PUASA DITINGKAT PARIPURNA

PUASA DITINGKAT PARIPURNA

 

Foto: Andi Naja FP Paraga (Penulis)

oleh : Andi Naja FP Paraga *)

Suatu ketika di Zaman Dinasti Muawiyah berkuasa dan Malik bin Marwan menjadi Khalifah dan Hajjaj Bin Yusuf menjadi Gubernur di Irak dikisahkan bahwa Sang Gubernur membawa Askar dan Juru masak beserta keluarganya berburu ditengah hutan. Hasil buruan yang banyak menginspirasi Sang Gubernur untuk mengajak siapapun yang melewati tempat mereka untuk diajak makan.

Pada saat itu muncullah Seorang Waliyullah persis di sekitar tempat Sang Gubernur beserta rombongannya beristirahat sambil mempersiapkan hidangan yang sudah matang. Maka Salah Seorang Prajurit(Askar) menghentikan Sang Waliyullah dan ditawarkan untuk makan sesuai permintaan Sang Gubernur,tapi Sang Waliyullah menolak hingga akhirnya askar melaporkan kejadian itu kepada Hajjaj Bin Yusuf Sang Gubernur Irak itu.

Sang Askar diminta kembali menahan Waliyullah itu dan dibawa kehadapan Gubernur. Maka terjadilah dialog antara keduanya yang sangat menarik. Hajjaj Bin Yusuf memulai kalimatnya dengan Pertanyaan : Mengapa anda tidak mau diajak makan?. Sang Waliyullah menjawab :” Saya Sedang Berpuasa. Hajjaj Bin Yusuf kemudian berkata ;: Anda sedang diundang makan oleh Seorang Gubernur. Tapi Sang Waliyullah menjawabnya : Saya Sedang memenuhi undangan Dzat yang lebih besar dari Tuan Gubernur. Hajjaj Bin Yusuf menangkap maksud dari kalimat Sang Waliyullah bahwa ia tengah memenuhi undangan Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa.

Dialog antara keduanya masih berlanjut dan Hajjaj Bin Yusuf Gubernur Irak itu berkata : ‘ Berbukalah,hari ini panas sangat terik dan membuat tenggorokan anda kering. Sang Waliyullah menjawabnya :’ Saya justru berpuasa untuk hari yang lebih panas dari hari ini yaitu hari di Padang Mahsyar saat kiamat.

Sang Gubernur Irak itu masih mencoba mengajak Sang Waliyullah untuk turut makan bersamanya dan memang tidak pernah ada seseorang yang menolak undangannya selama ia menjadi Gubernur siapapun mereka. Hajjaj Bin Yusuf melanjutkan penawarannya dengan berkata : ‘ berbukalah,bukankah besok masih ada hari lain untuk mengganti puasa anda yang dibatalkan hari ini.

Namun Waliyullah itu bertanya : Duhai Hajjaj Bin Yusuf,apakah engkau bisa menjamin esok aku dan dirimu masih hidup?. Hajjaj Bin Yusuf menjawab : tentu tidak . Sang Walyullah kemudian berkata : lalu mengapa engkau berani menukar kepastian hari ini dengan ketidakpastian hari esok. Sang Gubernur kemudian terdiam lalu mempetsilahkan Sang Waliyullah melanjutkan perjalanan.

Dalam Kajian-kajian kami puasa yang demikian adalah makna rohani dari kata Imanan wahtisaban yaitu puasa yang didasari iman dangan pengetahuan yang sempurna. Orang yang sudah memiliki argumentasi spritual tentang mengapa ia berpuasa adalah orang yang telah berhasil menghayatkan puasa itu dalam prinsip hidupnya. Inilah yang disebut Puasa Paripurna dimana orientasi puasanya dan semua ibadahnya tidak bisa dirubah hanya dengan memenuhi ajakan orang terhormat didunia.

Kisah ini saya dedikasikan menjadi Leaving Legacy buat siapapun di Ramadhan 1441 H Tahun 2020 M. Semoga menjadi Amal Jariyah sekiranya yang membacanya berkenan menghayatinya. Semoga kita termasuk orang-orang yang menghargai ibadah puasa kita dan tidak ingin menukarnya dengan hal apapun didunia ini.

Al Faqir
Andi Naja FP Paraga

Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent