Telaah Kasus Kebohongan Ratna Sarumpaet, Benarkah Skenario Intelijen?
Ratna Sarumpaet, aktivis kemanusiaan yang (sempat) menjadi bagian dari koalisi pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tersandung kasus pembuat kabar bohong (hoax). Aktivis berusia 70 tahun tersebut resmi ditahan oleh Polda Metro Jaya pada Jumat (5/10/2018) setelah diamankan di Bandara Soekarno-Hatta, pada Kamis (4/10/2018). Ratna Sarumpaet ditangkap saat akan bertolak ke Santiago, Cile untuk menghadiri acara Konferensi The 11th Women Playwrights International Conference 2018.
Kepolisian telah menetapkan Ratna Sarumpaet sebagai tersangka dalam kasus penyebaran hoax atau berita bohong. Ratna dijerat dengan pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana serta pasal 28 juncto pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Peluang ada tersangka tambahan dalam kasus ini juga cukup besar.
Perjalanan kasus Ratna Sarumpaet ini sangat cepat dan cukup mengejutkan. Bermula dari kabar Ratna Sarumpaet yang mengaku dianiaya di Bandung pada 21 September 2018. Kabar tersebut, yang disertai dengan “bukti” wajah yang bengkak, menyebar dengan cepat. Para tokoh politik seperti Politikus Partai Gerindra, Rachel Maryam, Juru Bicara Tim Prabowo-Sandiaga Dahnil Anzar Simanjuntak, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan Prabowo Subianto pasang badan membela Ratna Sarumpaet dan menuntut Polri untuk segera mengusut peristiwa tersebut.
Polisi bertindak cepat menyelidiki kasus tersebut. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan Polri, diketahui bahwa Ratna Sarumpaet tidak dirawat di 23 rumah sakit di sekitar Bandung dan tidak melapor ke 28 Polsek di Bandung. Hasil penelusuran justru membuktikan bahwa Ratna Sarumpaet datang ke Rumah Sakit Bina Estetika di Menteng, Jakarta Pusat, pada 21 September 2018 sekitar pukul 17.00. Ratna Sarumpaet melakukan pemesanan pada 20 September 2018 dan tinggal hingga 24 September. Polisi juga menemukan sejumlah bukti berupa transaksi dari rekening Ratna Sarumpaet ke klinik tersebut.
Ratna Sarumpaet akhirnya mengaku telah berbohong. Dia mengaku pada 21 September 2018 mendatangi rumah sakit bedah untuk menjalani operasi sedot lemak di pipi, dan pulang dalam kondisi wajah yang lebam. Setelah pengakuan Ratna Sarumpaet ini, para politis akhirnya berbalik arah. Mereka merasa menjadi korban kebohongan Ratna Sarumpaet. Bahkan Prabowo Subianto memecat Ratna Sarumpaet dari posisi Juru Kampanye Nasional. Para politisi yang sebelumnya membela Ratna Sarumpaet cuci tangan dan tidak mau dilibatkan, tidak ada pembelaan lagi bagi tokoh yang aktif dalam gerakan #2019GantiPresiden tersebut.
Bukan Skenario Intelijen
Banyak pihak bertanya-tanya dan menduga bahwa Ratna Sarumpaet adalah bagian dari skenario intelijen yang sengaja disusupkan untuk merusak koalisi Prabowo-Sandi. Namun banyak pula yang berpendapat bahwa kasus kebohongan Ratna Sarumpaet ini merupakan kasus pribadi yang berdampak pada kaolisi Prabowo Sandi.
Jika ditelaah lebih lanjut, Ratna Sarumpaet adalah seorang aktivis kemanusiaan yang sangat militan dan mempunyai keberanian untuk menempatkan diri sebagai oposisi. Jika pengakuan Ratna Sarumpaet bahwa dirinya dianiaya diasumsikan benar, maka pelakunya sangat ceroboh dan tidak menggunakan perhitungan. Menganiaya orang yang dikenal luas oleh publik sangat berisiko dan hampir tidak membawa manfaat apapun. Risikonya sangat besar karena akan memicu perhatian besar dari publik dan aparat penegak hukum. Penganiayaan dengan motif politik jelas tidak akan dilakukan, apalagi di era demokrasi dan HAM yang dinjunjung tinggi.
Pengakuan Ratna Sarumpaet yang berbohong hanya kepada keluarga terkait operasi plastik yang mengakibatkan muka bengkak cukup masuk akal. Namun Ratna Sarumpaet tidak mampu mengendalikan kebohongannya lagi ketika kabar tersebut menyebar hingga keluar keluarga. Tokoh politik terutama dari kubu oposisi yang mendengar dan melihat Ratna Sarumpaet dengan wajah bengkak, tanpa penyelidikan terlebih dulu, langsung menggebu-gebu melakukan pembelaan, dan tentu saja sambil menuduh lawan politik sebagai terduga pelaku.
Kerja cepat polisi akhirnya mematahkan pengakuan Ratna Sarumpaet dan tuduhan kelompok oposisi. Semangat membela Ratna Sarumpaet sekaligus kegembiraan karena mendapatkan peluru untuk menyerang lawan politik langsung pudar. Para politikus pembela Ratna Sarumpaet, mau tidak mau, harus meminta maaf (dan tidak lupa cuci tangan) atas kasus tersebut.
Dari rangkaian peristiwa tersebut, tidak ada hal yang mengarah pada sebuah skenario intelijen. Ratna Sarumpaet bukan sebagai pelaku atau agen untuk cipta kondisi tertentu dalam kasus kebohongan tersebut. Kasus ini terjadi karena ketidakmampuan Ratna Sarumpaet mengendalikan diri untuk berterus terang kepada keluarganya terkait wajahnya yang bengkak, yang disambut dengan kecerobohan para politikus dalam menanggapi kasus secara berlebihan.
Situasi politik yang dibawa dalam suasana panas dan mengarah pada permusuhan membuat kecurigaan yang sangat besar pada lawan politik. Sikap ini jika tidak dikelola dengan baik akan menumpulkan akal sehat yang menjadi bumerang dan bisa menghancurkan diri sendiri.[•]
*) Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen