Pengawasan Media Sosial di Perguruan Tinggi Oleh : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Jakarta-JI. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menghimbau perguruan tinggi untuk melakukan pemantauan media sosial terhadap civitas akademikanya untuk mencegah penyebarluasan ekstrimisme, intoleransi, dan ideologi anti-Pancasila di lingkungan kampus. Sementara sebagian sivitas akademika menyambut baik imbauan ini (Kompas, 29/07/2019), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai langkah ini dapat mendorong munculnya kebijakan pengintaian sosial media (social media intelligence/SOCMINT) yang intrusif terhadap hak atas privasi. Langkah ini juga berpotensi melanggar kebebasan akademis dan membatasi diskursus akademik akibat semakin sempitnya ruang bagi individu untuk mengutarakan pandangan pribadinya di dunia maya.
Di era digital, media sosial telah menjadi instrumen sosial yang penting untuk memperkuat penikmatan hak atas privasi dalam masyarakat yang demokratis. Hak atas privasi di dunia maya telah menjadi perhatian utama Perserikatan Bangsa-Bangsa, terutama sejak diadopsinya Resolusi 68/167 oleh Majelis Umum PBB tahun 2013. Resolusi ini mendorong agar negara menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas privasi di dunia maya. Bersamaan dengan resolusi ini pula, PBB mendesak negara untuk menghentikan segala tindakan yang berpotensi membatasi akses individual untuk menikmati hak-hak privatnya di internet. Hal ini juga termasuk hak individu untuk memanfaatkan media sosial sebagai media untuk mengutarakan, membagikan, dan menyebarluaskan opini pribadinya di internet.
Kebijakan pengintaian media sosial untuk mencegah ekstremisme secara praktik diterapkan oleh Amerika Serikat sejak masa pemerintahan Donald Trump, khususnya dalam proses pengajuan visa masuk ke negara tersebut. Dalam respon yang diajukan kepada US Department of State, Privacy International (2018) menegaskan bahaya yang muncul akibat praktik SOCMINT terhadap individu antara lain kriminalisasi dan eksploitasi data pribadi yang bukan hanya milik pemilik akun media sosial itu, namun seluruh orang yang terhubung dengannya di dunia maya. Praktik semacam ini juga telah dilakukan di sejumlah negara seperti Inggris, Thailand, dan Saudi Arabia, yang berujung pada kriminalisasi dan pelanggaran terhadap kerahasiaan data pribadi secara besar-besaran. Sementara itu, tidak ada studi yang pernah membuktikan bahwa pemantauan media sosial berkontribusi dalam mencegah penyebarluasan ekstremisme dan intoleransi.
Melalui Joint Declaration on Freedom of Expression and Countering Violent Extremism sejak 1999, PBB menekankan agar negara-negara di dunia mendorong terciptanya dunia akademik yang pluralis, mendukung pemahaman yang interkultural di lingkungan kampus, dan mendorong kelompok-kelompok marjinal di perguruan tinggi untuk menyuarakan pendapat pribadinya. Jaminan perlindungan terhadap hak atas privasi telah lama dipahami sebagai aspek yang esensial dalam mendukung penikmatan atas kebebasan individual dan menjadi sarana bagi kelompok marjinal untuk mengembangkan gagasan, dirinya, dan identitas kelompoknya.
Frank La Rue menulis dalam laporannya sebagai Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi pada 2013 bahwa: “Hak atas privasi harus dipahami sebagai persyaratan yang esensial untuk mewujudkan hak atas kebebasan berekspresi. Campur tangan yang tak semestinya terhadap privasi individu dapat baik secara langsung maupun tidak langsung membatasi pengembangan dan pertukaran gagasan”.
Perlu diketahui bahwa Indonesia berada di urutan keempat di mana rata-rata penduduknya menghabiskan waktu hingga tiga jam untuk menggunakan media sosial (Global Digital 2019 Reports). Pemanfaatan internet yang semakin penetratif juga diiringi dengan semakin meningkatnya lalu lintas data, salah satunya yang dihasilkan dari berbagai aktivitas yang dilakukan seseorang di media sosial termasuk data pribadi pengguna mulai dari alamat, orientasi seksual, hingga hubungan kekeluargaan. Oleh karena itu, eksploitasi data pribadi merupakan tindakan yang dilarang keras oleh hukum HAM internasional sehingga negara-negara di dunia didorong untuk memiliki regulasi perlindungan data pribadi yang komprehensif.
Berdasarkan hal tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menekankan : Pemerintah, terutama Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, maupun institusi terkait lainnya, untuk meninjau ulang rencana atau seruan pemantauan media sosial, terhadap akun-akun media sosial di lingkungan akademik. Langkah pemantauan ini selain potensial berakibat pada terjadinya eksploitasi privasi data para pengguna dan jejaring interaksinya, juga dapat berakibat pada munculnya chilling effect (efek jeri), yang dapat mengganggu penikmatan kebebasan berpendapat/berekspresi, sekaligus kebebasan akademik.
Pemerintah dan DPR perlu melakukan pembaruan hukum dan kebijakan untuk merespon massifnya pemanfaatan media sosial, dengan memastikan prinsip-prinsip hak asasi manusia, terutama dalam konteks pembatasan. Selain itu, untuk mencegah terjadinya eksploitasi data pribadi, penting untuk menyegerakan proses pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi.
Dalam merespon massifnya penyebaran, agitasi, dan propaganda ekstremisme berbasis kekerasan, terutama yang menggunakan platform media sosial, maupun teknologi berbasis internet lainnya, penting bagi pemerintah untuk segera membentuk hukum dan kebijakan, yang dapat digunakan secara tepat dalam mengantisipasi dan menanggulangi situasi itu. Sekali lagi, pendekatan berbasis HAM harus menjadi sandaran dalam formulasinya, untuk memastikan jaminan perlindungan kebebasan berekspresi dan hak atas privasi (Red)