TERJADI LAGI DI KARANGANYAR, MENGAPA POLRI SERING MENJADI SASARAN AKSI TEROR?
Foto: Stanislaus Riyanta (Penulis), sumber foto: Merahputih.com
oleh Stanislaus Riyanta *)
Anggota Polri kembali menjadi korban aksi teror. Minggu 21/6/2020 sekitar pukul 10:45 WIB Wakapolres Karanganyar Kompol Busroni dan anggota Polres Karanganyar Bripda Hanif Ariyono diserang oleh seseorang dengan senjata tajam. Aksi tersebut terjadi di jalur pendakian Gunung Lawu Pos Cemara Kandang, Kabupaten Karanganyar.
Akibat aksi tersebut Kompol Busroni mengalami luka sayat di tangan, Brida Hanif Ariyono mengalami luka sobek di leher dan punggung, dan seorang masyarakat yang berada di lokasi kejadian mengalami luka sobek di lengan kanan dan pungung. Setelah melakukan aksinya pelaku diringkus dan terpaksa diberi tindakan tegas sehingga meninggal dunia.
Satu hari sebelumnya, Mako Brimob Polda Sulawesi Tenggara dimasuki oleh seorang pria dengan berteriak-teriak (20/6/2020). Beberapa anggota Brimob berupaya menghentikan laki-laki tersebut, bahka terdengar beberapa kali tembakan peringatan. Akhirnya laki-laki tersebut dapat diringkus oleh anggota dan diamankan.
Aksi teror sebelumnya yang menyerang anggota Polri terjadi di Markas Polsek Daha Selatan, Kab Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Aksi yang menyebabkan 1 anggota Polri gugur ini terjadi pada 1 Juni 2020. Pelaku menyerang sekitar pukul 02:15 Wita dengan menggunakan atribut yang menyerupai dengan simbol ISIS.
Aksi teror terhadap anggota Polri sudah kerap terjadi, terutama sejak kelompok teroris ISIS menguat. Beberapa aksi teror terhadap polisi yang dilakukan oleh kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS antara lain aksi teror terhadap polisi di Cikokol (20/10/2016), serangan di Mapolres Banyumas (11/4/2017), aksi bom di Kampung Melayu (24/5/2017), penyerangan terhadap anggota Brimob di Masjid Falatehan (30/06/2017). Pada tahun 2018 aksi teror terhadap polisi terjadi di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok (8/5/2018), serangan bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya (14/5/2018), dan serangan di Kepolisian Daerah Riau (16/5/2018). Pada tahun 2019, aksi teror terhadap polisi berupa bom bunuh diri di Pospam Kertasura (3/6/2019) dan bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan (13/11/2019).
Pertanyaan penting menyikapi fenomena di atas adalah mengapa polisi kerap menjadi target dari aksi teror? Kelompok teroris di Indonesia yang berafiliasi dengan ISIS seperti JAD dan MIT menganggap polisi sebagai musuh yang harus diperangi, dan diberi stigma sebagai thaghut. Hal ini terjadi karena polisi terutama Densus-88 berada di garis terdepan untuk memberantas terorisme. Aksi Densus-88 dalam memberantas terorisme tidak hanya penangkapan tetapi karena dinamika di lapangan termasuk adanya perlawanan dari kelompok terduga teroris maka Densus-88 melakukan tindakan hingga tembakan yang berakibat tewasnya terduga teroris.
Kelompok teroris saat ini semakin terdesak terutama sejak kewenangan pencegahan dalam penanggulangan terorisme diperkuat dengan UU Nomor 5 Tahun 2018. Polri melalui Densus-88 mempunyai landasan hukum yang kuat untuk melakukan berbagai tindakan yang perlu untuk mencegah terjadinya aksi terorisme. Hal ini menjadi salah satu penyebab kelompok teroris menjadikan polisi sebagai musuh, sehingga banyak aksi teror yang sasaran utama.
Prediksi ke depan serangan terhadap polisis akan didominasi oleh serangan lone wolf, aksi yang dilakukan oleh pelaku tunggal, dan sel-sel keluarga. Hal ini terjadi karena aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok akan terdeteksi melalui aplikasi percakapan yang mereka gunakan.
Fenomena ini diperkirakan akan masih terus terjadi, mengingat aksi terorisme belum dapat dipastikan berhenti saat ini. Terdesaknya ISIS di Timur Tengah justru akan menguatkan aksi-aksi di dalam negeri mengingat kelompok teroris di Indonesia yang berafiliasi dengan ISIS justru akan memusatkan aksinya di tanah air.
Polri harus waspada terhadap ancaman dari kelompok teroris. Kerjasama dengan masyarakat sipil perlu dilakukan untuk menciptakan kemampuan deteksi dini dan cegah dini terorisme. Hal ini penting dilakukan karena para pelaku ini akan bersembunyi di tengah-tengah masyarakat dan yang paling memungkinkan untuk mendeteksi keberadaan mereka pertama kali adalah keluarga terdekat atau masyarakat. Tanpa kerja sama yang erat antara aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat maka terorisme sangat sulit ditanggulangi.
*) Stanislaus Riyanta, analis intelijen dan terorisme
Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.