REFLEKSI JIWA DIUJUNG RAMADHAN 1441 H

REFLEKSI JIWA DIUJUNG RAMADHAN 1441 H
Foto: Andi Naja FP Paraga (Penulis)

oleh : Andi Naja FP Paraga

Bangunan-bangunan megah masih berdiri kokoh seperti yang sudah-sudah bahkan terlihat sangat perkasa. Pemandangan Jakarta sebagai Kota Metropolitan masih seperti dahulu. Hanya saja ada yang hilang dan tak ditemukan yaitu ruh Bangunan-bangunan raksasa dan Kota Metropolitan ini. Mengelilingi kota bersejarah ini baik siang ataupun malam hari ditengah pandemi Covid19 seolah mengelilingi *kota mati*. Hadirnya Bulan Suci Ramadhan yang dirindukan mengembalikan *ruh* warga dan kotanya ternyata tak cukup meyakinkan siapapun untuk bergairah. Teror Corona terlampau besar untuk dilawan.

Kembali Mempribadi
Virus Corona berhasil merubah semuanya hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Merubah Orang Kaya tak mampu berbuat banyak,merubah kelas menengah terpaksa berdiam diri dirumah,merubah orang miskin semakin miskin hingga mengandalkan hidup dari bantuan sosial. Kita terpaksa menerima di-PHK tanpa kepastian pesangon. Kita juga terpaksa menelan kenyataan ber- *hari raya* tanpa *THR*(Tunjangan Hari Raya) walaupun masih ada yang bisa mendapatkan tapi dicicil.Kita dipaksa berfikir untuk diri sendiri dan terpaksa hanya *mempribadi* atau berbuat untuk diri sendiri saja.

Dalil dalil pembenaran situasi dan perlakuan pun dicari-cari hingga banyak yang salah dalil. Saya dikirimi sebuah tulisan oleh seorang teman untuk melegitimasi situasi dan perlakuan ini sebuah Firman Tuhan dari Kitab Suci Al Qur’an. Saya harus membuatnya marah karena saya jelaskan Ayat Al Qur’an itu tidak bisa dijadikan dalil pembenaran situasi ini. Para Ahli Tafsir Al Qur’an sejak dahulu tidak pernah menafsirkan ayat tersebut berarti *stay at Home atau work at home* melainkan ayat tersebut perhubungan dengan Kesucian Nabi dan anggota keluarganya. Sang teman pun marah tapi saya tidak meladeni kemarahannya.

Ibadah Pribadi tapi Nilai Universal
Puasa itu Ibadah Pribadi namun mendorong yang beribadah mengkonkritkan nilai-nilai keuniversalannya. Berpuasa dan berbagi rezeki dengan berbagai pola yang bisa membahagiakan orang lain seperti membagikan makanan untuk berbuka puasa dan untuk bersahur adalah satu kesatuan rasanya semakin membutuhkan konkritisasi disaat seluruh dunia sedang krisis karena Covid19. Mengajak mereka yang ingin mengatasi persoalan walaupun dengan bantuan-bantuan kecil telah menciptakan bulan ramadhan 1441H terasa lebih syahdu dan menyentuh. Semakin banyak manusia yang terdorong memburu pahala. Ternyata Puasa dan Pandemi dapat menciptakan prilaku lawan dari *mempribadi* yaitu *Pribadi mensosial*. Ternyata *Ibadah Pribadi sanggup mengkoneksikan nilai-nilai keuniversalan*.

Tebarkan Senyuman Sang Nabi
Mungkinkah Pemilik Gedung-gedung besar di Pusat Kota Metropolitan tak terharu melihat himpitan hidup masyarakat kecil yang berada di rumah-rumah kecil,kontrakan,hingga yang hidup dikolong-kolong tol. Hati mereka pun teriris hingga banyak diantara mereka berbagi hingga turun langsung mengetuk pintu-pintu rumah bahkan membangun warga-warga yang bermukim di kolong tol hingga para tunawisma. Mereka datang dengan mobil-mobil membawa paket sembako sembari tersenyum dibalik masker-maskernya. Ada pula Sumbangan-sumbangan yang diorganisir oleh Para Istri Tentara dan Polisi dan dibagikannya langsung sambil berkata *bersabar ya* dibalik masker-maskernya. Saya menyebut mereka *membawa Senyuman Sang Nabi* dan merekalah orang orang yang dirindukan Surga.

Ramadhan dan Covid19 merefleksi jiwa
Ibadah dan musibah ternyata merefleksikan jiwa siapapun. Kehadiran puasa dan wabah Covid19 ternyata banyak merubah jiwa seseorang. Perubahan jiwa menjadi lebih baik,lebih perduli,lebih sensitif terhadap penderitaan orang lain tentu sebuah refleksi jiwa yang besar. Keterpanggilan orang-orang dibalik Gedung-gedung besar di Ibu Kota Negara untuk membantu sesama adalah bukti bahwa kita masih Indonesia,kita masih pancasila,kita masih seperti dahulu yang berkarakter kemanusiaan yang kuat. Karakter inilah yang diinginkan oleh puasa ramadhan yaitu mengembalikan kesadaran pribadi dan kesadaran kolektif manusia kepada keberpihakannya terhadap sesamanya. Inilah kesadaran yang harus dirayakan dengan Idul Fitri

Sementara itu Masyarakat Dunia masih panik dengan semakin menyebar virus corona dibelahan dunia yang lain. Daerah Pedalaman Amazone Brazil justru memasuki babak baru penyebaran Covid19. Didalam Negeri Gubernur DKI Jakarta masih memperpanjang masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ini artinya Virus Corona masih mengancam ketenangan hidup Masyarakat Dunia dan kita. Sungguh diperlukan ketenangan jiwa yg lebih prima. Berita-berita buruk yang berpotensi menciptakan goncangan jiwa nyaris tak bisa dihindari karena setiap hari Media Televisi masih giat menyajikannya. Kita masih terus dihadapkan dengan kenyataan untuk melawan ketakutan diri sendiri dan ketakutan kolektif dunia. Ketenangan Jiwa lewat Refleksi Jiwa semakin menjadi kebutuhan yang primer. Itulah mengapa diujung ramadhan 1441H ini semakin diperlukan upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta sehingga dapat menjalani hidup ditengah kekhawatiran penyebaran Covid19 yang masih menyisakan potensi. Dari kediaman masing-masing mari sambungkan jiwa kepada Sang Pencipta termohon kiranya dapat melalui wabah ini dalam kondisi sehat wal afiat dan selamat.(ANFPP200520)

Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent