BENAHI RUU CIPTAKER, DUKUNGAN AKAN MELUAS
Foto: Ilustrasi, sumber foto: Suaradewata.com
Oleh : Bayu Kusuma
Pembahasan RUU Omnibus Law Ciptaker di DPR RI masih menuai pro dan kontra, dan setelah pertemuan Presiden dengan tiga utusan buruh akhirnya disepakati ditundanya pembahasan klaster ketenagakerjaan dari pembahasan RUU Ciptaker, walaupun hal ini tampaknya belum memenuhi aspirasi buruh. Nilai penting pertemuan Presiden dengan tiga utusan buruh berhasil “meredam” aksi unjuk rasa buruh memperingati Mayday pada 1 Mei yang lalu.
Menurut informasi yang diterima penulis, sampai Mei 2020 belum ada agenda rapat di DPR RI yang membahas Omnibus Law.Sejatinya potensi RUU ini diterima kalangan masyarakat cukup besar, karena semakin banyak yang memahami pentingnya RUU ini, namun tentunya setelah RUU ini “turun mesin” untuk dibenahi terlebih dahulu.
Perlu dibenahi
Jika RUU Ciptaker ingin mendapatkan dukungan yang meluas dari masyarakat dan nantinamya keberadaannya tidak merugikan semuanya, maka tidak ada salahnya jika pemerintah dan DPR RI mendengarkan aspirasi yang dikemukakan sejumlah kalangan antara lain :
Pertama, membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya, agar tidak terealisasikan pernyataan Asfinawati dari YLBHI dan Fraksi Rakyat Indonesia bahwa nihilnya partisipasi publik dalam pembahasan membuat kualitas demokrasi berkurang.
Kedua, Baleg DPR RI harus siap membahas RUU ini dengan memberikan salinan draf RUU Omnibus Cipta Kerja ke beberapa fraksi, agar dipelajari masing-masing fraksi (namun nampaknya hal ini sudah dilakukan oleh Baleg DPR RI).
Ketiga, DPR RI melalui Baleg harus mampu menyakinkan publik bahwa RUU Cipta Kerja dengan sitem omnibus Law ini selain akan meningkatkan investasi juga dapat memberikan perlindungan terhadap para pekerja, termasuk adanya desentralisasi kekuasaan dan aspek turunannya yang lain. Baleg juga harus menjelaskan ke publik bahwa RUU Ciptaker tidak cacat secara hukum, karena sudah mengindahkan aturan tentang pembentukan UU, sesuai amanat UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, junto UU Nomor 15/2019.
Keempat, DPR RI perlu meminta semua pihak untuk tidak menjadikan omnibus Law RUU Cipta Kerja sebagai komoditas politik, karena regulasi baru itu perekonomian negara bisa maju, hadirnya omnibus Law RUU Cipta Kerja bisa menjadi angin segar bagi pemulihan ekonomi.
Kelima, harus diyakinkan ke publik bahwa melalui RUU Ciptaker maka pemerintah bisa membuat langkah konkret dan terobosan guna memberikan insentif yang jelas terkait pemulihan ekonomi, dan RUU ini mampu sebagai payung hukum yang tepat untuk bisa mendongkrak perekonomian nasional yang saat ini menghadapi ancaman serius yaitu lebih dari 3 juta orang ter-PHK karena Covid-19.
Keenam, RUU Cipta Kerja harus didesimenasikan sebagai langkah yang sesuai dengan kebutuhan rakyat dan keperluan rakyat, termasuk untuk memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang menuju arah memburuk.
Ketujuh, DPR dan pemerintah juga harus mampu menjawab “tudingan” Partai Demokrat, PKS dan sejumlah pengamat atau akademisi bahwa pembahasan di tengah pandemi Covid-19 sama dengan kurang menghargai keselamatan nyawa masyarakat. Pemerintah dan DPR harus menjelaskan bahwa penanganan Covid-19 dan efeknya harus disiapkan karena memerlukan waktu yang lama, sebab Jerman saja yang merupakan negara maju membutuhkan 8 tahun untuk recovery ekonomi akibat Covid-19, itupun dengan regulasi yang sudah tertata rapi, sehingga pengkritik RUU Ciptaker ini harus menyadari bahwa masih banyak tumpang tindih regulasi di Indonesia, dan RUU Ciptaker inilah “guntingnya”.
Kedelapan, mungkin sebaiknya ada perubahan nama RUU, dari RUU Cipta Kerja menjadi RUU Kemudahan Berinvestasi dan Debirokratisasi Perizinan, dan klaster ketenagakerjaan dibahas terpisah, agar Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja fokus membahas kemudahan berinvestasi dan perizinan berusaha di Indonesia.
Kesembilan, RUU Ciptaker akan dapat memperkuat pers sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pers juga akan semakin eksis sebagai kontrol sosial dan pemerintahan.
Kesepuluh, dalam melihat kontroversi RUU Ciptaker ini harus dengan pikiran terbuka. Berbagai kelompok diharapkan bisa memberikan dukungan pada semangat dan aspek positif RUU, dan mengoreksi yang dianggap keliru. Dalam pembahasan RUU, DPR harus memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang kontra untuk menyampaikan pandangan di parleman. Jika hanya klaster ketenagakerjaan yang ditunda, kata dia, klaster lainnya seperti penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, kemudahan dan perlindungan UMKM, serta kemudahan berusaha harusnya bisa tetap dilanjutkan. Demikian juga dengan kluster dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek strategis nasional, dan kawasan ekonomi.
Kesebelas, semestinya memacu semua pihak untuk membahas Omnibus Law termasuk kluster ketenagakerjaan secara lebih intensif mengingat pasca-pandemi diperlukan penciptaan lapangan kerja masif untuk menyerap korban PHK maupun tenaga kerja baru. Tanpa kluster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja akan menyebabkan semakin kecil peluang untuk menarik investasi padat karya yang masih sangat diperlukan Indonesia, mengingat kualitas SDM yang ada dan tingkat pengangguran terbuka yang masih tinggi tinggi yaitu 7 juta orang, belum termasuk setengah pengangguran yang bekerja hanya beberapa jam seminggu. Pembahasan RUU Cipta Kerja tanpa kluster ketenagakerjaan hanya akan menarik industri padat modal yang tidak banyak menyerap tenaga kerja sebagaimana terlihat dari data BKPM, di mana investasi naik namun penciptaan tenaga kerja justru turun dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa investasi yang masuk mayoritas industri padat modal yang memerlukan pekerja dengan tingkat keahlian yang tinggi, sehingga pencari kerja dengan tingkat keahlian rendah yang masih merupakan mayoritas pencari kerja akan sulit mendapatkan pekerjaan.
Pembahasan RUU Cipta Kerja tanpa kluster ketenagakerjaan tidak bisa memenuhi kebutuhan jenis jenis pekerjaan di masa depan yang memerlukan fleksibiltas waktu kerja berbasis mingguan, harian bahkan per-jam yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya permanent part-timer dimana seorang pekerja bekerja di lebih dari satu badan usaha di waktu yang sama sebagaimana terjadi di era Industri 4.0.
*) Penulis adalah aktifis dan pemerhati ekonomi nasional.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.