Manusia Bermasker

Manusia Bermasker

When written in Chinese, the word crisis is composed of two characters – one represents danger and one represents opportunity”.
(Ketika ditulis dalam bahasa Cina, kata “krisis” terdiri dari dua karakter – satu mewakili bahaya dan satu mewakili peluang.)

John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat ke-35 (1917-1963)

 

Perspektif Kennedy atas krisis yang meminjam filosofi Cina dengan pengucapan wei-ji tersebut dapat dibaca sebagai kebijaksanaan untuk melihat masalah secara lebih komprehensif. Hal tersebut sejalan dengan apa yang ditegaskan oleh Ulmer, Sellnow, dan Seeger dalam Puspitasari (2016:5) bahwa krisis tidak hanya dipahami sebagai suatu peristiwa yang mengerikan, tetapi dapat juga dibaca sebagai peluang atau kesempatan untuk mengenali organisasi lebih baik sekaligus memperbaiki kualitas organisasi, baik dalam kinerja internal maupun dalam pelayanan publik. Lalu apakah Pendemi Covid-19 dapat dikatakan krisis, ya tentu saja dengan tiga karakteristik yang telah dijelaskan Ulmer dan kawan-kawan dalam Puspitasari (2016:22), yaitu: adanya unsur kejutan; ancaman terhadap organisasi; dan waktu respon yang singkat.

Sikap dan tindakan pemerintah Indonesia menghadapi Covid-19 yang dimulai dari penanganan 238 WNI dari Wuhan, Cina, dipindahkan ke Natuna untuk diobservasi mulai 2/2/2020 merupakan kesiapsiagaan Indonesia. Tindak lanjut pengawasan pada 135 pintu masuk ke Indonesia dari luar negeri juga dilakukan, namun akhirnya pada 2/3/2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa ada 2 WNI yang sudah positif Covid-19. Pendemi Covid-19 sebagai krisis yang tidak terelakkan (unintentional crisis) ini pun berujung pada penetapan Keputusan Presiden (Kepres) 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional pada 13/4/2020 lalu. Sekitar 4 bulan pasca dilaporkannya peristiwa Covid-19 ke WHO oleh Pemerintah RRT pada 29 Desember 2019 lalu, dunia mengalami krisis. Lebih dari 213 negara di dunia ini dilaporkan telah terjangkit Covid-19 dan berdampak krisis multidimensi, termasuk negara super power seperti AS, bahkan berada di peringkat pertama dalam hal jumlah pasien positif.

Berbagai permodelan penyebaran Covid-19 dengan masa inkubasi antara 7 s.d 14 hari memang memiliki pola exponetial growth jika tidak diintervensi. Ragam reaksi cepat yang dilakukan oleh negara-negara di dunia memberikan informasi bahwa sampai hari ini belum ada negara yang berhasil menyembuhkan pasien melalui metode vaksinasi. Metode yang diambil masih berupa pencegahan penyebaran melalui protokol kesehatan berupa karantina wilayah (lockdown), pembatasan sosial (social distancing), penggunaan masker, dan pola hidup sehat. Dari ragam pola penyelesaian Covid-19 di berbagai negara dengan pendekatan frame work sektor kesehatan, metode promotif dan preventif adalah intervensi paling tepat saat ini untuk menekan laju penyebaran Covid-19, sebab metode kuratif (tindakan medis) memiliki keterbatasan dalam menghadapi pertambahan pasien baru secara eksponensial tersebut.

 

Bencana & Histeria Covid-19

Namun demikian, pendekatan promotif dan preventif dalam bentuk karantina wilayah dan pembatasan sosial menimbulkan dampak yang luar biasa pada sektor ekonomi, sosial dan budaya secara khusus yang akan berujung pada bencana. Munculnya masyarakat miskin baru, peningkatan angka pengangguran secara signifikan dalam waktu singkat adalah histeria bencana tersebut. Selain itu, berhentinya proses belajar mengajar secara reguler, pelayanan masyarakat, dan terganggunya penyelenggaraan kehidupan sosial masyarakat karena harus #dirumahaja. Hal ini menambah kompleksitas pengelolaan Covid-19. Histeria Covid-19 tersebut dapat dibaca sebagai munculnya rasa tidak aman (insecure) dan ketakutan (fear) karena Covid-19 ini dapat berujung pada kematian dan sampai saat ini belum ada obat yang bersifat efektif dan telah teruji (evidance based).

Kondisi ketidakpastian (uncertainty) yang telah direspon negara secara cepat dan cermat melalui realokasi dan refocusing APBN/ APBD untuk menangani pendemi Covid-19 tentu telah menjadi ancaman dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Ujung dari waktu ketidakpastian ini tidak akan terjawab selama obat atau vaksinnya belum ditemukan, tetapi dapat dibaca kehidupan berbangsa dan bernegara akan masuk ke titik nadir jika kehidupan sektor lainnya sebagai dampak tidak dikelola dengan baik. Pendemi Covid-19 telah mengakibatkan bencana baru pada sektor ekonomi, sosial, dan budaya yang berujung pada lemahnya daya tahan Indonesia sebagai bangsa dan negara.

Per 20 Mei 2020 telah dilaporkan terdapat 19.189 pasien positif, 4.575 pasien sembuh, dan 1.242 pasien meninggal yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Bentuk tampilan grafik juga masih menunjukkan pertambahan pasien baru (belum sampai puncak), meskipun beberapa daerah sudah melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) lebih dari 2 putaran (14 hari kalender per putaran). Bahkan Provinsi DKI Jakarta yang akan masuk hari ke-42 pada 22 Mei 2020 nanti, masih belum menunjukkan angka penurunan secara signifikan, padahal anggaran yang sudah digelontorkan signifikan.

 

Manusia Bermasker

Rencana pemerintah untuk melakukan relaksasi PSBB atau “berdamai dengan corona” yang dimaknai bertindak dengan mengedepankan protokol kesehatan untuk menjadi produktif kembali, merupakan pilihan rasional atas data dan informasi terkait evaluasi PSBB yang telah berlangsung. Bentuk “berdamai” tersebut dimaknai sebagai new normal life (tatanan hidup baru) dengan protokol kesehatan sebagai habitusnya.

Oleh karena itu, fenomena manusia bermasker dengan hand sanitizer dikantongnya akan kembali beredar di titik-titik keramaian. Namun demikian, jika hal tersebut yang menjadi pilihan rasional pemerintah, tentu norma, standar, prioritas, dan kriterianya harus dapat diorganisir secara baik sehingga tidak menimbulkan kekacauan baru pada level operasionalnya. Masyarakat sebagai objek sekaligus subjek yang akan dibentuk habitusnya memasuki new normal life harus juga disadarkan bahwa bahaya selalu mengancam jika tidak disiplin mengikuti protokol kesehatan.

Salah satu teori Pierre Bourdieu terkait habitus mengatakan bahwa habitus sebagai suatu praktik sosial dipengaruhi oleh modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat mengoptimalisasi instrumen tersebut agar dapat membawa masyarakat secara bertahap masuk ke dalam new normal life secara lebih baik, sebab resiko gagalnya berujung pada munculnya kekacauan baru. Apapun keputusan pemerintah, dengan berbagai instrumennya, tentu pilihan rasional tersebut dapat dianggap sebagai peluang untuk meminimalisir dampak dari krisis.

Sebagai masyarakat, saya sangat berharap new normal life ini menjadi momentum bagi Indonesia sebagai bangsa dan negara untuk menjadi lebih mandiri dalam berbagai sektor, mulai dari penguatan industri pangan, kesehatan, dan sektor strategis lainnya. Biarlah krisis pendemik Covid-19 ini menjadi pelajaran bagi kita untuk beradaptasi dan bertransformasi sebagai bangsa dan negara yang lebih siap (well-prepared) atas potensi pendemi-pendemi lainnya, sebab tidak ada jaminan Covid-19 berubah nama menjadi Covid-29 atau Covid-Covid lainnya. Semoga dengan semangat Kebangkitan Nasional yang baru saja kita peringati pada 20 Mei 2020 ini menjadi modal dasar kita sebagai bangsa dan negara untuk bangkit dari keterpurukan akibat Pendemic Global Covid-19 ini.

 

Daftar Pustaka

[1] Puspitasari. 2016. Komunikasi Krisis: Strategi Mengelola dan Memenangkan Citra di Mata Publik. Jakarta: libri.

 

* Edison Guntur Aritonang, Mahasiswa Doktoral Ilmu Kesejahteraan, Program Studi Kesejahteraan Sosial – Universitas Indonesia

 

Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent