PERUMAHAN BURUH APA KABAR

PERUMAHAN BURUH APA KABAR
Foto: Andi Naja FP Paraga (Penulis)

 

Foto: Andi Naja FP Paraga (Penulis)

oleh : Andi Naja FP Paraga

Pengantar

Adalah fakta masih banyak buruh/pekerja yang belum memiliki rumah sehingga harus mengontrak rumah atau tinggal bersama orang tua. Biaya kontrak relatif cukup besar sekitar 25% dari upah minimum dan pekerja masih sulit mendapatkan akses pinjaman perumahan dari perbankan.

Jika mengacu pada Pasal 80-83 Undang Undang Tabungan Perumahan Rakyat yang diundangkan 24 Maret 2016 sejatinya Tapera sudah berjalan optimal. Pelaksanaan UU Tapera belum berjalan karena belum ada peraturan pelaksana dan belum membentuk Badan Pengelola. Rancangan Peraturan Pemerintah belum ada.

Penghambat Penyelesaian Rancangan Peraturan Pemerintah

Penghambat utama adalah masalah iuran yang dirancang dalam draft RPP adalah 3% dengan kewajiban pemberi kerja mengiur 0,5% dan buruh/pekerja 25% dari upah. Pihak APINDO keberatan mengiur karena alokasi iuran untuk jaminan sosial selama ini sudah cukup besar berkisar 10,24 – 11,74% dari upah perbulan serta dalam kondisi ekonomi yang belum stabil saat ini menyebabkan biaya produksi berpotensi meningkat.

Keberatan Kalangan Buruh/Pekerja

Keberatan pihak buruh pekerja didasari oleh Pasal 27 ayat 1 UU Tapera mensyaratkan pekerja yang berhak mendapatkan pembiayaan adalah mereka yang belum memiliki rumah. Ini artinya semua pekerja formal wajib mengiur tapi tidak semua berhak mendapatkan manfaat Tapera. Persoalan lain hasil pemupukan dari dana simpanan tidak dijamin diatas suku bunga rata rata deposito bank pemerintah seperti yang diberlakukan pada Program Jaminan Hari Tua (JHT) pada BPJS Ketenagakerjaan.

Sinkronisasi Regulasi

Pasal 49 Ayat 2) UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang melarang adanya subsidi silang antar program dengan membayarkan manfaat suatu program dari dana program lain. Hasil Investasi Jaminan Hari Tua(JHT) merupakan Hak Pekerja/Buruh yang tidak boleh dialihkan untuk menjadi iuran pada UU Tapera dan bilaPekerja/buruh sudah mengikuti program JHT di BPJS Ketenagakerjaan,mereka tidak lagi wajib ikut UU Tapera,dan sebaiknya Permenaker No.35 Tahun 2016 dan UU Tapera saling melengkapi saja dan jangan tumpang tindih. Sinkronisasi dengan memadukan mekanisme pembiayaan pada UU Tapera dan Permenaker No.35 Tahun 2016 jika harus dilakukan tapi harus dengan kehati-hatian.

Inisiatif Serikat Buruh membuat Perumahan Buruh

Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia K(SBSI) pernah menginisiasi pembuatan perumahan buruh pada 2 tempat namun keduanya belum bisa disebut berhasil. Pernah dibuat di lokasi Training Center di Jeunjing Tangerang Banten bahkan sudah berpenghuni tapi hingga kini belum bisa dikembangkan. Pernah juga diupayakan didaerah Jawa Tengah namun tidak bisa berjalan. K(SBSI) menyadari terbesar dalam proyek pembuatan perumahan buruh itu tidak hanya pada pencarian sumber dana namun juga penyediaan lahan hingga mekanisme pembayarannya kepada Kreditur (Bank) dan lokasi yang tidak sulit menjangkau tempat kerja.

K(SBSI) mendapatkan kendala penyediaan Lahan di Papua beberapa tahun lalu bahkan sudah terjun langsung ke Papua. Proyek kemitraan dengan BPJS Ketenagakerjaan itu hingga saat ini belum ada lagi kabar beritanya. Jadi tidak mudah juga jika Buruh/Pekerja mencoba membuat Perumahan buruh,bahkan kendala perawatan bangunan yang sudah ada pun terjadi. Runtuhnya beberapa rumah di Jeunjing Tangerang menjadi bukti buruh harus memiliki dana tersendiri yang tidak kecil untuk perawatan.

Terkendala Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing

Harapan yang baik sebetulnya ketika Pengusaha Pemilik Industri tempat buruh/pekerja bekerja mengambil inisiatif pembuatan rumah untuk buruhnya. Namun hanya mungkin berlaku untuk pekerja tetap. Nasib tak beruntung justru mengancam pekerja Kontrak dan Outsourcing untuk memiliki rumah sendiri dengan sistem ini. Perusahaan tentu sulit melakukannya mengikat pekerja Kontrak dan outsourcing bukanlah pekerja tetap padahal angsurannya dengan kurun waktu yang lama dan panjang. Kendala ini harus dijadikan pertimbangan juga sehingga semua buruh/pekerja baik tetap maupun outsourcing/pekerja kontrak bisa memiliki rumah pada perumahan buruh.

Kesimpulan/Penutup

Setidaknya ada 2(dua) Solusi demi terpenuhinya pemilikan Perumahan Buruh yaitu mempercayakan BPJS Ketenagakerjaan untuk maksimisasi Jaminan Hari Tua didalam menghadirkan Perumahan Buruh dan atau Pemerintah melakukan hal yang sama dengan pemberian subsidi perumahan sehingga buruh/pekerja tidak membayar utuh. Jika keduanya berjalan maka persoalan ini bisa direalisasikan. (ANFPP)

Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent