PUTUSAN MA NO 44/HUM/2019 DAN LIMA REKOMENDASI UNTUK MPR RI

PUTUSAN MA NO 44/HUM/2019 DAN LIMA REKOMENDASI UNTUK MPR RI

Foto: Mayjen TNI (Purn) Prijanto, sumber foto:

 

Oleh MAYJEN TNI (PURN) PRIJANTO

“Amandemen UUD 1945 terkesan menciptakan sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan yang tidak jelas, rumusan pasal-pasalnya multi interpretative, sehingga bisa menimbulkan instabilitas hukum dan politik”. (Prof. Dr. Dahlan Thaib, 2005, “Nasib kerja Komisi Konstitusi tentang amandemen UUD 1945”)
Pembatasan : Untuk memudahkan, Undang-undang Dasar hasil amandemen dalam artikel ini kita sebut UUD 2002.

Data dan Informasi

UUD 1945 : “Indonesia, ialah Negara yang berdasar atas Hukum (Rechsstaat)”. Pasal 6A (3) UUD 2002 : “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikit-sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”. (amandemen ke-3)
Pasal 6A (4) UUD 2002 : “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. (amandemen ke-4)

Putusan MA No. 44/HUM/2019, antara lain memutuskan Pasal 3 (7) PKPU 5/2019 bertentangan dengan UU No. 7/2017 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Komisi Konstitusi bentukan MPR RI tahun 2002 telah melakukan kajian terhadap UUD 2002. Ketua Komisi Konstitusi Prof. Dr. Sri Soemantri, pakar Hukum Tata Negara bersama 30 anggota komisi, telah merampungkan tugasnya, dan hasilnya sudah diserahkan ke MPR RI.
Baca : Pelantikan Presiden RI 2019 : “Semua bilang kawal konstitusi”. (google).
Baca : “Buah RUU HIP Untuk Kontemplasi pada 61 Tahun Dekrit Presiden 5 Juli 1959”. (google)

Diskusi dan Interpretasi

“Founding fathers and mothers”, menegaskan Negara berdasar atas Hukum, bukan kekuasaan. Artinya, siapapun tidak boleh memanipulasi, menekuk dan membelokan hukum.

Pasal 6A (3) UUD 2002, bicara syarat ideal Paslon yang bisa dilantik MPR, artinya mengikat MPR. Tidak bicara jumlah Paslon, lahir di amandemen ke-3. Bagaimana jika syarat ideal tidak tercapai? Dalam amandemen ke-4, lahir ayat (4), memiliki korelasi dengan ayat (3), ayat ini sebagai solusi.

Kasus ini, menguatkan dugaan bahwa amandemen UUD 1945 beberapa pasal muncul tanpa naskah akademi, termasuk Ps. 6A ayat (3) & (4) UUD 2002. Jika ada naskah akademinya, ayat (3) & (4) tentu lahir bersamaan. Pengakuan Prof. Dr. Sahetapy, sebagai pengusul tunggal hilangnya kata “asli” pada Ps. 6 UUD 1945 “Presiden ialah orang Indonesia asli”, juga menguatkan dugaan.

MK melakukan interpretasi Pasal 159 (1) UU 42/2008, yang substansinya seperti Ps. 6A (3) UUD 2002. MK menyatakan tidak berlaku jika Paslon dua pasang (Putusan MK 50/PUU-XII/2014). Putusan MK ini bukan segala-galanya, karena dikesampingkan dengan adanya UU 7/2017 Ps. 416 (1), yang mengatur Presiden dan Wapres terpilih sebagaimana Ps. 6A (3) UUD 2002. (Asas “Lex posterior derogat legi priori”)

Celakanya, KPU membuat interpretasi lagi. Ps. 3 (7) PKPU 5/2019 menetapkan Paslon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Paslon terpilih, jika hanya ada 2 (dua) Paslon. Sehingga Putusan MA No. 44/HUM/2019 memutuskan peraturan KPU ini bertentangan dengan UU No. 7/2017 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan MA No.44/HUM/2019 melahirkan perdebatan, diskusi silang pendapat dan berbagai interpretasi terhadap pasal dan ayat dalam UUD 2002 dan peraturan lainnya. Sesungguhnya, jika ingin menegakkan aturan terkait Pilpres 2019, masih panjang dan berliku-liku.

Penetapan KPU soal Presiden terpilih, sebagai norma khusus, apa perlu diuji legalitasnya di PTUN? Sebagian berpendapat, untuk apa, pemborosan, toh norma umum sudah ada Putusan MA. Di akhir Pilpres, kedua Paslon juga tidak memenuhi Ps. 6A (3) UUD 2002. Apa perlu Pilpres tahap kedua? Tentu ini pemborosan, inilah format dalam UUD 2002. Sukakah kita? Akankah UUD 2002 akan kita pertahankan ?

Artikel ini tidak membahas penegakan hukum, tetapi ingin menyampaikan, Putusan MA tersebut membuka cakrawala, adanya interpretasi pasal dalam UUD 2002. Benar Prof. Dr. Dahlan Thaib di atas : “….. rumusan pasal-pasalnya multi interpretative, sehingga bisa menimbulkan instabilitas hukum dan politik”.

Rekomendasi

Apabila rakyat Indonesia yakin Pancasila sebagai Dasar Negara, pasal-pasal UUD 2002 tidak koheren dengan nilai-nilai Pancasila dan multi interpretatif sehingga menimbulkan instabilitas hukum, politik dan robeknya persatuan, maka demi bangsa dan negara ada 5 (lima) rekomendasi untuk MPR RI, dengan Ps.3 & Ps 37 UUD 2002 sebagai sisa kewenangannya :

Pertama. Hendaknya mempelajari hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR RI tahun 2002 dan dari elemen masyarakat, terkait UUD 2002. Menyerap pendapat para pakar Hukum Tata Negara dari kaum akademisi, terkait situasi negara saat ini, setelah kita menggunakan UUD 2002.

Kedua. Hendaknya segera mengambil langkah konstruktif dan konstitusional, apabila situasi negara buruk itu diakibatkan UUD 2002. Tidak perlu ragu, merasa bersalah, ewuh pakewuh, jika harus Kembali ke UUD 1945 untuk disempurnakan dengan cara memberikan adendum, agar nilai-nilai, cita-cita dan tujuan ketika mendirikan Indonesia Merdeka tetap lestari.

Ketiga. Seyogyanya buku “Panduan Pemasyarakatan Undang-undang Dasar” MPR RI, tidak hanya buku seputar UUD 2002. Perlu buku pendamping, seperti kajian Komisi Konstitusi, kajian Foko Purnawirawan TNI-POLRI, pendapat para tokoh dari Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) yang sudah pernah disampaikan kepada MPR RI. Tujuannya, agar rakyat paham dan bisa melakukan penilaian.

Keempat. Membentuk Komisi Konstitusi dengan anggota non partisan dan tidak pernah terlibat amandemen. Tugasnya mengkaji lebih lanjut UUD 2002 dikaitkan dampak setelah digunakan bernegara, penyempurnaan UUD 1945 dengan adendum dan menguji aturan perundang-undangan turunan UUD 2002.

Kelima. Menerima aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan konstitusi, secara periodik. Acara ini bak “Tapa Pepe” kearifan lokal Raja Jawa dan menunjukkan masyarakat berhak bicara konstitusi.
Semoga persoalan bangsa ini bisa dipahami semua pihak, para Ketum Parpol, politisi, kaum intelektual dan masyarakat umumnya. Insya Allah, amin.

*) Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2007 s.d 2012. Rumah Kebangkitan Indonesia.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent