun gagal, sehingga keluarlah Dekrit Presiden 1959. Artinya, Bung Karno konsisten dengan yang disampaikan, untuk menyusun UUD yang lebih lengkap dan sempurna.
- Perubahan Undang-undang Dasar yang diatur dalam Bab XVI Pasal 37 adalah penyempurnaan yang bersifat tehnis. Sekali lagi, penyempurnaan yang bersifat tehnis sebagaimana penjelasan Soepomo dalam kapasitasnya sebagai arsiteknya. Jadi Bab XVI Pasal 37, bukan untuk merombak atau mengganti Undang-undang Dasar. Sebab, jelas tidak mungkin atau tidak masuk akal membuat Undang-undang Dasar baru caranya sesederhana yang diatur dalam Bab XVI tersebut bukan?
- Bab XVI hanya mengatur perubahan yang bersifat tehnis adalah hal yang logis. Sebab, tentunya tidaklah logis jika nilai-nilai yang dibangun susah payah oleh ‘founding fathers’ justru di dalamnya ‘founding fathers’ mencantumkan Bab yang memberikan ‘ruang’ untuk perombakan total atau penggantian Undang-undang Dasar.
Sekarang soal amandemen UUD 1945. Apakah amandemen UUD 1945 sehingga menghasilkan UUD 2002 dengan menggunakan dasar Pasal 37 UUD 1945 sesuai dengan yang dimaksud ‘Founding fathers’? Atau dengan pertanyaan lain: “apakah amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR pada tahun 1999 sd 2002 sebagai perubahan yang bersifat tehnis?”
Secara faktual, menurut pendapat penulis, hasil amandemen bukanlah penyempurnaan tehnis, tetapi sudah perombakan total terhadap UUD 1945. UUD 2002, baik dari aspek nilai-nilai, struktur maupun materinya sudah berubah dan jauh berbeda, sehingga sesungguhnya tidak pantas diberi nama UUD 1945.
Prof. Dr. Maria Farida Indrati, Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi periode tahun 2008-2018 berpendapat, sesungguhnya Indonesia sudah membuat konstitusi baru yang bertentangan dengan pemikiran ‘The founding fathers’. Di sisi lain, Prof Maria juga menyoroti banyak hal tentang perubahan UUD 1945, pada peluncuran buku “Sistem Demokrasi Pancasila” di UNAS Jakarta, 11 Maret 2020.
Banyak kritik dan kajian baik dari para tokoh maupun organisasi yang menyimpulkan bahwa amandemen UUD 1945 hakikatnya bukan perubahan, tetapi penggantian UUD 1945. Bahkan, Prof. Dr. H. Kaelan, M.S, dosen Pascasarjana Prodi Tannas UGM Yogyakarta berpendapat secara tajam; penggantian UUD 1945 itu sama halnya dengan pembubaran negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dengan demikian, jika ‘Founding fathers’ memberikan makna Pasal 37 UUD 1945 untuk perubahan yang bersifat tehnis, sedangkan hasil amandemen adalah perombakan total terhadap UUD 1945, maka argumentasi Pasal 37 UUD 1945 sebagai dasar amandemen UUD 1945 jelas tidak logis sehingga tidak bisa diterima secara hukum.
Dengan perkataan lain, amandemen UUD 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 yang menghasilkan UUD 2002 menyebut Pasal 37 UUD 1945 sebagai dasar hukumnya tidaklah tepat. Dalam hal ini, yang perlu ditegaskan, bahwa dalam UUD 1945 tidak atau belum mengatur cara pembentukan Undang-undang Dasar baru. Berbeda dengan UUDS 1950 yang mengatur adanya ‘Konstituante’.
Pasal 37 UUD 1945 masih tercantum atau ‘dikutip’ dalam Undang-undang Dasar hasil amandemen atau UUD 2002. Bisakah atau logiskah pasal ini digunakan sebagai dasar amandemen ke-5 dengan materi perubahan MPR akan diberi tugas membuat GBHN dan perubahan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode? Masalah ini akan dibahas pada artikel lanjutan ke-5, bagaimana nasib wacana amandemen ke-5 UUD 1945. Selamat membaca. [*]
Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.