PANSUS PAPUA DPD RI : MENYUARAKAN ASPIRASI RAKYAT PAPUA?

PANSUS PAPUA DPD RI : MENYUARAKAN ASPIRASI RAKYAT PAPUA?

Foto: Ketua Pansus Papua DPD RI, Dr. Filep Wamafma, S.H, M.Hum/BK

 

Oleh : Johannes Oetoro Dharmana

Ketua Pansus Papua DPD RI, Dr. Filep Wamafma menyampaikan pelaksanaan Tugas Panitia Khusus Papaua DPD RI pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2019-2020 di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/7). Filep saat membacakan laporan Pansus Papua DPD RI, menyebutkan ada empat persoalan pokok di Tanah Papua. Yaitu Perbedaan pemahaman dan pandangan tentang sejarah Papua, Persoalan HAM. “Penyelesaian persoalan HAM tidak kunjung selesai,” tegas Filep. Filep juga menyampaikan dua persoalannya yakni pembangunan yang belum sepenuhnya terealisasi dan persoalan marginalisasi.

Model pendekatan yang dibangun Pansus untuk memperoleh informasi sekomprehensif mungkin melalui: turun langsung ke Papua; mendengarkan pendapat dari para pakar/ahli; melaksanakan FGD; mendengarkan aspirasi dari kelompok-kelompok yang pro NKRI, yang moderat, dan yang kontra NKRI; berdialog dengan NGO yang concern terhadap masalah Papua dan mekanisme rapat-rapat, baik dari Kementerian/Lembaga (K/L) maupun jajaran Pemerintahan Daerah (Gubernur, DPR Papua/Papua Baratdan Majelis Rakyat Papua/Papua Barat).

Ada empat persoalan pokok di Tanah Papua : pertama, perbedaan pemahaman dan pandangan tentang sejarah Papua; perbedaan pemahanan dan pandangan sejarah Papua melahirkan sikap skeptis atau curiga tentang apakah ada “permainan politik” Indonesia di masa lalu? Pelurusan sejarah ini membutuhkan kejujuran semua pihak, dengan tujuan bersama yaitu mewariskan sejarah yang benar kepada anak cucu Orang Papua.

Kedua, persoalan HAM; penyelesaian persoalan HAM tidak kunjung selesai dan apakah pendekatan militer mampu menyelesaikan persoalan HAM?

Sejarah akan mencatat bahwa penyelesaian pelanggaran HAM di Papua seperti berjalan di tempat. Bahkan survei LIPI (2017) pun menunjukkan bahwa pelanggaran HAM di Papua merupakan persoalan terbesar. Ironisnya, hal itu berbanding terbalik dengan janji Presiden untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM di Papua.

Ketiga, pembangunan yang belum sepenuhnya terealisasi; mengapa pembangunan Pendidikan Papua belum mampu meningkatkan IPM Papua/Papua Barat yang masih rendah? Pembangunan kesehatan masih belum memperluas akses kesehatan, akes kesehatan masih sulit bagi orang Papua.

Keempat, marginalisasi; marginalisasi-diskriminasi melahirkan pertanyaan eksistensial; Siapakah orang Papua di mata Indonesia? Tidak bisakah orang Papua menjadi tuan di negerinya sendiri?

Pansus Papua DPD RI merekomendasikan agar Pemerintah dalam menyusun konsep dialog perlu memperhatikan konsep dialog dengan semua pihak termasuk yang berseberangan dengan NKRI seperti ULWMP, TPN/OPM dan Pemerintah juga dapat mengadopsi perjanjian Helsinki untuk Aceh dalam menyelesaikan persoalan di tanah Papua. Adopsi ini merupakan pelajaran berharga bagi Aceh. Oleh karena itu, tidak ada salahnya bila pola yang sama diterapkan bagi Papua. Papua membutuhkan cara-cara luar biasa, karena kulminasi kebencian dan anti-trust terhadap pemerintah sudah berakar ke generasi muda.

Pemerintah sagera mengambil keputusan untuk menghentikan pendekatan keamanan dan operasi militer di tanah Papua dan menarik Pasukan atau pasukan organik agar tidak ada korban sipil yang berjatuhan dan mengubah dengan pendekatan “Cinta Papua”.

Dalam sejarah berbagai bangsa, pendekatan militer selalu menghancurkan, menciptakan situasi mencekam, otoriter, dan membuat Orang Papua merasa terusir dari wilayahnya sendiri.

Pemerintah perlu membuka ruang demokrasi bagi mahasiswa Papua dalam menyampaikan pendapat di muka umum sehingga tidak selalu mendapat stigmatisasi “separatis” atau makar bagi para pejuang demokrasi dan keadilan. Stigmatisasi ini justru lebih kejam dan menimbulkan luka sejarah. Pada titik tertentu, luka sejarah yang terkait dengan martabat dan peradaban manusia itu tidak dapat dimaafkan.

Pemerintah wajib memberikan tindakan hukum yang seberat-beratnya bagi siapapun, baik perorangan maupun lembaga yang melakukan sikap rasisme tergadap Orang Papua.

Rasisme adalah masalah universal. Sungguh memalukan bila semua kovenan internasional tentang diskriminasi etnis dan rasial sudah diratifikasi Indonesia, namun justru terjadi pembiaran dan/atau pengabaian terhadap perbuatan rasis dan diskriminatif terhadap Orang Papua.

Pemerintah perlu menitikberatkan peran OAP dalam aspek pembangunan dan tata kelola pemerintahan. Terkait hal ini, percepatan implementasinya dilakukan melalui pengangkatan honorer dan penerimaan pegawai diutamakan khusus Orang Asli Papua.

Afirmasi positif yang harus diperhatikan ialah bahwa dengan prinsip Orang Papua menjadi tuan di negerinya sendiri, maka diminta agar semua pimpinan lembaga penegak hukum: Kapolres, Kapolda, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Kejaksaan Tinggi, dan juga semua pimpinan instansi pertahanan dan keamanan: Pangdam dan pimpinan satuan teritorial TNI baik Angkatan Laut maupun Angkata Udara di Papua, harus Orang Asli Papua.

Tidak menyuarakan suara asli OAP

Terus terang penulis heran dengan sikap pemerintah saat ini, mengapa ada hasil Pansus yang dikeluarkan oleh legislatif resmi semacam Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI kok bisa seenaknya mengeluarkan rekomendasi dan temuan yang mayoritas ide atau temuannya mirip dengan suara-suara dan kepentingan-kepentingan yang dilakukan oleh kelompok anti NKRI di Papua.

Terus terang, DPD RI bekerja menggunakan uang rakyat Indonesia secara keseluruhan, sehingga rekomendasi harus mencerminkan keutuhan dan keberlanjutan kepentingan nasional di Papua, terutama kebersamaan Papua dengan Indonesia.

Ketua Pansus Papua DPD RI, Dr. Filep Wamafma mengatakan, model pendekatan yang dibangun Pansus untuk memperoleh informasi sekomprehensif mungkin antara lain mendengarkan aspirasi dari kelompok-kelompok yang pro NKRI, yang moderat, dan yang kontra NKRI; berdialog dengan NGO yang concern terhadap masalah Papua dan mekanisme rapat-rapat lainnya. Jika menilik kepada esensi temuan dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Pansus Papua DPD RI tampaknya “sangat sedikit bahkan minim” mengadopsi suara dan aspirasi kelompok pro NKRI dan moderat, bahkan cenderung lebih condong kepada suara-suara kelompok anti NKRI, karena kita dapat dengan memudah mencari rekaman digital terkait aspirasi kelompok anti NKRI selama ini di berbagai sumber terbuka.

Sehingga patut dipertanyakan, berapa prosentase dan berapa kali Pansus Papua DPD RI bertemu dengan kelompok NKRI dan anti NKRI dalam berbagai kunjungannya tersebut, ini yang harus didalami aparat intelijen dan aparat keamanan di Indonesia.

Penulis menyarankan agar pemerintah berhati-hati dan mencermati dengan sungguh-sungguh arah dan maksud dari rekomendasi dan usulan Pansus Papua DPD RI tersebut. Penulis menilai selama ini perhatian Indonesia kepada Papua sudah maksimal melalui penggelontoran dana Otsus yang bisa mencapai Rp 8 Triliun setiap bulannya, namun ternyata karena banyak terjadi “moral hazard” banyak dana Otsus melayang entah kemana, dan anehnya minim sekali penegakkan hukum yang dilakukan di Papua ternyata “special authonomy fund fraud” ini, seharusnya penegakkan hukum di Papua harus menjadi andalan utama menyelesaikan permasalahan Papua baik terkait dugaan penyalahgunaan dana Otsus, dan penegakkan hukum terhadap mereka yang menolak keberlanjutan Otsus, karena intentionnya ingin melepaskan Papua dari Indonesia.

Ke depan, perlu ada badan pengawas Otsus termasuk skema pengucuran dana Otsus bukan lagi bloc grant melainkan affirmative grant, agar lebih transparan, apalagi dana Otsus rumorsnya juga akan ditambah oleh pemerintah.

Soal pelanggaran HAM, tidak sepenuhnya kesalahan Indonesia. Pelanggaran apapun yang terjadi di Papua disebabkan karena masih adanya kelompok separatis atau kelompok bersenjata di Papua, dimana dalam situasi “perang atau upnormal” maka bisa saja terjadi pelanggaran dan tidak adil jika semua kesalahan ditumpukan kepada Indonesia.

Jika TPN-OPM menyerah dan ULMWP cs mau saja bergabung dan menjadi rakyat yang baik, tentunya nasib Papua tidak akan seperti saat ini.

*) Penulis adalah pemerhati masalah Papua.

Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent