PERLU DIALOG ANTAR STAKEHOLDER UNTUK MEWUJUDKAN OMNIBUS LAW

PERLU DIALOG ANTAR STAKEHOLDER UNTUK MEWUJUDKAN OMNIBUS LAW

 

Foto: Stanislaus Riyanta (Penulis)

oleh Stanislaus Riyanta

Penolakan RUU Cipta Lapangan Kerja dalam Omnibus Law oleh buruh perlu dicermati dengan serius. Sikap dari kelompok buruh ini menunjukkan dialog antara buruh dan stakeholder lainnya termasuk pemerintah dan DPR belum dilakukan dengan baik. Penolakan yang cukup masif hingga terjadi unjuk rasa menunjukkan bahwa ruang untuk menyampaikan aspirasi dari kelompok buruh tidak tersedia, sehingga memilih cara-cara jalanan.

Kelompok buruh menyoroti beberapa hal dalam RUU Cipta Lapangan Kerja. Pertama adalah hilangnya ketentuan upah minimum di kabupaten/kota; kedua, yaitu masalah aturan pesangon yang kualitasnya dianggap menurun dan tanpa kepastian; ketiga, Omnibus Law dianggap akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas. Selajutnya keempat, sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar dihapuskan; kelima, aturan mengenai jam kerja yang dianggap eksploitatif.

Selain itu empat alasan lainnya yaitu, omnibus law cipta lapangan kerja dianggap akan membuat karyawan kontrak susah diangkat menjadi karyawan tetap. Kemudian, penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) termasuk buruh kasar yang bebas, PHK yang dipermudah dan terakhir, hilangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.

Hal-hal yang menjadi catatan penting dari kelompok buruh dan berujung pada penolakan Omnibus Law tersebut perlu dikomunikasikan dengan pemerintah dan DPR sebagai stakeholder yang menentukan. Penjelasan-penjelasan dari pemerintah dan DPR kepada buruh perlu diberikan sehingga muncul pemahaman yang utuh dan tidak timbul kecurigaan, terutama jika respon pemerintah dan DPR terkesan tidak terbuka pada kelompok penentang Omnibus Law.

Omnibus Law adalah undang-undang yang bersentuhan dengan berbagai macam topik dan dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas atau mencabut sejumlah undang-undang lain, yang disusun untuk menghilangkan tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan, efisiensi proses perubahan atau pencabutan peraturan perundang-undangan dan menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dengan adanya Omnibus Law diharapkan dapat memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global.

Jika melihat tujuannya maka omnibus law harus didukung, namun berbagai kendala dan penolakan yang terjadi saat ini juga perlu diselesaikan. Adanya ketidaksamaan persepsi antara pemerintah dan DPR dengan kelompok buruh perlu diselesaikan dengan membuka ruang dialog. Dengan adanya dialog ini maka segala keberatan dari kelompok buruh dapat dikomunikasikan dan dijawab oleh pemerintah dan DPR secara lebih elegan.

Omnibus law harus diyakini dibuat untuk tujuan menyejahterakan masyarakat. Namun, jika terjadi kebekuan komunikasi sehingga timbul penolakan dari sebagian stakeholder yang ada, maka tujuan mulia tersebut akan mengalami kendala. Penolakan atau anti terhadap Omnibus Law bukan suatu solusi terhadap kesejahtaraan masyarakat.

Dialog antar stake holder sebagai jalan menuju terbentuknya omnibus law harus dilakukan. Tentu saja jika pihak yang menolak omnibus law tidak mau untuk melakukan dialog, maka aksi penolakan tersebut sudah bias dan dapat dicurigai mempunyai agenda tersembunyi.

*) Stanislaus Riyanta, mahasiswa doktoral bidang kebijakan publik Universitas Indonesia

Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent