Prabowo Sadar Hanya Jadi Kuda Tunggangan Oleh : Panjath H

Prabowo Sadar Hanya Jadi Kuda Tunggangan Oleh : Panjath H

Panas (politik) selama bertahun-tahun menjadi adem hanya karena hujan sehari. Pas sekali perumpamaan ini untuk bangsa dan negara kita yang selama tahun politik begitu panas membara. Dan suasana panas itu tiba-tiba menjadi adem setelah pertemuan antara Jokowi dengan Prabowo, Jumat 12 Juli 2019 yang baru lalu.
Kita sadar, tidak semua pihak merasakan kedamaian dan kesejukan itu, masih ada yang justru semakin panas membara. Siapakah mereka? Itulah musuh bangsa Indonesia yang sebenarnya. Mereka tidak cinta NKRI yang aman damai dan bersatu dalam rajutan Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD 1945. Mereka itu hanya ingin merusak persatuan dan kesatuan negeri ini dengan agenda yang hanya menguntungkan golongan mereka.
Sebenarnya jauh-jauh hari sudah tampak dengan gamblang perilaku mereka yang munafik dan menghalalkan segala cara. Mereka membonceng agama untuk mengegolkan tujuan mereka. Mereka memutar balik ayat-ayat dan ajaran agama yang luhur itu demi kepentingan mereka. Sungguh disayangkan jika banyak umat atau pemuka agama yang terkecoh dan memihak kawanan ini.
Ketika mereka menampilkan sosok Prabowo sebagai capres hasil ijtimak ulama, publik mestinya segera kritis, misalnya dengan menelisik latar belakang capres yang mereka usung itu dari kaca mata agama. Apalagi semenjak saat itu ramai ulasan di medsos tentang latar belakang keluarga dan keberagamaan Prabowo yang “tidak sesuai” dengan label “ijtimak ulama”. Kalau mengikuti label itu, mestinya sosok capres mereka harus punya track record yang kuat sebagai pribadi yang taat beragama (Islam). Idealnya sih seorang pemuka agama (ustadz) kondang yang jumlahnya banyak di kalangan mereka. Sebut saja Habieb Rizieq, Aa Gym, Amien Rais, Ahmad Heryawan, Ustadz Abdul Somad, dll. Nama-nama inilah yang sebenarnya sangat relevan diusung sesuai tema “ijtimak ulama”, bukan Prabowo.
Publik pun bisa paham bahwa hanya popularitas mantan Pangkostrad itu yang dapat mengimbangi Jokowi. Di lain sisi, Prabowo yang sangat membutuhkan dukungan dari siapa pun untuk meraih ambisi, tidak lagi mempersoalkan stigma sebagai kelompok intoleran, anti-NKRI yang melekat pada pihak-pihak yang mengusungnya itu. Sebaliknya mereka tidak peduli siapa Prabowo, sebab kepentingan mereka adalah menjadikan doi sebagai “tunggangan”.
Ketika keberagamaan Prabowo ramai disoal, beredar pula status di medsos yang mengajak untuk “tidak mempersoalkan keislaman Prabowo, sebab hanya dialah peluang terakhir mereka untuk meraih kuasa”. Sampai di sini sudah jelas apa motivasi kaum ini membela, menyanjung, dan mengelu-elukan Prabowo.
Ketika hasil pilpres sudah mulai terlihat dari paparan quick count dan secara konsisten memenangkan Jokowi – Ma’ruf, kelompok fanatik pendukung doi ini sangat gigih melakukan berbagai manuver untuk mengelabui masyarakat termasuk dengan terus-menerus menuduh pihak lain “curang”. Sambil terus mengumumkan hitungan versi mereka sebagai pemenang, mereka juga kerap demo sujud syukur atau konferensi. Dalam setiap acara klaim kemenangan itu, penampakan muka-muka intoleran dan anti-NKRI sangat nyata di sekitar Prabowo. Dari sini sudah jelas siapa oknum di balik klaim-klaim kemenangan yang tidak pernah dapat dibuktikan oleh mereka itu, termasuk di sidang MK.
Sadar bahwa ini “kesempatan terakhir merebut kuasa” mereka terus melakukan apa pun, termasuk dengan setia “mengawal” sidang-sidang MK. Yang ada di benak mereka hanya “menang”, dan kalau kalah berarti dicurangi. Pasca-putusan MK, mereka tetap gagah melakukan demo untuk menuntut keadilan ditegakkan. Keadilan versi mereka tentu saja. Aksi mereka tidak surut ketika semakin banyak kawan mereka, termasuk Prabowo – Sandi sudah mengisyaratkan menerima fakta bahwa mereka memang kalah dalam pilpres. Dalam orasi-orasi mereka lantang meneriakkan menolak rekonsiliasi. Emak-emak militan yang kecewa itu menyesal dan mengungkapkan bahwa selama ini dia ternyata membela ayam sayur. Siapa yang dia maksud dengan “ayam sayur” itu, jelaslah Prabowo. Sebab mereka tidak ingin melihat Prabowo mundur dan berdamai dengan kenyataan. Bahkan mungkin saja simpatisan militan termasuk emak-emak tersebut ingin negeri ini chaos, kacau, dan perang saudara. Sebab dengan kondisi negara yang sedang chaos, mereka bisa masuk. Kalau di masyarakat yang damai kelompok ini tidak punya tempat.
Lihat saja di berbagai negara, Suriah, Irak, dll., bahkan sempat meledak di Filipina selatan, kerusuhan dan kekacauanlah yang mereka timbulkan. Masyarakat baru sadar dan menyesal ketika kota yang dulu indah dan rapi sudah hancur, ribuan warga mengungsi. Butuh waktu dan biaya yang sangat besar untuk kemball menata kehidupan seperti dahulu.
Seperti itulah yang akan menimpa sebuah peradaban jika masyarakatnya mendukung kelompok-kelompok ekstrem intoleran yang membawa-bawa agama. Kita bersyukur kelompok yang di Pilpres 2019 ini menunggangi Prabowo, gagal menjalankan misinya. Setelah pembangkangan yang mereka perlihatkan, Prabowo pun mestinya paham bahwa mereka tidak mencintai dan mendambakannya sebagai pemimpin, sebab hanya memanfaatkan doi untuk meraih kuasa. Maka jangan pernah lagi jatuh ke lubang yang sama. Lebih baik kita bersama melawan dan mengucilkan kawanan intoleran yang hanya duri dalam NKRI kita ini.
*) Pemerhati Indonesia

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent