Dampak Kematian Abu Bakar al-Baghdadi terhadap Ancaman Terorisme di Indonesia
Sejumlah media Amerika Serikat mengabarkan bahwa pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi tewas bersama dengan dua istri ketika pasukan khusus AS melakukan penyerbuan. Operasi penyerbuan pada Sabtu (26/10/2019), tersebut diperintahkan langsung oleh Presiden Donald Trump dengan menyasar kawasan utara Suriah.
Abu Bakar al-Baghdadi dikabarkan tewas dengan meledakkan rompi bom bunuh diri setelah terdesak dan tidak punya kesempatan untuk kabur. Meskipun demikian bukti-bukti yang kuat masih diperlukan untuk meyakini bahwa Abu Bakar al-Baghdadi benar-benar tewas. Tercatat sudah beberapa kali Abu Bakar al-Baghdadi dikabarkan tewas tanpa disertai dengan bukti yang kuat dan konfirmasi dari orang dekat atau keluarganya.
Sebagai tokoh sentral dalam kelompok ISIS, kematian Abu Bakar al-Baghdadi tentu akan membawa beberapa implikasi. Paling utama adalah ISIS akan kehilangan tokoh sentralnya sehingga, jika kaderisasi belum siap, akan memerlukan waktu tertentu untuk konsilidasi memilih pemimpin baru. Namun tewasnya Abu Bakar al-Baghdadi tidak serta merta akan menghapus terorisme, karena terorisme lebih kuat pada persoalan paham radikal bukan pada persoalan tokoh pemimpin.
Tewasnya Abu Bakar al-Baghdadi bisa menjadi momentum bagi kelompok lain untuk eksis. Salah satu kelompok yang dimungkinkan untuk eksis di Suriah adalah Jabhat al-Nusra, atau lebih dikenal dengan nama Front Nusra.
Jabhat al-Nusra merupakan salah satu faksi yang memberontak dari pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah. Jabhat al-Nusra yang dibentuk sejak 23 Januari 2012 adalah salah satu pemberontak kuat dalam Perang Sipil Suriah yang telah diakui secara resmi sebagai afiliasi al-Qaeda di Suriah dan Libanon.
Kelompok Jabath al-Nusra berbaiat setia kepada pemimpin Al-Qaidah, Ayman al-Zawahri. Jabhat al-Nusra diketahui sudah masuk dalam daftar organisasi teroris yang ditetapkan oleh PBB dan sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Rusia.
Bukan hal yang mustahil jika anggota ISIS yang telah kehilangan Abu Bakar al-Baghdadi akan bergabung dengan Jabhat al-Nusra, meskipun diketahui Jabhat al-Nusra bersebrangan dengan ISIS. Berpindah kelompok sangat dimungkinkan jika antar kelompok tersebut mempunyai lawan atau tujuan yang sama.
Indonesia termasuk salah satu negara yang sebagian warganya bergabung dengan ISIS di Suriah. BNPT menyatakan ada 1321 WNI yang berusaha bergabung dengan ISIS di Suriah, 594 orang sudah di Suriah dan Irak, 84 di antaranya tewas. 482 orang dideportasi saat akan masuk, 62 orang kembali dari Suriah ke Indonesia, dan 63 orang gagal berangkat.
Data lainnya dari The Soufan Center yang mengatakan pada 2017 ada sekitar 600 WNI bergabung dengan Suriah, 113 diantaranya wanita, 100 anak-anak dan sisanya pria dewasa. Data ini juga mengatakan ada 50 orang kembali ke Indonesia dan 384 sisanya bertahan.
Jumlah tersebut di atas tentu bukan sedikit, terutama jika dihitung sebagai potensi ancaman terorisme di Indonesia. Terdesaknya ISIS terutama dengan tewasnya Abu Bakar al-Baghdadi akan membuat para kombatan dan simpatisan ISIS tercerai berai, mencari daerah lain untuk membangun kekuatan baru (kemungkinan ke Afganistan) atau kembali untuk melakukan aksi di daerah asalnya masing-masing. Jika kemungkinan terakhir ini yang terjadi maka akan menjadi sinyal bagi Indonesia untuk lebih waspada terhadap ancaman terorisme.
Potensi Bangkitnya Al-Qaeda di Indonesia
Peneliti Terorisme Bruce Hoffman, menyebutkan terdapat 3.000 orang anggota Al Qaeda di Indonesia dengan organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyyah (JI). Selama ISIS eksis di Timur Tengah dan di Indonesia, kelompok JI cenderung menjadi sel tidur.
Namun akhir-akhir ini terutama pasca terdesaknya ISIS di Timur Tengah, JI kembali menggeliat. Saat ini JI diketahui melakukan konsilidasi organisasi bahkan hingga mempunyai unit bisnis seperti perkebunan kelapa sawit untuk menghidupi organisasinya.
Menggeliatnya JI pada diketahui juga dengan tertangkapnya anggota JI di Gresik pada Mei 2019. Selain itu juga terjadi penangkapan tokoh penting JI di Indonesia yang sudah buron sejak 2003, Para Wijayanto yang merupakan aktor penting dalam aksi-aksi teror di Indonesia seperti Bom Bali.
Penangkapan Para Wijayanto juga disertai dengan penangkapan beberapa anggota JI lainnya, yang ternyata sudah membangun kembali organisasi JI dengan cukup solid disertai unit bisnis. Keberadaan JI, yang mempunyai tujuan untuk membentuk kekhalifahan di Indonesia, masih cukup kuat. JI mampu berkonsilidasi dengan memanfaatkan momentum di saat pemerintah sedang menangani eksistensi kelompok ISIS.
Momentum Bagi Pemerintah
Kematian Abu Bakar al-Baghdadi sekaligus terpuruknya ISIS di Timur Tengah akan mendorong gerakan-gerakan lain seperti arus balik ISIS ke Indonesia dan munculnya kelompok JI yang berafiliasi dengan Al Qaeda. Gerakan-gerakan ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk memberantas terorisme.
Gerakan dari kelompok radikal pasca kematian Abu Bakar al-Baghdadi tersebut akan menunjukkan pola atau arah tertentu yang bisa dideteksi dan dicegah sejak dini. Saatnya melakukan program pemberantasan terorisme lebih kuat dengan melibatkan komponen negara dan masyarakat lebih maksimal.
Jika momentum ini tidak dimanfaatkan oleh pemerintah maka bisa direbut oleh kelompok radikal yang berafiliasi dengan gerakan teroris trans nasional. Aksi oleh kombatan ISIS hasil arus balik dari Suriah yang didukung oleh simpatisannya di Indonesia yang tergabung di JAD tentu tidak bisa disepelekan. Apalagi jika konsilidasi kelompok Al-Jamaah Al-Islamiyyah berhasil dilakukan dan beraksi kembali. Pasca kemarian Abu Bakar al-Baghdadi ancaman terorisme di Indonesia justru lebih serius.
*) Stanislaus Riyanta, analis intelijen dan terorisme
catatan : Tulisan ini secara parsial telah dikutip pertama kali oleh tribunnews.com dan versi utuh dimuat di jurnalintelijen.net