Pilkada 2020: Hidup Untukmu – Mati Tanpamu

Pilkada 2020: Hidup Untukmu – Mati Tanpamu
Pilkada 2020, lanjut atau tunda?

“Air mata ini menyadarkanku, Kau takkan pernah menjadi milikku;
Tak pernah ku mengerti aku segila ini, aku hidup untukmu aku mati tanpamu;
Tak pernah ku sadari aku sebodoh ini, aku hidup untukmu aku mati tanpamu”.


Noah, Potongan Lagu Hidup Untukmu, Mati Tanpamu (2012)

Perdebatan terkait penyelenggaraan Pilkada 2020 di tengah-tengah Pendemi Covid-19 telah menghiasi ruang publik, baik media cetak maupun online. Ragam pendapat dan argumentasi yang mengemuka dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok yang menginginkan tetap diselenggarakan dan kelompok yang menginginkan adanya penundaan. Secara tegas kelompok istana telah mengemukakan pendapatnya melalui juru bicara presiden, Fadjroel Rachman, bahwa penyelenggaraan Pilkada 2020 tetap sesuai jadwal, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan memilih. Sedangkan IDI dan beberapa tokoh masyarakat lainnya telah menyampaikan pandangan kritisnya terkait potensi resiko yang siap menanti jika kegiatan tersebut tetap diselenggarakan.

Jika dibaca secara rasional, penyelenggaraan Pilkada 2020 ditengah-tengah Pendemi Covid-19 dapat dipandang sebagai kegilaan politik yang menjerumuskan masyarakat pada potensi resiko terjangkit Covid-19 dan berujung pada air mata dari keluarga yang ditinggal. Meskipun ada ragam argumentasi yang telah disampaikan dan upaya penguatan protokol kesehatan dalam rangka penyelenggaraan Pilkada serentak tersebut, faktanya data statistik pertambahan jumlah pasien baru masih dalam trend meningkat.

Sedangkan jika mengacu pada logika istana seperti yang disampaikan Fadjroel Rachman, demi “menjaga hak konstitusi rakyat”, masih banyak hak konstitusi rakyat yang perlu mendapatkan perhatian lebih serius, dari dimensi budaya seperti pendidikan, ekonomi seperti penguatan daya beli masyarakat, dan dimensi lainnya dalam IPOLESOSBUD HANKAM. Faktanya sampai hari ini masih banyak siswa di sekolah negeri yang belum mendapatkan pendidikan secara optimal, penyelenggaraan pendidikan secara online tidak dapat berjalan secara optimal karena keterbatasan kuota yang dimiliki siswa atau orang tuanya, bahkan keterbatasan daya jangkau internet.       

Tabrakan Kepentingan

Sikap istana seolah-olah dapat dibaca sebagai adanya tabrakan kepentingan karena Gibran (anak Presiden Jokowi) dan Bobby (menantu Presiden Jokowi) turut serta dalam perhelatan Pilkada 2020 ini sehingga sikap yang diambil tetap harus diselenggarakan sesuai jadwal dan disampaikan oleh seorang juru bicara presiden. Tentu secara simbolis, pesan tersebut dapat ditangkap oleh pihak penyelenggara sebagai kebenaran dan pandangan kritis atas potensi resiko yang disampaikan oleh akademisi, organisasi, dan tokoh masyarakat dapat diabaikan.

Dalam kehidupan demokrasi, ragam dan perbedaan pendapat adalah hal yang wajar namun tetap harus diikat pada kepentingan dengan derajat yang paling tinggi baik dari aspek prioritas maupun manfaat. Oleh karena itu, kepentingan nasional adalah benang merahnya, kepentingan yang harus diutamakan dan dimenangkan atas kepentingan-kepentingan lainnya.

Kepentingan Nasional: Salus Populi Suprema Lex Esto

Cita-cita dan tujuan nasional seperti yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4: “..melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”, dapat dijadikan rujukan bersama untuk mengatasi perbedaan pendapat dan sikap atas penyelenggaraan Pilkada 2020 ini. Keselamatan bangsa dalam arti yang sesungguhnya, masyarakat Indonesia sebagai bangsa, harus dilindungi oleh negara dengan segenap kekuatan yang ada. Jika informasi yang telah disampaikan oleh para ahli dapat membahayakan keselamatan masyarakat Indonesia terkait potensi penyebaran pendemi Covid-19 atas kerumunan-kerumunan yang akan berlangsung selama masa kampanye dan pengumpulan suara, ada baiknya istana mempertimbangkan usulan untuk menunda penyelenggaraan Pilkada 2020 secara serentak ini, sebelum para pejuang yang berada di garda terdepan dalam memerangi pendemi Covid-19 ini merasa putus harapan (hopeless). Mereka hidup untuk berjuang menyelamatkan korban dari dampak Pilkada tersebut dan mati sebagai potensi resiko yang menanti dan ditanggung secara individu, tanpa ada ikatan kepentingan atas penyelenggaraan Pilkada tersebut. Petikan lirik lagu yang dinyanyikan Noah di atas dapat mewakilkan pesan lirih seseorang, seseorang yang telah berjuang dan tersadar bagaimana kekecewaan mendalam yang menderanya.


Oleh karena itu, sebaiknya alur pikir yang diambil tetap berpegang teguh pada konstitusi, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi seperti yang dikatakan oleh filsuf Italia, Salus populi suprema lex esto, meskipun badai pendemi Covid-19 ini belum dapat dijawab berakhir sampai kapan. Dengan demikian, alur sikapnya adalah memenangkan kepentingan nasional di atas kepentingan kelompok dan pribadi sehingga pedoman tindakan yang dilakukan dapat meminimalisir jumlah masyarakat Indonesia yang harus dikebumikan dengan protokol Covid-19 dan derai air mata keluarga yang masih menetes akibat Covid-19 ini. Sekali lagi, Salus populi suprema lex esto, adalah hal mutlak yang harus menaungi segala kebijakan yang diambil pemerintah, khususnya terkait penyelenggaraan Pilkada 2020 ini.



* Edison Guntur Aritonang, Pemerhati Permasalahan Ketahanan Nasional, tinggal di Pondok Cabe

Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent