CATATAN KRITIS OMNIBUS LAW RUU CIPTA KERJA (KLASTER KETENAGAKERJAAN)
Foto: Presiden KSPI Said iqbal
RINGKASAN EKSEKUTIF
Oleh: Said Iqbal (Presiden KSPI)
Kaum buruh dengan tegas menolak RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang draftnya saat ini sudah resmi diserahkan pemerintah ke DPR RI. Penolakan ini diambil, setelah secara seksama kita mempelajari RUU tersebut.
Hukum ketenagakerjaan harus mengandung prinsip kepastian pekerjaan (job security), kepastian pendapatan (income security), dan kepastian jaminan sosial (social security). Namun sayangnya, di dalam RUU Cipta Kerja tidak tercermin adanya kepastian kerja, kepastian pendapatan, dan kepastian jaminan sosial tersebut.
Tidak adanya kepastian kerja tercermin dari outsourcing dan kerja kontrak yang tanpa batas, PHK bisa dilakukan dengan mudah, dan tenaga kerja asing (TKA) buruh kasar berpotensi bebas masuk ke Indonesia.
Tidak adanya kepastian pendapatan terlihat dari hilangnya upah minimum kabupaten dan berkurangnya pesangon. Sementara itu, karena outsourcing dan kerja kontrak dibebaskan, maka buruh berpotensi tidak lagi mendapatkan jaminan sosial; seperti jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan dan yang lainnya.
Selain ketiga prinsip di atas, masih ada 9 (sembilan) hal lain yang menjadi dasar penolakan kita. Kesembilan alasan tersebut adalah; (1) potensi hilangnya upah minimum, (2) potensi hilangnya pesangon, (3) outsourcing di semua jenis pekerjaan, (4) karyawan kontrak tanpa batasan, (5) waktu kerja yang eksploitatif, (6) TKA buruh kasar berpotensi bebas masuk ke Indonesia, (7) potensi hilangnya jaminan sosial, (8) PHK menjadi semakin mudah, dan (9) hilangnya sanksi pidana untuk pengusaha.
1. Potensi Hilangnya Upah Minimum
Hal ini terlihat dengan munculnya pasal yang menyebutkan bahwa upah didasarkan per satuan waktu. Ketentuan ini membuka ruang adanya upah per jam. Ketika upah dibayarkan per jam, maka besar kemungkinan buruh tidak akan mendapatkan upah minimum.
Selain itu, di dalam RUU Cipta Kerja, upah minimun hanya didasarkan pada Upah Minimum Provinsi (UMP). Sedangkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan Upah Minimum Sektoral dihapus.
Padahal, hampir seluruh kab/kota di Indonesia menggunakan UMK atau UMSK. Hanya sedikit yang menggunakan UMP, misalnya DKI Jakarta dan Yogjakarta.
Dampak buruk dari dihilangkannya UMK dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan UMP 2020 sebesar Rp 1,81 juta. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan UMK di sejumlah kab/kota lain di Jawa Barat.
Misalnya, UMK 2020 Kab Karawang sebesar Rp 4.594.324, Kota Bekasi sebesar Rp 4.589.708, dan Kab Bekasi sebesar Rp. 4.498.961.
Jika yang berlaku hanya UMP, maka upah minimum pekerja di Karawang yang saat ini 4,5 juta; ketika RUU Cipta Kerja disahkan upah minimumnya menjadi 1,81 juta.
Tidak hanya itu, kenaikan upah minimum hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi. Padahal sebelumnya, kenaikan upah minimum didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan inflansi nasional. Karena berdasarkan penjumlahan pertumbuhan ekonomi dan inflansi, maka nilainya menjadi lebih besar. Sebagai catatan, kenaikan dengan formula ini juga ditolah buruh.
Jika RUU ini disahkan, penetapan upah dengan mempertimbangkan KHL berdasarkan survei pasar akan hilang. Dengan kata lain, kenaikan upah tidak lagi ditentukan berdasarkan kebutuhan riil seorang buruh.
RUU Cipta Kerja memuat ketentuan upah minimum padat karya. Ini artinya, akan ada upah di bawah upah minimum. Padahal fungsi upah minimum sendiri merupakan jaring pengaman. Tidak boleh ada upah yang nilainya di bawah upah minimum.
RUU Cipta Kerja juga mengatur UMKM boleh membayar upah di bawah upah minimum. Dengan demikian, siapa yang akan memberikan perlindungan terhadap pekerja di UMKM? Bagaimanapun, perusahaan UMKM akan seenak-enaknya membayar upah buruh.
Dalam menetapan upah minimum, Negara bertindak otoriter. Karena dalam RUU Cipta Kerja, gubernur diancam akan dijatuhi sanksi kalau tidak menetapkan upah minimum sesuai dengan undang-undang ini. Hal ini jelas melanggar Konvensi ILO, yang menyebut penentuan upah minimum harus dirundingkan dalam Dewan Pengupahan.
Belum lagi, pekerja yang tidak masuk bekerja karena sakit, perempuan yang haid, menikah dan menikahkan anak, menjankan tugas negara, hingga menjalankan tugas serikat pekerja; tidak ada jaminan upahnya akan dibayar. Padahal di dalam UU 13/2003, pekerja yang tidak masuk kerja karena hal tersebut di atas upahnya tetap dibayar.
Selain itu, tidak ada denda bagi pengusaha yang terlambat membayar upah. Ini lebih buruk dari UU 13/2003 yang mengatur, pengusaha yang terlambat membayar upah bisa dikenakan denda keterlambatan.
2. Potensi Hilangnya Pesangon
Siapa bilang di RUU Cipta Kerja pesangon tidak hilang? Kalau kita membaca keseluruhan dari RUU ini sebagai satu kesatuan, kita bisa menyimpulkan bahwa pesangon akan hilang.
Hal ini, karena, penggunaan pekerja outsourcing dan pekerja kontrak dibebaskan sebebas-bebasnya. Padahal outsourcing dan pekerja kontrak tidak mendapatkan pe-sangon. Dengan hilangkan PKWTT (pekerja tetap), dengan sendirinya pesangon akan hilang.
Selama ini, yang dimaksud pesangon ada tiga kom-ponen. Pertama, uang pesangon itu sendiri. Kedua, peng-hargaan masa kerja, dan yang ketiga penggantian hak. Dalam RUU Cipta Kerja, uang penggantian hak tidak lagi bersifat wajib. Sedangkan uang penghargaan masa kerja dari maksimal 10 bulan hanya menjadi 8 bulan.
Selain itu, seluruh ketentuan yang memungkinkan pekerja mendapatkan pesangon sebesar dua kali ketentuan dihapus.
Di dalam RUU Cipta Kerja disebutkan, pekerja yang ter-PHK mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Mungkin maksudnya adalah sebagai pengganti nilai pesangon yang telah dikurangi. Namun keberadaan JKP ini bernjadi tanpa makna. Karena di dalam ketentuannya, JKP berbasis iuran.
Siapa yang akan membayar iuran? Karena basisnya adalah asuransi, kita menduga yang akan membayar iuran JKP adalah pekerja dan pengusaha. Di sinilah letak perma-salahannya.
Bagaimana mungkin buruh diminta untuk membayar iuran untuk pesanggonnya sendiri? Padahal selama ini, pesangon hanya diberikan oleh pengusaha.
3. Karyawan Kontrak Tanpa Batasan Waktu
RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 59 UU 13/2003. Padahal dalam pasal ini diatur syarat kerja kontrak, batasan waktu agar tidak mudah di PHK dan menghindarkan buruh daru eksploitasi yang terus menerus. Dengan hilangnya pa-sal ini, bisa dipastikan tidak ada lagi pengangkatan pekerja tetap.
Dengan kata lain, RUU Cipta Kerja membebaskan kerja kontrak di semua jenis pekerjaan. Selain itu, lamanya kontrak kerja didasarkan pada kesepakatan pengusaha dan buruh.
Padahal, sebelumnya kerja kontrak hanya diperbo-lehkan untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara dan tidak untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Waktu kontrak pun hanya boleh dilakukan maksimal 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali maksimal 1 tahun. Dihi-langkannya batasan waktu ini, bisa saja membuat buruh dikontrak berulang-ulang tanpa pernah diangkan menjadi karyawan tetap.
Selain itu, RUU Cipta Kerja menghilangkan pasal yang mengatakan bahwa perjanjian kontrak yang dilakukan tidak secara tertulis demi hukum menjadi pekerja tetap.
Dampak yang lain, otomatis pesangon hilang. Kare-na pekerja kontrak tidak perlu diberikan pesangon jika dipecat oleh perusahaan.
4. Outsourcing Bisa di Semua Jenis Pekerjaan
Di dalam RUU Cipta Kerja, outsourcing bebas dipergunakan di semua jenis pekerjaan dan tidak ada batas waktu. Dengan demikian, buruh bisa saja di outsourcing seumur hidup. Padahal dalam UU 13/2003, outsourcing hanya dibatasi untuk 5 (lima) jenis pekerjaan yang bukan core bisnis.
Dengan ketentuan ini, bisa dipastikan perbudakan modern akan terjadi dimana-mana. Perusahaan akan berlomba-lomba mempekerjakan buruh outsourcing di semua jenis pekerjaan. Padahal, sebelumnya, outsourcing hanya boleh digunakan hanya untuk pekerjaan bukan core/inti dengan batas waktu tertentu.
5. Waktu Kerja yang Eksploitatif
Di dalam RUU Cipta Kerja diatur waktu 8 jam kerja sehari dan/atau 40 jam seminggu. Berbeda dengan UU 13/2003 yang mengatur waktu kerja maksimal 7 jam per hari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja. Dimana total dalam 1 minggu adalah 40 jam.
Bahkan hari libur yang biasanya 2 hari dalam seminggu, dalam RUU Cipta Kerja dibuat hanya 1 hari.
Pengaturan yang tidak ketat terkait dengan waktu kerja, menjadikan pengusaha bisa mengatur seenaknya jam kerja dengan upah per jam. Bagi buruh, waktu kerja seperti ini bersifat eksploitatif. Bisa saja pengusaha memerintah-kan buruh bekerja 12 jam sehari selama 4 hari kerja tanpa dibayar upah lembur.
Selain itu, lembur bisa dilakukan lebih lama. Jika dalam UU 13/2003 hanya boleh maksimal 14 jam, dalam RUU Cipta Kerja menjadi 18 jam. Akibatnya buruh akan kelelahan dan rentan terjadi kecelakaan kerja.
Hal lain yang menyakitkan bagi buruh, cuti besar atau istirahat panjang selama 2 bulan bagi kelipatan masa kerja 6 tahun dihilangkan.
6. TKA buruh kasar Berpotensi Bebas Masuk ke Indonesia
Hal ini terlihat dari dihapuskannya izin tertulis dari Menteri bagi TKA yang hendak bekerja di Indonesia. Selain itu, TKA untuk start-up dan lembaga pendidikan dibebaskan, bahkan tanpa perlu membuat rencana penggu-naan TKA.
Tidak adanya izin, menyebabkan TKA buruh kasar bisa masuk ke Indonesia dengan mudah tanpa terdeteksi.
Kewajiban TKA untuk memahami budaya Indonesia pun hilang. Dengan demikian, TKA tidak diwajibkan bisa ber-bahasa Indonesia. Dampaknya, transfer of job dan transfer of knowledge sulit untuk dilakukan.
Jika dalam UU 13/2003 setiap TKA berkewajiban me-lakukan pendidikan dan pelatihan dalam rangka transfer of job and knowledge terkecuali untuk direksi dan komisaris, dalam RUU Cipta Kerja pengecualian juga ber-laku bagi TKA dengan jabatan tertentu. Hal ini menjadi pintu masuk bagi TKA buruh kasar yang tidak memiliki keterampilan untuk masuk ke Indonesia.
7. Hilangnya Jaminan Sosial
Konsep mudah rekrut dan mudah pecat dengan memfleksibelkan penggunaan buruh kontrak, outsourcing, dan upah dibayarkan per satuan waktu (upah per jam); akan menghilangkan jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan yang lain.
Untuk bisa mendapatkan jaminan pensiun, misalnya, pekerja harus bekerja hingga usia pensiun. Ini tentu saja akan sulit dipenuhi, jika pekerja bisa dengan mudah di PHK. Karena baru beberapa bulan bekerja, sudah di PHK.
8. PHK Sangat Mudah Dilakukan
Sudahlah tidak ada pesangon, PHK bisa dengan mudah dilakukan.
Dalam UU 13/2003 diatur, pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah; dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
Tetapi dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan yang mengatur segala upaya agar tidak terjadi PHK ini dihilangkan.
Dampaknya, PHK semakin mudah dilakukan. Jika dalam UU 13/2003 jenis PHK yang bisa dilakukan tanpa izin hanya mencakup 4 jenis, dalam RUU Cipta Kerja ter-diri dari 8 jenis.
Celakanya, PHK tanpa izin bisa dilakukan karena perusahaan melakukan efisiensi. Dengan alasan melakukan efisiensi, pekerja bisa dengan mudah di PHK. Padahal berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, PHK karena efisiensi hanya bisa dilakukan karena perusahaan tutup secara permanen.
Selain itu, tidak ada lagi perundingan PHK dengan serikat pekerja. Dalam UU 13/2003, ketika PHK tidak da-pat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wa-jib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau dengan pekerja apabila pekerja yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja.
Dengan kata lain, RUU Cipta Kerja hendak menghi-langkan peran serikat pekerja dalam membela pekerja.
9. Sanksi Pidana Hilang
Berbagai sanksi pidana bagi pengusaha, di dalam RUU Cipta Kerja dihilangkan. Saat ini saja yang masih ada sanksi, masih banyak pelanggaran terjadi. Bagaimana kalau tidak ada sanksi? Tentu tidak akan ada lagi efek jera bagi pengusaha yang mengangkangi hak-hak buruh. (*)