OBROLAN PUNAKAWAN : SIAPA BILANG KITA TIDAK DEMOKRATIS?
Foto: Mayjen TNI (Purn) Prijanto (Penulis)
Mayjen TNI (Purn) Prijanto
Aster Kasad 2006-2007/Wagub DKI 2007-2012
Rumah Kebangkitan Indonesia, 20 Februari 2021
Awal Februari 2021 mencuat polemik terkait pernyataan Presiden Jokowi, dimana media menulis dengan narasi “Presiden minta kritik”. Pasalnya ada penggalan kata dari sambutan Presiden Joko Widodo “Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik”. Respon spontan rakyat; ‘waduh takut, mana berani beda pandang, ntar ditangkep’. Media medsos sontak ramai, antara komentar yang positip dan negatip sampai mengait ke masalah demokrasi.
Bicara tentang kritik, suka dikaitkan dengan kebebasan. Sedang kebebasaan suka dekaitkan dengan demokrasi. Ukuran ada demokrasi atau tidak, suka dikaitkan sejauhmana kebebasan orang menyampaikan pendapat termasuk mengkritik. Alasan mengapa tahun 1998 rakyat nuntut reformasi, karena terbungkamnya kebebasan menyampaikan pendapat, termasuk kebebasan pers.
Namun, setelah 20 tahun reformasi, apakah kebebasan berpendapat sudah bisa dinikmati? Menilik fakta yang disajikan media, kebebasan tersebut masih jauh dari harapan. Bahkan beberapa gerakan aktivis menyebutnya saat ini demokrasi mati. Benarkah? Rakyat yang menilai, bukan penguasa.
Berita aktual kritik dan demokrasi tertangkap di kupingnya para punakawan. Seperti biasa para Punakawan Semar, Gareng (G), Petruk (P) dan Bagong (B) sambil makan pisang goreng dan secangkir teh pagi, ngrumpi ngobrol soal-soal negara.
G : Romo, jujur saja ya,… Negara kita itu demokratis apa nggak sih?
B : Romo, pertanyaan Gareng penting. Romo perlu menjawab.
Semar : Anak-anakku bocah bagus, jika kalian rajin baca buku pengetahuan pasti ngerti. Kalian hanya baca komik, yo mesti bingung.
P : Romo itu aneh, tidak menjawab malah nyindir. Petruk baca di media, sekarang katanya demokrasi mati. Pak Kwiek Kian Gie, begitu juga yang lain, bilang takut jika mengutarakan pendapat yang beda. Padahal masuk era reformasi, maunya negara ini lebih demokratis. Bagaimana pendapat Romo?
Semar : Ngger anakku, demokratis atau tidak, ukurannya macem-macem, tergantung sing ngomong. Dulu sistem pemerintahan kita ya demokratis. Cuma kata si pengamandemen UUD 1945 dan asing, tidak demokratis karena ada MPR dan Presiden dipilih MPR.
Padahal ‘founding fathers’ di Pembukaan UUD 1945 sudah menekankan ‘Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat’. Berdasar kepada ‘………Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, dst’.
Nilai tersebut ditransformasikan ke dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 : ‘Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR’. Sedang di Pasal 6 ayat (2) : ‘Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak’. Jadi kurang opo maneh?
Negara berkedaulatan rakyat dan di tangan rakyat, itu ciri negara demokratis. Jadi, kita itu negara demokratis. Kalau Pilpres oleh MPR, itu kan caranya. Karena ada yang pingin demokrasi liberal seperti Amerika Serikat, lalu dibilang kita tidak demokratis. Padahal, Amerika Serikat saja Pilpres tidak seperti di Indonesia.
Beberapa negara yang Kepala Pemerintahan dipegang Perdana Menteri, juga tidak dipilih langsung rakyat. Setelah Pilpres dipilih rakyat langsung, kita seperti dininabobokan. Bangga dapat nomor sebagai negara demokratis.
G : Apa maksud Romo dininabobokan?
B : Reng, kamu tahu lagu ninabobok? Karena dipuji sebagai negara demokratis, di antara kita banyak yang terlena. Mata dan hati tertutup, tertidur. Tidak mau mikir, pelaksanaan kedaulatan rakyat yang cocok untuk Indonesia itu sebenarnya seperti apa.
Umumnya, jarang yang sadar, bahwa Pilpres dan Pilkada langsung sudah membelah persatuan kita. Mungkin ini maunya asing. Sistem ini memang ada yang menyukai, utamanya Parpol, karena diuntungkan. Hanya Parpol yang punya hak usung calon Presiden dan Wapres. Tetapi bagi kepentingan bangsa dan negara jelas merugikan, khususnya terhadap Persatuan Indonesia, tidak pernah dihitung.
Semar : Seratus untuk Bagong. Cara melaksanakan kedaulatan rakyat yang cocok dengan budaya kita, adalah musyawarah perwakilan. Jangan dikira ‘founding fathers’ kita tidak ngerti sistem-sistem Barat. Bapak bangsa kita ngerti, tetapi tidak milih demokrasi Barat, karena bisa merusak budaya kita.
Kalian pasti mengamati, sejak ada Pilpres dan Pilkada langsung, sosial budaya kita rusak. Ketidakjujuran dan ketidakadilan menjamur. Orang mudah bohong, memfitnah, mencaci, umbar kebencian, tidak toleran, korupsi, radikal, dll. Bukan saja rakyat kecil, pejabat dan kelas menangah ke atas pun ada yang melakukan. Perpecahan terjadi tidak saja di keluarga, tetapi juga di RT, RW, organisasi-organisasi, masyarakat luas, dll.
Coba bayangkan buruknya demokrasi liberal saat ini. Beda pilihan saat Pilpres, bisa membawa pertengkaran keluarga. Keluarga yang lemah disuruh bongkar makam leluhurnya dan harus ke luar dari makam keluarga besarnya. Apa tidak konyol?
B : Apa yang diomongkan Romo benar. Kondisi sosial budaya kita sebelum Pilpres langsung, tidak seperti ini. Padahal Persatuan Indonesia sangat penting bagi kehidupan bernegara. Persatuan Indonesia yang dibangun susah payah untuk melawan penjajah, sekarang sedemikian mudahnya rusak, akibat salah pilih cara pemilihan Presiden.
Semar : Benar Bagong. Kita dulu itu ya sudah
demokratis. Demokrasi kita itu bersumber dari budaya kita sendiri. Bukan dari budaya asing. Saat Sidang BPUPKI mencari dasar negara, Muh. Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo dan Bung Karno, jelas menolak demokrasi Barat, karena akan merusak sendi-sendi kehidupan kita.
B : Betul. Bagong ingat, Romo pernah cerita. Bagong juga baca buku Risalah Persidangan BPUPKI-PPKI terbitan Sekretariat Negara, terutama risalah sidang-sidang penyampaian pemikiran para tokoh tentang apa dasar negara untuk Indonesia Merdeka.
Bagong juga baca buku tulisan Yudi Latif, Prof. Dr. H. Kaelan, M.S. dan buku tulisan Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari tentang Pancasila. Semua memberikan gambaran yang jelas tentang Pancasila. Antara lain, apa dan bagaimana kedudukannya, nilai-nilai yang dikandungnya dan keterkaitan dengan kehidupan bangsa Indonesia.
Semar : Wouuw… kamu hebat Bagong. Romo ngaku kalah. Mata Romo sudah tak tahan baca. Jadi, sesungguhnya, kita sejak dahulu sudah negara yang demokratis. Kalau toh kita kembali ke UUD 1945 asli, terus kita sempurnakan dengan adendum, kita ya tetap negara demokratis. Demokratis yang dilandasi nilai-nilai Pancasila.
G,P,B : Terima kasih banyak Romo.
Semar : Baik tole anakku. Semoga dasar-dasar demokratis yang telah diletakkan pondasinya oleh ‘founding fathers’ dipraktekan para raja atau siapa saja yang memiliki kekuasaan.
Termasuk kalian jika menjadi pejabat.
Jangan demokrasi hanya dijadikan jargon sebagai lompatan saat kampanye saja. Setelah jadi raja atau penguasa, justru membungkam demokrasi, demi kelanggengan kursinya. Perilaku semacam itu ‘pamali’, rakyat akan mengutuknya. Ingat ya anak-anakku cah bagus. Yuk, kita berangkat menghadap junjungan kita . [*]
Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.