Kontroversi RUU HIP di tengah-tengah Pendemi Covid-19

Kontroversi RUU HIP di tengah-tengah Pendemi Covid-19

“My country, right or wrong; if right, to be kept right; and if wrong, to be set right”.

Carl C. Schurz (1829-1906)

 

Diktum yang disampaikan oleh Carl Christian Schurz di atas dapat digunakan untuk membaca sikap yang diperlihatkan oleh beberapa Purnawirawan TNI ketika datang menghadap Presiden Joko Widido (Jokowi) di Istana Bogor pada 19/06/2020 lalu. Mereka muncul dan mencoba memberikan masukan secara diplomatis terkait eksistensi Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (dibaca RUU HIP). Reaksi serupa juga telah dilakukan oleh dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) kompak menolak draft RUU HIP yang dinilai mengingkari peran agama di Republik Indonesia.

RUU HIP disiapkan oleh DPR pada 17/12/2019 dan telah melalui 8 kali rapat pembahasan hingga ditetapkan sebagai RUU Usul DPR pada 12/05/2020. RUU HIP akan masuk ke stase Pembahasan melalui Pembicaraan Tingkat I dan Tingkat II sebelum menjadi UU. Berdasarkan alur pembentukan UU, maka pembahasan RUU HIP pada Pembicaraan Tingkat I akan diminta pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.

RUU HIP Usulan DPR RI

RUU HIP yang terdiri dari 36 halaman + 10 halaman terkait penjelasan, 10 bab dan 60 pasal tersebut menuai protes keras atas eksistensi beberapa pasal. Protes keras tersebut secara khusus telah disampaikan dan substansi khusus yang menjadi materi perdebatan sebagai salah satu issue nasional pada beberapa ruang publik adalah pasal 7 yang terdiri dari 3 ayat. Eksistensi ayat 2 dinilai mengingkari peran agama dan ayat 3 seolah-olah konsensus Pancasila belum final sebagai dasar negara.

Pasal 7

  1. Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
  2. Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
  3. Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.

Beberapa klarifikasi yang telah dilakukan oleh pimpinan negara belum berhasil merebut kepercayaan penuh para tokoh yang menyampaikan keberatannya, meskipun salah satu Wakil Ketua MPR sekaligus sebagai salah satu Ketua DPP PDIP, Ahmad Basarah, melalui salah satu acara talk show, Indonesia Lawyer Club, pada 16/06/2020 lalu, menegaskan bahwa RUU tersebut sebagai instrumen teknis atau pedoman untuk menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan isi pasal tersebut bukan berasal dari PDIP. Eksistensi RUU tersebut merupakan sebagai suatu kesepakatan karena sudah mendapat persetujuan dari berbagai fraksi partai yang ada, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, Nasedem, PKB, PAN, PPP, dan PKS dengan catatan jika dilakukan penyempurnaan kembali dengan penambahan poin-poin yang tercantum dalam Pendapat Fraksi.

Kata Pancasila, Trisila, dan Ekasila memang pertama kali diucapkan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 ketika para pendiri negara ini rapat untuk menentukan apa yang menjadi dasar negara dalam pembentukan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang merdeka. Bung Karno berpidato karena terjadinya kemacetan penentuan tersebut selama 3 hari, dan Bung Karno mengatakan kondisi tersebut dengan istilah Bahasa Belanda “zwaarwichtig” atau “njelimet” dalam Bahasa Jawa. Penarikan kembali ciri Pancasila tersebut ke dalam konteks UU seperti yang termaktub dalam RUU HIP sudah tidak relevan lagi karena Pancasila sebagai dasar negara dengan lima silanya merupakan satu kesatuan yang integral dan tidak dapat dipisahkan karena telah diejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui UUD 1945 sebagai sumber dari segala hukum yang berlaku.

Pidato Bung Karno 1 Juni 1945

Sidang resmi Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) yang dimulai pada 29 Mei 1945 untuk membahas bentuk negara, filsafat negara serta merumuskan dasar negara Indonesia mengalami perdebatan yang berujung pada kemacetan. Dari catatan sejarah terkait sidang resmi yang terdiri dari 9 orang tersebut, secara implisit tergambar ada kegamangan untuk memasuki kondisi Indonesia sebagai bangsa dan negara yang merdeka atas situasi dan kondisi yang ada, ragam keterbatasan kapasitas sumber daya manusia dan keterbatasan instrumen untuk menyelenggarakan suatu pemerintahan yang mutlak diperlukan untuk mendirikan sebuah negara. Kondisi psikologis tersebut sangat dimaklumi karena masyarakat nusantara telah hidup dalam kolonisasi Barat lebih dari 350 tahun.

Bung Karno mendapat giliran terakhir untuk menyampaikan pandangannya pada hari terakhir, 1 Juni 1945, telah mendengarkan pandangan M. Yamin dan Soepomo terkait dasar negara dan pandangan kritis tokoh-tokoh lainnya terkait hal tersebut. Bung Karno melihat momentum tersebut sangat penting dalam penentuan arah Indonesia ke depan, hal tersebut terlihat dari 10 kali kata “jembatan” diucapkannya pada Pidato 1 Juni. Sebagai seorang manusia, beliau membutuhkan suatu kekuatan spritual untuk dapat menyampaikan pandangannya secara bijaksana, oleh karena itu Bung Karno melakukan Sholat Tahajud pada malam sebelum menyampaikan pandangannya.

Perdebatan yang sangat akademis dari para tokoh terkait falsafah negara atau diungkapkan para tokoh dengan istilah philosophischegrondslag dan dipertegas Bung Karno dengan istilah Weltanschauung karena diucapkannya 33 kali pada pidato yang disampaikan. Pengetahuan dan pandangan kritis Bung Karno atas geopolitik dunia sangat luas dan dalam, beberapa Weltanschauung yang dijadikan dasar pendirian negara-negara dunia tersebut belum pernah dikunjunginya secara fisik, seperti Amerika, Rusia, Tiongkok, Saudi Arabia, Jerman, Inggris, Jepang, Mesir, dan Iran, namun dapat dijelaskannya secara historis, filosofis, dan argumentatif. Pandangan kritis terhadap teori negara versi Ernest Renan dan Otto van Bauer dapat dikonstruksikan Bung Karno secara kualitatif untuk meramu satu falsafah Indonesia yang merdeka dan meyakinkan para hadirin bahwa masyarakat saat itu mampu untuk melewati “jembatan” menuju Indonesia sebagai bangsa dan negara yang hidup berdasarkan Pancasila sebagai dasarnya.

Argumentasi Bung Karno secara filosofis, sosiologis, dan antropologis dengan balutan pengetahuan geopolitiknya yang dalam atas kondisi strategis nusantara dapat dipandang sebagai sebuah “disertasi” atas falsafah yang telah lama ada di nusantara ini dan dapat dijadikan sebagai Weltanschauung untuk mendirikan Indonesia sebagai bangsa dan negara. Proses pencarian tersebut memang telah berlangsung lama, mulai dari perjalanannya ke beberapa wilayah nusantara, baik sebagai mahasiswa maupun sebagai tahanan politik di Bandung, Ende, dan Bengkulu, telah memberikan kesempatan kepada Bung Karno untuk melihat kondisi faktual kehidupan masyarakat nusantara saat itu. Argumentasi Bung Karno tersebut mampu untuk meyakinkan para hadirin memasuki Indonesia yang merdeka yang ada di seberang sana, meskipun resikonya mati karena pilihannya merdeka atau mati, agar bersama-sama melalui tekad yang bulat untuk melangkah dengan prinsip kebangsaan. Pengungkapan dasar pertama tersebut pun disampaikan secara santun, didahului dengan permintaan maaf kepada para tokoh agama karena mengungkapkan “kebangsaan” sebagai dasar pertama.

Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan.

Selanjutnya Bung Karno memaparkan dasar-dasar lainnya yang dilengkapi argumentasi kuat dan mengkristalkannya dalam satu diksi PANCASILA beserta argumentasi persuasifnya. Terdapat 11 kata Panca diucapkan oleh Bung Karno yang menegaskan preferensinya pada Pancasila dengan mengkaitkannya dengan Rukun Islam yang 5 jumlanya, jumlah jari adalah 5 setangan, panca indera, dan jumlah tokoh Pandawa juga 5 setelah salah satu hadirin menjawab Pandawalima atas pertanyaan Bung Karno “Apalagi yang jumlahnya lima?”. Namun demikian, Bung Karno pun memberikan alternatif jika para anggota dan hadirin semua tidak ada satupun yang menerima Pancasila sebagai dasar negara, alternatifnya adalah Trisila dan Ekasila agar proses peletakan Weltanschauung Indonesia sebagai negara tidak “njilemet” atau “zwaarwichtig”.

Proses peletakan dasar negara adalah Pancasila yang disahkan oleh BPUKI dari tata bahasa dan urutan akhirnya dituangkan dalam bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 dan disempurnakan menjadi Pembukaan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar negara sudah bersifat final dengan lima silanya yang menjadi nilai-nilai yang menaungi kehidupan berbangsa dan bernegara karena diejawantahkan ke dalam UUD 1945 yang dijadikan sumber segala hukum positif yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh karena itu, penarikan istilah Trisila dan Ekasila dalam konteks UU, khususnya pada RUU Haluan Ideologi Pancasila, tidaklah tepat, karena hal tersebut diajukan Bung Karno sebagai alternatif pilihan, dan pilihan telah disepakati dalam konsensus formal negara adalah Pancasila.

Kepentingan Nasional

Indonesia saat ini sedang menghadapi pendemi Covid-19 dan dampaknya yang bersifat multidimensi sehingga menguras kekuatan nasional. Pembangunan Nasional sebagai salah satu kepentingan nasional telah terdistorsi untuk menghadapi Covid-19, hal tersebut telah diputuskan melalui kebijakan refocusing dan realocation APBN. Beban pemerintah sudah sangat berat dan membutuhkan social capital yang kuat untuk mengantarkan masyarakat memasuki tatanan normal baru karena sampai hari ini vaksin dan obatnya belum kunjung ditemukan. Kekuatan struktur dari organisasi masyarakat yang ada pada tokoh-tokoh masyarakat tersebut memiliki peran yang sangat signifikan untuk menghadapi Covid-19. Selain itu, potensi dinamika geopolitik dunia atas konflik AS – RRT di Laut Cina Selatan, tentu dapat menjadi potensi hambatan, tantangan, dan gangguan bahkan ancaman bagi kepentingan nasional kita yang memperparah kondisi ketidakpastian (uncertainty) yang telah berlangsung sampai hari ini.

Oleh karena itu, pengelolaan potensi masalah atas eksitensi RUU HIP sebaiknya dilakukan secara dini sebelum potensi tersebut menjadi masalah dan melahirkan masalah-masalah baru lainnya. Perdebatan di ruang publik juga sudah terdistorsi pada issue kebangkitan Partai Komunis Indonesia yang ditandai dengan tuntutan dimasukkannya TAP MPR No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme sebagai peraturan konsideran dalam RUU HIP. Untuk itu, sangat diharapkan para wakil rakyat yang ada di DPR RI dapat menyikapi potensi keresahan publik ini secara arif dan bijaksana.

Kita sudah diantarkan di sisi seberang “jembatan” yang telah dibangun para pendiri bangsa melalui momentum sidang BPUPKI 29 s.d 1 Juni 1945 dan peletakan Pancasila sebagai dasar negara dalam Pembukaan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, marilah kita dorong Indonesia mendekati sisi seperti yang digambarkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 sebagai tujuan negara, sebab Indonesia milik kita semua sebagai bangsa dan negara, jika arah jalan menuju cita-cita tersebut adalah benar, mari kita dorong bersama-sama, dan jika salah, sudah sepatutnya kita arahkan ke arah dan jalan yang benar agar dapat kita dorong bersama-sama kembali menuju tatanan masyarakat Indonesia yang berdaulat dan bermartabat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

* Edison Guntur Aritonang, Pemerhati Permasalahan Ketahanan Nasional, tinggal di Pondok Cabe

Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent