BICARA INTOLERANSI, KITA JANGAN TERJEBAK HANYA MELIHATNYA SEBAGAI MASALAH AGAMA

BICARA INTOLERANSI, KITA JANGAN TERJEBAK HANYA MELIHATNYA SEBAGAI MASALAH AGAMA

Foto: Webinar “Fenomena Intoleransi Dalam Beragama dan Bernegara”, Sabtu (12/09) , Ist

Sebenarnya ada beberapa ideologi yang melakukan infiltrasi ke negara kita, sementara Arab ini sejak dulu sejak zaman pra Islam memang sudah hidup dengan pribadisme. Ketika di Arab timbul pribadisme, tetapi Nabi Muhammad SAW kemudian berusaha dan berhasil menyatukan itu semua pada zaman kepemimpinan beliau di Madinah, ujar Islah Bahrawi seorang pegiat medsos dalam sebuah webinar bertajuk “Fenomena Intoleransi Dalam Beragama dan Bernegara”, Sabtu (12/09) yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube “Sang Khalifah”.

Ada beberapa suku di Arab yang kemudian berhasil disatukan, ada beberapa keyakinan yang juga berhasil disatukan dengan hak dan kewajiban yang sama ketika di Madinah. Tapi apa yang terjadi kemudian pasca Nabi Muhammad SAW wafat, mulailah lagi terjadi konflik-konflik itu, terang Islah.

Arab ini sebenarnya hampir semua ijtihad yang bersifat politik itu memang selalu dipengaruhi situasi politik pada waktu itu. Kalau kita mengenal ada Hizbut Tahrir, misalnya Taqiyuddin An-Nabhani itu juga berangkat dari situasi politik ketika itu, ketika kegagalan-kegagalan Pan Arabisme, Pan Islamisme itu mengalami kebuntuan sehingga akhirya dibentuklah partai politik bernama Hizbut Tahrir, jelasnya

Di pihak lain juga ada Ikhwanul Muslimin yang juga berangkat dari situasi politik yang sama. Ikhwanul Muslimin sendiri berangkat dari konsep pemikiran  Sayyid Qutb, ada kitabnya fi zhilalil qur’an itu memang sangat eksklusif, dia lebih menekankan pemahaman hakimiyah, lalu kemudian dari hakimiyah itu menuju pada Takfiri. Ini memang sangat eksklusif yang berangkat dari pemahaman bahwa saya pasti benar, kalau kalian tidak sama dengan saya kalian pasti salah dan kafir, papar pegiat medsos ini.

Ini berangkat dari ideologi-ideologi yang dipahami oleh situasi politik di Arab ini, kemudian masuk ke negara kita. Negara kita ini tadinya sangat plural, sangat toleran, tapi dengan masuknya berbagai pemahaman dari Arab yang mengaku sebagai revivalis islam ini kemudian merubah kultur kita, kita kemudian mulai kemasukan paham-paham agama, kemudian juga politisasi agama yang bersifat eksklusif itu, mulailah muncul berbagai gerakan-gerakan misalnya persekusi, upaya persekusi terhadap keyakinan orang lain, mempesekusi pembangunan gereja dan lain sebagainya. Terlepas dari soal regulasi SKB 3 menteri, tapi memang kemudian pemahaman-pemahaman ini yang menginput masyarakat kita untuk menyerang agama lain. Ini pada dasarnya adalah upaya menyerap paham-paham dari Arab yang sebenarnya paham-paham dari Arab itu , ijtihad dari Arab ini sebenarnya memang berangkat dari situasi politik yang sudah carut marut, pungkas Islah Bahrawi.

Menurut Amin Mudzakkir, dua tahun lalu kami mengadakan penelitian yang agak serius dan luas mengenai intoleransi di Sembilan Provinsi. Kita melakukan survei, kita melakukan wawancara, termasuk hasilnya adalah buku “ Wajah Pluralism Yang Tergerus” baru terbit beberapa bulan lalu karena ada proses yang cukup panjang dalam penerbitan buku ini.

Kita perlu melakukan semacam refleksi atau otokritik terhadap beberapa pemahaman kita mengenai intoleransi. Saya sepakat bahwa memang ada paham dari trans Timur Tengah yang masuk dan kemudian mempengaruhi cara pandang kita mengenai agama dan seterusnya . Tapi jangan lupa bahwa sesungguhnya kalau kita bicara intoleransi itu pertama-tama kita jangan terjebak hanya melihatnya sebagai masalah agama. Jadi saya kira kita harus meluaskan perspektif kita untuk melihat bahwa kalau kita sederhanakan ini mencakup tidak hanya soal kultural, termasuk agama, etnis, tapi juga soal struktural, soal kekuasaan, politik-ekonomi yang menurut saya itu memang suatu yang telah lama berada dalam struktur kekuasaan negeri kita, jelas peneliti LIPI ini.

Jadi berbeda dengan sejumlah pengamat atau peneliti yang suka menunjuk proses ini adalah proses yang baru terjadi pasca reformasi, , saya melihatnya lebih panjang lagi. Maka sesungguhnya kita bisa mengatakan bahwa munculnya Islam politik yang semakin kuat sekarang itu adalah respon kegagalan politik sekuler di Indonesia, ujarnya.

Sama seperti di negara-negara Arab, munculnya Islam politik itu adalah respon terhadap kegagalan dari politik sekuler. Ini harus dicermati dan saya berkali-kali nulis di   yang terjadi di Alif.id,  Indonesia itu bukan Islamisasi, tapi saya bilang priyayi Islam, karena sebenarnya secara struktural saya melihat bahwa kekuasaan di negeri ini pada dasarnya tidak berubah, jadi aktor-aktor utama yang mengendalikan roda ekonomi politik itu sebenarnya para priyayi saya sebut begitu kalau kita menggunakan kategori yang biasa digunakan  di dalam antropologi, papar Amin Mudzakir.

Jadi kelompok radikal itu, katakanlah siapa, kita harus membedakan secara lebih baik, apa itu radikalisme, apa itu intoleransi dan terorisme, tiga konsep yang memang sebenarnya tidak bisa dicampur adukkan. Bahwa seringkali kelompok-kelompok yang kita sebut intoleran atau radikal atau bahkan teroris, itu sebetulnya kelompok pinggiran, kelompok kecil yang kemudian dimanfaatkan atau entah merka sadari atau tidak oleh kekuatan yang lebih berpengaruh dalam kekuasaan, tambah peneliti LIPI ini.

Reni Suwarso, Ph.D menyampaikan bahwa bicara masalah intoleransi ini tidak hanya bicara mengenai masalah agama, tidak bicara mengenai Arab juga, tidak bicara hanya kultur juga, banyak hal yang mempengaruhi. Yang pertama saya ingin memperlihatkan bahwa ini ada di level internasional juga terjadi masalah, Indonesia ini sekarang menjadi ajang dari tiga kutub. Ada kutub dari Amerika, western, kemudian kutub yang kedua adalah kutub dari Cina, bagaimana pengaruh dan investasi-investasi Cina yang demikian besar tidak hanya di Indonesia, tetapi negara lain, kemudian yang ketiga melalui Timur Tengah lewat agama. Jadi di level internasional saya melihatnya bahwa Indonesia ini menjadi ajang rebutan dari tiga kutub dunia, atau tiga super power dunia yang ingin mengambil keuntungan, ingin mempengaruhi, ingin memperkuat jaringan secara ekonomi, secara bisnis lewat jalur investasi bisnis, lewat perusahaan, lewat agama.

Tapi intinya ada tiga kutub yang sedang berkompetisi di Negara kita, Negara barat, kedua Cina dan ketiga Timur Tengah. Timur Tengah ini, karena kedekatan kita dengan mereka karena kita punya agama yang sama, ajaran yang sama, itu banyak sekali menggunakan atau mempolitisasi ajaran-ajaran agama untuk kepentingan –kepentingan yang tidak terkait dengan agama, misalnya bicara mengenai Pemilu, bicara Pilpres, kemudian sebentar lagi ada Pilkada. Mungkin kalau sekarag ini tidak ada covid, kampanye-kampanye Pilkada itu penuh dengan segala macam pemanfaatan atau penggunaan isu –isu agama untuk kepentingan-kepentingan politik, jelas Dosen ilmu politik UI ini.

Bagaimana kita menyikapinya, jadi intinya saya ingin menyampaikan bahwa masalah intoleransi itu tidak bisa berdiri sendiri, ketika kita bicara mengenai bagaimana menyelesaikannya, mau menulis rekomendasi, maka kita harus memahami konteks ekonomi, politik, sosial, budaya dan keamanan. Kemudian bicara mengenai budaya bahwa Indonesia sendiri akar budaya kita lagi tercerabut, kaki kiri masih ada di Indonesia, kaki kanan sudah melangkah. Melangkah kemana, ini yang masih belum tahu, ada sebagian melangkah ke Timur Tengah, ada sebagian melangkah ke Western, sebagian melangkah ke Cina ke Asia Timur seperti itu. Padahal kaki kanannya ini belum jejak, jadi akibatnya kita seperti limbung negara ini ujar Reni Suwarso.

Sedangkan Donald Tungkadi menyampaikan bahwa intoleran dan toleran itu sebenarnya adalah sebuah tindakan, saya mengecek juga beberapa literatur tentang definisi toleransi maupun intoleransi, umumnya adalah berhubungan dengan tindakan atau dengan sengaja.

Karena basisnya adalah tindakan, sebenarnya disini ranah yang paling krusial untuk ini, untuk mencegah itu makanya penting untuk membangun toleransi itu, sepemahaman saya waktu kuliah dulu paling dasar ada tiga kesadaran, yang pertama itu bagaimana kita memupuk tiga kesadaran ini , yang pertama adalah kesadaran bhinneka, jadi dimanapun harus dipupuk kesadaran bhinneka, bahwa masyarakat harus selalu diajak bahwa kita hidup tidak sendirian, kita hidup berbagai macam. Kemudian kesadaran ekstensi, kesadaran ini sekedar membiarkan, membuka diri untuk kelompok lain, mau bersama dengan kelompok lain. Kemudian kesadaran paling tinggi adalah kesadaran eksistensi dimana kesadaran pro eksistensi itu adalah kesadaran untuk mau saling bekerja sama, jelas penulis dan magister Islamic studies UIN Jakarta.(Bima/Red)

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent