REVISI UU PEMILU DAN UU ITE HARUS LEBIH SUBSTANSIAL
Foto: Tangkapan layar webinar “Revisi UU Pemilu dan UU ITE: Substansi, Sensasi, Masturbasi Demokrasi?”
Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada perlu dilakukan, namun harus berfokus pada substansi revisi yang dilakukan, yaitu lebih kepada sistem penataan pemilu secara serentak. Demikian dikatakan oleh Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampouw dalam webinar yang mengangkat tema “Revisi UU Pemilu dan UU ITE: Substansi, Sensasi, Masturbasi Demokrasi?” di Jakarta belum lama ini.
Sementara terkait dengan opini yang berkembang, bahwa ada yang salah dari “pilihan pemerintah untuk tidak merevisi” adalah hal yang kurang tepat. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam konteks politik, saat ini ada penggiringan opini yang berupaya menghilangkan rasionalitas publik terhadap revisi UU Pemilu. Kesepakatan politik saat ini dalam UU Pilkada telah menyepakati pilkada serentak 2024. Kalau ada yang tidak setuju dengan Pilkada Serentak 2024, hal itu terkait dengan kepentingan praktis, ujar Jerry.
Jerry mengungkapkan bahwa inisiatif revisi UU Pemilu dan UU Pilkada sudah muncul tahun 2019 disuarakan oleh parpol dan DPR, setelah rapat pemilu 2019. Belajar dari evaluasi Pemilu 2019, terdapat kerumitan teknis di lapangan dengan 5 kotak suara. Alasan ini yang terus menerus disuarakan dalam revisi. Namun yang perlu dicermati ini adalah hal yang sangat teknis. Sementara, revisi UU itu tidak boleh dilakukan untuk mengatur hal-hal yang bersifat teknis. Revisi hanya boleh dilakukan di tataran sistematik. Karena jika hanya dilakukan karena pertimbangan pertimbangan teknis tidak akan banyak menyelesaikan masalah dan tetap menghasilkan UU Pemilu dan Pilkada yang lemah.
Penolakan atau persetujuan terhadap revisi UU Pemilu dan Pilkada itu kuat muatan politik praktis. Pihak yang akan diuntungkan dari tetapnya pilkada 2024 dan pemilu 2024 bisa dilihat. Begitu pula pihak yang akan diuntungkan dari berubahnya pilkada ke 2022 dan 2023 juga bisa dilihat. Kita harus melepaskan diri dari politik praktis ini dan fokus pada substansi sistem kepemiluan, jelas koordinator TePi.
Persoalan teknis (penyelenggaraan pemilu) perlu melihat PKPU dan fakta di lapangan. Belajar dari evaluasi pada pemilu 2019, mitigasi apa yang dibuat atas kerumitan yang berasal dengan 5 kotak suara. Sistem pemilu tidak bisa berdiri sendiri harus berkaitan dengan sistem pemerintahan dan sistem kepartaian. Kalau Revisi tidak terjadi tahun ini, agenda revisi harus diagendakan tahun depan, sehingga ruang bicara dan diskusi menjadi lebih banyak dan menghasilkan masukan yang berkualitas, terang Jerry.
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar menyampaikan bahwa survey komnas HAM Desember 2019,menyatakan 29.4% responden merasa tidak bebas mengritik pemerintah, suvey lain yang dilakukan pada bulan februari 2019 menyatakan 56% responden merasa takut untuk menyatakan pendapatnya, survey indicator politik menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun dan juga ada ketakutan masyrakat untuk mengkeskpresikan pendapatnya.
Terkait dengan rekomendasi terhadap revisi UU ITE, Koalisi masyarakat sipil, suara kebebasan dan the Indonesian institute sadar bahwa pembatasan hak hanya bisa dilaksanakan lewat UU. Namun demikian, UU ITE ini bisa saja dihadirkan untuk membungkam suara yang berbeda dengan pemerintah. Revisi UU ITE perlu dikawal juga oleh masyarakat. Masyarakat perlu mengingat jika ada partai yang mendorong UU ITE untuk membungkam rakyat, selayaknya partai tersebut jangan dipilih lagi kedepannya, ujar Direktur Eksekutif The Indonesian Institute.
Revisi UU ITE ini perlu memastikan bahwa hak-hak sipil dijamin oleh negara. Menjamin partisipasi publik dalam proses deliberasi dalam demokrasi, dan juga perlindungan data pribadi. Adalah sebuah kewajiban bagi Negara dan juga masyarakat untuk menjaga penyebaran hoax, jelas Adinda Tenriangke Muchtar.
Dalam revisi UU ITE ada beberapa seperti pasal 27 ayat 1& 3, Pasal 28 ayat 2, dan pasal 29 yang perlu mendapatkan perhatian khusu. Pasal karet ini perlu diwaspadai. Pasal terkait pencemaran nama baik dan pasal terkait ucaran kebencian berpotensi menimbulkan konflik vertikal dan horizontal, ungkap Adinda.
Perlu adanya evaluasi dalam penegakan hukum. Partisipasi publik harus dipandang sebagai asset. Butuh pemimpin dan orang orang di pemerintahan yang menjaga pilar pilar demokrasi. Dan salah satu peran negara adalah memberikan perlindungan kepada masyarakatnya dari aspek hukum. Melindungi hak WN untuk menyuarakan pendapat. Revisi UU ITE mendesak untuk dilakukan. Perlu menyisir pasal pasal yang multi tafsir, terang Direktur Eksekutif The Indonesian Institute.
Menurut Direktur Eksekutif LKIP & Mahasiswa Program Doktoral Humanity and Social Science, PFUR, Moscow-Rusia Edu Lemanto, belajar dari kegagalan venezuela, dimana politiknya dibangun dari Super majority. Super majority yang ada dibawah Chavez mengarah ke situasi represif. Jika supermajority kuat disebuah negara, maka itu dapat berpengaruh pada negara yang berujung pada situasi penguasaan dan kepuasan semata. Tidak sampai pada level bagaimana kekuasaan dimanfaatkan untuk mengatur kebijakan untuk kepentingan pulik. Masalah korupsi akan susah di hadapi. Korupsi politik dan korupsi ideology adalah hal yang sanagat berbahaya. Masalah terberat dalam politik adalah ketamakan. Sebuah bangsa seringkali dihancurkan dari dalam, salah satunya karena ketamakan dan korupsi.
Erosi demokrasi terjadi di banyak tempat, tidak hanya di Indonesia. Hal ini terjadi di Amerika Serikat selama di pimpin Trump, juga terjadi di Uni Eropa dengan munculnya BRExit. Terjadi deklinasi trasparansi di berbagai pemerintahan di dunia, ujar Edu.
Terkait dengan Revisi UU Pemilu dan UU ITE, kita harus bergerak jauh lebih dalam dan substansial. Masalah serius bangsa Indonesia ada 3. Pertama adalah Primitivisme birokrasi dalam wujud korupsi. Di era sekarang terjadi desentralisasi korupsi. Kedua, Primitifisme politik yang tercermin dari Imperium mafia berupa oligarki. Negara mestinya mulai memilikirkan arah gerak bangsa menuju titik terang yang lebih baik. Bagaimana kita bicara substasi RUU pilkada dan RUU Pemilu dan RUU ITE, jika DPR nya tidak bisa meyakinkan publik kenapa harus merevisi, dengan memberikan alasan-alasan yang substansial. Primitifisme ketiga adalah Privitivisme sosial dalam wujud Supremasi SARA, jelas Edu Lemanto.(Red)