TERORISME DAN RADIKALISME MASIH MENGGELIAT DI TENGAH COVID-19
Foto: Ilustrasi, sumber foto: Ist
Oleh : Sari Wulandari Anriani
Keberadaan kelompok teror, radikal dan intoleran seperti kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora ternyata masih eksis terutama di Poso, Sulawesi Tengah, bahkan mereka sering terlibat baku tembak dengan aparat kepolisian, setelah kelompok ini menyerang anggota polisi yang tengah berjaga di sebuah pos dekat bank di Kota Poso, belum lama ini.
Berdasarkan hasil pendalaman Polda Sulteng, Kombes Didik Supranoto, Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah mengatakan, kedua pelaku penembakan telah berhasil dilumpuhkan sampai tewas karena melawan pihak kepolisian saat hendak ditangkap atas nama Muis Fahron alias Abdullah dan Ali alias Darwin Gobel. Satuan Tugas Tinombala terus melakukan pengejaran terhadap 15 orang DPO (Daftar Pencarian Orang,red) anggota kelompok MIT pasca penyerangan terhadap aparat kepolisian di Poso. Bagaimanapun juga, keberadaan Satgas Tinombala di Sulawesi Tengah akan dipertanyakan efektivitasnya jika permasalahan keberadaan kelompok teroris belum mampu dibasmi oleh mereka, walaupun Satgas juga diyakini telah berusaha semaksimal mungkin.
Bagaimanapun juga, anggota kelompok teroris menganggap Ramadan merupakan bulan yang tepat dalam melaksanakanaksi teror. Sasaran yang menjadi target utama oleh kelompok tersebut adalah aparat kemanan yang dinilai berada di garda terdepan dalam menghalangi tujuan mereka dalam menebar teror.
Menurut Kapolres Poso AKBP Darmo, Ali alias Darwin Gobel dan Muis Fahron alias Abdullah menyerang polisi untuk merebut senjata. Dalam melakukan serangan, kelompok teroris ini juga membawa senjata api dan bom rakitan, namun gagal meledak.
Pasca penangkapan pelaku terror terhadap anggota POLRI di Poso, Sulawesi Tengah, beredar video di sosial media terkait pernyataan seorang yang mengaku sebagai Mujahidin Poso kelompok Daulatul Islam di sebuah hutan dengan latar belakang bendera ISIS. Dalam video tersebut, Mujahidin Poso mengajak para jihadis di Indonesia untuk terus melakukan jihad melawan musuh Allah. Selain itu, oknum tersebut juga menyatakan bahwa tahapan perjuangan jihadis akan mencapai titik puncak, dimana Indonesia akan terjatuh dengan adanya wabah virus corona serta mengancam akan membunuh para Banpol (bantuan polisi) yang berada di Poso.
Sementara itu, video pengancaman oleh Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora berdurasi 1 menit 39 detik beredar. Dalam video itu, Ali Kalora yang mengenakan kaos lengan pendek dan menggunakan tas slempang kecil dan menenteng senjata Laras panjang. Di bagian akhir video tersebut, Ali Kalora bersama kelompoknya memperagakan aksi sadis dengan menggorok leher warga yang diculik di kebunnya. Warga yang kesehariannya itu sebagai petani, dianggap sebagai Banpol oleh kelompok pimpinan Ali Kalora. Aksi itu juga untuk memperlihatkan kepada publik mengenai tekad Ali Kalora bersama kelompoknya akan menghabisi para Banpol dan seluruh pihak yang disebut oleh kelompok Ali Kalora adalah para Thagut.
Teror dan radikal terus bergerak
Peristiwa penyerangan terhadap polisi di Poso menjadi bukti bahwa paham radikal dan teror masih terus bergerak meskipun dalam masa pandemi Covid-19. Pemerintah dan masyarakat tidak boleh lengah dan terus bersinergi guna membendung ideologi terlarang tersebut. Masalah terorisme merupakan sentral dari gerakan jaringan kelompok teroris di Indonesia. Hampir semua gerakan yang diduga teroris saat ini merupakan jaringan pendukung MIT. Beragam aksi terorisme yang terjadi di sejumlah negara tak terkecuali Indonesia, didasari atas suburnya pemikiran radikal dalam diri individu. Dimana pemikiran ini adalah hasil dari berbagai hal, mulai dari kajian radikal, atau konten yang mengarah pada sikap anti demokrasi di Indonesia. Tentu saja untuk menanggulangi radikalisme, pemerintah memerlukan upaya yang sistematis, terstruktur dan masif dalam menghadapi radikalisme. Tidak bisa jika hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang sporadis.
Menurut Stanuslaus Riyanta, pengamat intelijen dan terorisme lulusan UI ini mengatakan bahwa teroris Poso dalam video viral adalah Ali Ahmad alias Ali Kalora, pimpinan MIT, yang merupakan pengganti Santoso yang tewas tertembak satgas Timnombala. Video tersebut muncul sebagai respons MIT atas peristiwa penembakan terhadap dua anggota teroris oleh polisi di jalan lingkar wilayah Kayamaya, Poso, Sulawesi Tengah.
“Kelompok teroris tersebut tengah menaikan tensinya sebagai bentuk mencari pahala di bulan Ramadan. Mereka juga bisa melakukan aksi perampokan atau perampasan dari pihak yang mereka anggap sebagai musuh. Cara ini menurut mereka halal. Bahkan, membunuh orang yang mereka anggap musuh dengan cara-cara keji juga halal bagi mereka. Aksi mereka sangat mirip dengan yang dilakukan ISIS,” ujarnya.
Situasi pandemi Covid-19 di Indonesia telah dimanfaatkan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Sulawesi Tengah. Kelompok yang dipimpin Ali Kalora itu sempat menembak polisi dan memenggal kepala warga kampung di Poso. Ali Kalora adalah pengganti Santoso yang telah tewas.
Saat ini yang bersangkutan adalah amir atau pimpinan MIT yang berbaiat ke ISIS. Ridlwan menjelaskan, dalam pemakaman dua DPO kelompok teroris pekan lalu di Poso, juga dihadiri puluhan simpatisan. kelompok Ali Kalora kini berjumlah belasan orang yang bersembunyi di pegunungan Poso. Mereka bertahan hidup dengan mencuri di ladang sekitar hutan. Saat ini keberadaan kelompok teroris tersebut diyakini masih memiliki beberapa pucuk senjata yang dipergunakan untuk membuat kekacauan.
Menurut Zuhairi Misrawi yang juga cendekiawan NU, dalam perkembangannya radikalisme Indonesia mempunyai gerakan bawah tanah melalui media sosial. Kelompok radikal itu memiliki kurang lebih 300 akun media sosial. Sedangkan kelompok moderat masih lambat geraknya dibandingkan mereka. Ada lima hipotesa radikalisme siber.
Pertama, internet merupakan medan baru yang mungkin dapat dijadikan instrumen bagi kaum radikalis.
Kedua, internet dapat dijadikan ruang menuangkan ide oleh mereka.
Ketiga, internet memudahkan penyebaran ideologi kelompok radikal.
Keempat, internet memungkinkan menyebarkan radikalisme tanpa melalui perjumpaan fisik.
Kelima, internet memungkinkan seseorang menyebarkan radikalisme secara mandiri (self-radicalism). Pemerintah harus melakukan penegakan hukum dan radikalisasi Pancasila terhadap seluruh lapisan masyarakat Indonesia seperti yang telah digagas oleh Kuntowijoyo.
*) Penulis adalah pemerhati Indonesia.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.