Mutiara yang hilang dalam Pemilu 2019
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.
Ir. Soekarno, Presiden RI Pertama
Bung Karno sebagai salah satu tokoh visioner yang pernah lahir di Nusantara ini, melihat pentingnya modal sosial dalam mengisi kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa dan negara. Modal ekonomi saja tidak akan mampu menjawab keterbatasan Indonesia saat itu untuk menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Landasan modal sosial berupa kepercayaan (trust) dan kerjasama telah mengantarkan kita pada kondisi saat ini, sebagai bangsa dan negara yang berdaulat. Meskipun di sana sini masih terdapat kekurangan dalam mengisi kemerdekaan tersebut melalui pembangunan nasional, tetapi Indonesia sebagai bangsa dan negara yang berdaulat masih tetap berideologikan Pancasila. Ideologi yang kita percayai dan secara dominan anak bangsa bahu-membahu untuk menjaga dan mewariskan ideologi tersebut kepada generasi berikutnya.
Konsensus para pendiri bangsa ini sudah final, Pancasila sebagai dasar negara, sebagai tuntunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui nilai-nilai universalnya. Arah dan tujuan negara juga sudah dipertegas melalui Pembukaan UUD 1945, khususnya Alinea ke-4. Selanjutnya, Tobing (2018:198) mengatakan bahwa Bung Karno pernah menyimpulkan Pancasila, yang terdiri dari lima sila, apabila diperas menjadi satu sila, sila tersebut adalah gotong royong atau kerja sama di Tanah Air. Kristalisasi Pancasila sebagai buah pikir, tidak lepas dari konteks pembuangan Bung Karno di beberapa wilayah Nusantara ini. Bak seorang Antropolog, Bung Karno mengambil pengetahuan tersebut dari bawah (from below) sehingga seperti yang beliau katakan bahwa dia tidak menciptakan Pancasila, hanya merumuskan kembali nilai-nilai yang berlangsung pada masyarakat Nusantara ini. Bung Karno sadar betul atas peran dan fungsi modal sosial untuk merebut dan mengisi kemerdekaan sehingga kata “gotong royong” menjadi kunci yang harus ditransformasi pada level kelembagaan dan operasionalisasi pemerintahan.
Potret Modal Sosial dalam Pemilu 2019
Menjelang pelaksanaan Pemilu 2019, khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) lalu hingga pasca pengumuman putusan MK terkait hasil Pilpres 2019, seolah-olah modal sosial tersebut tercabik oleh kepentingan elektoral Pilpres 2019. Ragam hoax dan narasi pertentangan yang tersampaikan ke masyarakat, ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi saat ini, membuat fluktuasi modal sosial tersebut berada di daerah rawan (area bifurkasi). Objek yang berada pada area bifurkasi dalam teori katastrofe memiliki potensi terjadinya perubahan tiba-tiba yang tidak terkendali atau chaos (Gilmore, 1981). Polarisasi bawaan atas terpecahnya “suasana kebatinan” masyarakat pada Pilpres 2014 lalu, seolah-olah ingin ditumpahkan menjelang putusan MK terkait hasil Pilpres 2019. Puncaknya pada 21 dan 22 Mei 2019 lalu, kekacauan tersebut pecah. Meskipun situasi dapat dikuasai dan dikendalikan oleh aktor keamanan negara, namun apa yang dikatakan Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” ada benarnya. Pertengkaran masyarakat atas perbedaan pilihan politik bukan hanya di sosial media saja dalam terminologi “cebong dan kampret”, tetapi ada sekolompok masyarakat yang tidak menerima hasil putusan MK sampai pada ranah tindakan yang berujung pada anarkis.
Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah (vertical trust) harus dapat dijaga dengan baik dan kepercayaan antar sesama warga masyarakat (horizontal trust) dalam balutan semboyan Bhinneka Tunggal Ika diharapkan dapat menghasilkan kerjasama yang baik dalam menjaga kepentingan nasional, baik kepentingan nasional pada derajat utama berupa keutuhan dan kedaulatan Indonesia sebagai bangsa dan negara maupun kepentingan nasional pada derajat penting berupa keberlangsungan pembangunan nasional serta kepentingan nasional pada derajat pendukung lainnya. Kepercayaan dan kerjasama sebagai komponen modal sosial menjadi obat penawar yang ampuh atas polarisasi masyarakat yang telah terjadi saat ini. Seperti yang dikatakan oleh Elwin Tobing dalam buku Indonesia Dream: Revitalisasi & Realisasi Pancasila Sebagai Cita-Cita Bangsa (Tobing, 2018:209), “apabila modal sosial (kepercayaan dan kerja sama) yang berkembang di tengah masyarakat kita relatif rendah, maka kepercayaan terhadap institusi pemerintah juga rendah”. Oleh karena itu, momentum pertemuan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto di MRT Lebak Bulus hari ini, 13 Juli 2019, diharapkan dapat menguatkan kembali modal sosial yang telah tercabik tersebut, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Simbol pertemuan yang berangkat dari perbedaan tempat, bertemu untuk naik dan duduk bersama di kereta MRT menuju arah dan tujuan yang sama tersebut dapat dipandang sebagai keragaman Indonesia, berasal dari ragam etnis, agama, budaya, dan lainnya, termasuk pilihan politik Pilpres 2019, tetapi kita satu dalam bingkai Indonesia sebagai bangsa dan negara layaknya Joko Widodo dan Prabowo dalam kereta MRT tersebut. Mereka satu sebab tujuannya sama, mengabdikan dirinya untuk kemajuan dan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.
Mutiara yang hilang
Modal sosial yang dirumuskan oleh Bung Karno dalam kata yang orisinil, sebagai bentuk kearifan lokal fundamental, gotong royong, menjadi cermin sekaligus jawaban atas masa depan keberlangsungan negara yang sempat dikhawatirkan Bung Karno. Mutiara yang dirumuskan Bung Karno ketika dalam masa pembuangannya di Ende pada tahun 1934 s.d 1939, seolah-olah hilang pada saat ini, hanya karena kompetisi elektoral Pemilu 2019. Hati saya sempat gundah gulana melihat kehangatan kehidupan berwarga negara yang kaku atas adanya sekat-sekat “cebong” dan “kampret” yang masih mengisi ruang publik.
Jika situasi tersebut berlangsung dan mengkristal menjadi sikap apriori dari sekolompok besar anak bangsa, bagaimana kita dapat menjadikan Indonesia Gemilang 2045 kalau pemerintahan ini berjalan dengan modal sosial yang lemah. Namun, ketika momentum pertemuan yang dijembatani oleh Budi Gunawan dalam kapasitasnya sebagai Kepala BIN bersama Pramono Anung (Sekretaris Kabinet) dan Eddy Prabowo (Gerindra) berjalan lancar, hati saya sontak gembira dan mengucap syukur. Saya teringat dengan kiasan yang diambil Bung Karno tentang sila-sila yang menjadi dasar negara sebagai mutiara, kegundahan pasca pemilu atas polarisasi masyarakat yang telah terjadi, bertransformasi atas pertemuan dua tokoh tersebut menjadi kegemberiaan. Seperti lirik lagu yang dinyanyikan oleh Ernie Djohan, Mutiara Yang Hilang, ..”Dikaulah mutiara yang lama ku cari, sekarang berjumpa..”. Untuk itu, seperti yang tegaskan oleh kedua tokoh tersebut, “Tak ada lagi 01 dan 02 atau ‘cebong dan kampret, yang ada adalah Garuda Pancasila”.
Oleh karena itu, saya juga berharap Presiden Joko Widodo, sebagai Presiden Terpilih Periode 2019 s.d 2024, dapat menjadi Presiden bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya bagi kelompok masyarakat yang mendukungnya pada Pilpres 2019, tetapi seluruh manusia Indonesia yang berstatus Warga Negara Indonesia. Saya yakin dan percaya, Joko Widodo dalam kapasitasnya sebagai seorang Presiden Republik Indonesia, akan menjalankan amanah tersebut dengan baik. Penguatan modal sosial Pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin periode 2019 s.d 2024 diharapkan dapat mendorong akselerasi pembangunan nasional secara lebih baik lagi. Semoga mutiara dari Ende tersebut kembali menyelimuti gairah kehidupan berbangsa dan bernegara kita sebagai sebuah cahaya untuk menyongsong Indonesia yang bermartabat, berdaulat, adil, dan makmur, yang mengeluarkan kilauan Indonesia sebagai mutiara dari belahan timur dunia ini.
* Edison Guntur Aritonang, Mahasiswa Doktoral Ilmu Kesejahteraan Sosial – Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
[1] Gilmore, Robert. 1981. Catastrophe for Scientists and Engineers. New York: Jhon Wiley & Sons.
[2] Tobing, Elwin. 2018. Indonesia Dream: Revitalisasi & Realisasi Pancasila Sebagai Cita-Cita Bangsa. Jakarta: Kompas Media Nusantara.