Hoax Sebagai Alat Propaganda dan Agitasi dalam Pilpres 2019

Hoax Sebagai Alat Propaganda dan Agitasi dalam Pilpres 2019

Sulit untuk tidak menghubungkan kasus hoax yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet dengan Pilpres 2019. Relasi kuat antara hoax tersebut dengan Pilpres 2019 ditandai dengan dukungan kuat dari kelompok politik oposisi kepada Ratna Sarumpaet yang dianggap sebagai korban.

Relasi selanjutnya adalah penyebaran hoax tersebut dilakukan oleh para tokoh politik oposisi, bahkan melalui konferensi pers sehingga menyebar kepada masyarakat luas.

Tentu saja mekanisme penyelamatan diri langsung dilakukan oleh kelompok politik oposisi pasca pembuat hoax, Ratna Sarumpaet, mengakui bahwa narasi penganiayaannya adalah suatu kebohongan.

Kelompok politik oposisi, yang sebelum terjadi pengakuan Ratna, dengan sangat cepat mengolah narasi “penganiayaan Ratna” tersebut sebagai komoditas politik. Mereka seperti mengabaikan nalar dasar yang dimiliki publik untuk menelaah apa yang sebenarnya terjadi. Kesempatan untuk menelaah narasi tersebut lebih cermat menjadi terabaikan karena semangat membara seolah mendapatkan peluru ampuh untuk menyerang lawan politik.

Tentu saja sesal terjadi dan panik melanda setelah fakta yang ada mengungkap bahwa narasi “penganiayaan Ratna” adalah suatu kebohongan alias hoax.

Hoax digunakan sebagai alat propaganda dan agitasi untuk menjatuhkan lawan politik. Pihak oposisi menggunakan hoax sebagai alat propaganda dan agitasi karena belum punya unjuk kerja yang bisa dijadikan materi kampanye dalam Pilpres 2019.

Petahana lebih diuntungkan karena mempunyai program dan aktifitas yang bisa menjadi materi kampanye sehingga tidak perlu melakukan kampanye negatif sebagai propaganda untuk menurunkan elektabilitas lawan politik.

Penggunaan hoax sebagai komoditas politik pada Pilpres 2019 menunjukkan pengguna tersebut tidak mempunyai kecerdasan untuk menjadi pemimpin negara. Kemampuan dasar pemimpin negara seperti mengelaborasi program-program yang mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat tidak tersampaikan dengan baik. Narasi yang muncul secara dominan justru kritik-kritik dan cibiran yang sering kali tidak didukung dengan data dan fakta yang valid.

Seorang (calon) pemimpin seharusnya mampu membangkitkan masyarakat dengan harapan-harapan positif. Optimisme harus disampaikan melalui program-program yang realistis dan terukur sehingga menjadi daya tarik masyarakat. Jika yang disampaikan justru pesimisme dan narasi negatif, maka proyeksi pola kepemimpinan yang akan dilakukan, jika terpilih nanti adalah serupa, yaitu penuh dengan pesimisme dan narasi negatif.

Hoax harus dicegah supaya tidak menganggu stabilitas negara. Polri harus didukung untuk melakukan proses hukum dan penindakan terhadap pembuat, penyebar, dan pengguna hoax. Kualitas demokrasi Indonesia yang arahnya sudah membaik tidak boleh dicederai oleh hoax yang hanya akan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk kepentingannya.

*) Stanislaus Riyanta, pengamat politik, tinggal di Jakarta.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent