Menurunkan Elektabilitas Capres-Cawapres

Menurunkan Elektabilitas Capres-Cawapres

Kedua kubu yang akan bertarung dalam Pilpres 2019 baik kubu Koalisi Indonesia Kerja yang mengusung Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Kubu Indonesia Adil dan Makmur yang mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno sama-sama mengklaim akan mendapatkan kemenangan dalam Pilpres 2019. Tidak mengherankan jika kubu petahana mempunyai keyakinan politik yang lebih besar dibandingkan kubu lawan politiknya, apalagi sejumlah kepala daerah sudah melakukan “political appointy” dengan menyatakan secara terbuka akan mendukung kembali Presiden Joko Widodo.

Menggerogoti elektabilitas Jokowi

Namun dalam perkembangannya, kubu Jokowi-Ma’ruf Amin tampaknya harus mengalkulasi ulang kekuatan politik yang mendukung mereka, bahkan banyak “blunder-blunder politik” yang terjadi akhir-akhir ini seperti “debat serius” antara Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito dengan Kepala Bulog, Budi Waseso terkait impor beras, dimana faktanya Gudang Bulog saat ini sudah penuh bahkan Bulog malah sampai harus menyewa gudang-gudang lain yang menyebabkan pembengkakan biaya sewa sebesar Rp 45 Milyar. Suatu jumlah yang tak sedikit ditengah lesunya kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Sehingga, adalah cukup dapat dipahami jika Kepala Bulog menjawab pernyataan Enggartiasto Lukito bahwa “bukan urusan kita” soal penuhnya gudang Bulog, yang langsung dijawab Kepala Bulog dengan “matamu!”. Selanjutnya, Budi Waseso minta agar jika nanti beras impor datang, simpan saja di kantor Enggar.

Publik kemudian dapat membaca bagaimana peran yang dapat dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk menyelesaikan masalah impor beras ini. Respon kurang positif dan kurang pro kepentingan petani, akan membuat elektabilitas Jokowi di kalangan para petani akan merosot drastis dalam Pilpres 2019.
Hal kedua yang kemungkinan dapat menggerogoti elektabilitas pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 adalah rencana penerapan integrasi tarif transaksi di tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) segera berjalan. Pemberlakuan tarif merata untuk kendaraan golongan I sebesar Rp 15.000 di tol JORR pada 29 September 2018.

Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPTJ) Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna menekankan pemerintah dengan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) jalan tol JORR memang sudah sepakat integrasi tarif tol berlaku pada 29 September. Adapun tarif integrasi penggunaan tol JORR sepanjang 76 km yakni Rp 15.000 untuk kendaraan golongan I, kendaraan golongan 2 dan 3 dikenakan tarif sama yakni Rp 22.500, serta golongan 4 dan 5 juga membayar besaran tarif yang sama yakni Rp 30.000,-

Sebelum dilakukan integrasi, kendaraan dari Simpang Susun Penjaringan yang menuju Tol Akses Pelabuhan Tanjung Priok, golongan I membayar sebesar Rp 34.000 sedangkan kendaraan golongan V sebesar Rp 94.500. Sehingga dengan pemberlakuan integrasi JORR, akan terdapat penurunan tarif tol yaitu tarif golongan I turun sebesar Rp 19.000, sedangkan golongan V turun sebesar Rp 64.500.

Namun untuk pengguna jalan tol ruas Ulujami-Pondok Aren dari Bintaro Viaduct menuju Bintaro tetap akan membayar tarif tol Ulujami-Pondok Aren sebesar Rp 3.000 untuk golongan I. Sedangkan ruas tol Ulujami-Pondok Aren yang menuju Ulujami dikenakan tarif Rp 15.000, atau naik Rp 2.500 dari yang saat ini sebesar Rp 12.500,-.

Bagaimanapun juga, rencana penerapan tariff tol baru ini dikhawatirkan akan membengkakkan biaya transportasi masyarakat, maupun kalangan industri, bahkan mungkin dapat memicu terjadinya kenaikan harga Sembako dibanyak daerah. Kenaikan tariff tol ini juga akan dibaca publik bahwa pemerintah memang sedang defisit keuangan, sehingga akan menggunakan banyak taktik dan strategi untuk mengatasinya. Jika harga Sembako meningkat dan biaya operasional kegiatan sehari-hari masyarakat meningkat, namun pendapatan tetap bahkan merosot, maka publik atau calon pemilih akan membenarkan sinyalemen Prabowo Subianto bahwa perekonomian Indonesia memang sedang lemah, seperti lemahnya nilai tukar Rupiah.

Hal lainnya yang dapat melorotkan elektabilitas Jokowi adalah masalah utang pemerintah dan bagaimana solusi memecahkannya. Dalam pemberitaan media massa dikabarkan bahwa Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah hingga Agustus 2018 mencapai Rp 4.363,19 triliun. Pemerintah memastikan utang bisa dibayar meskipun nilainya mencapai ribuan triliun. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman mengatakan pemerintah mencicil utang tersebut. Pemerintah yakin bisa membayar utang tersebut meski nilai cicilannya sekitar Rp 300 triliun tiap tahun. Luky menambahkan jatuh tempo utang pemerintah berbeda-beda, ada yang 25 tahun, ada pula 30 tahun, walaupun kalau dirata-rata, jatuh tempo utang pemerintah sekitar 8,7 tahun.
Membengkaknya hutang Indonesia jelas akan membuat generasi milenial menjadi pusing bahkan bingung untuk membayarnya.

Apa yang ditekadkan pemerintah untuk mencicil uang dengan membayar Rp 300 Triliun setiap tahunnya diharapkan bukanlah “propaganda politik” untuk menarik massa dalam Pilpres 2019, namun sebuah alasan yang disertai argumentasi dan kemampuan pemerintah akan mampu melunasinya walaupun kondisi global dan regional ke depan tidak akan mudah dan banyak “uncertainty” dan “volatile” dimana-mana. Generasi milenial jelas akan concern terhadap pasangan yang dinilai akan mampu menyelesaikan masalah ini secara masuk akal dan cerdas yang akan dipilih oleh mereka.

Berikutnya adalah reaksi kritis berbagai kalangan mahasiswa terhadap kondisi kekinian bangsa melalui aksi unjuk rasa mereka yang semakin intens dan meluas saat ini, seperti antara lain dilakukan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Lampung menggelar unjuk rasa di Gedung DPRD setempat terkait rapor merah kepemimpinan Jokowi-JK yang berakhir ricuh dengan petugas Sat Pol PP Provinsi Lampung, menyebabkan satu aktifis  Kohati, dilarikan kerumah sakit. Mereka memprotes impor pangan yang dilakukan pemerintah. Mahasiswa mencatat bahwa pemerintah telah mengeluarkán izin impor beras sebanyak 3 kali. Pada Januari sebesar 500 ribu ton, bulan Maret sebesar 500 ribu ton, dan 1 juta ton.

Impor ini dinilai HMI bahwa Kabinet Kerja Jokowi- JK semakin tidak mampu merealisasikan janjinya untuk swasembada pangan. Di hari yang sama (18/9/2018), HMI Bengkulu juga melaksanakan aksi dan beberapa kader mengalami luka tembak yang serius, dipukuli, diinjak-injak, bahkan Presidium KAHMI Bengkulu diseret-seret. Tak berhenti disitu pada Rabu (19/9/18) Aliansi Mahasiswa Se-Kota Medan yang menyuarakan pendapatnya di muka umum mengalami tindak kekerasan yang sangat tidak manusiawi, hingga beberapa mahasiswa mengalami pendarahan di bagian muka, Seluruh masa aksi ketakutan karena tindakan Polisi yang diluar norma kemanusiaan, bahkan Polisi merusak kendaraan bermotor yang terparkir di lokasi aksi.

Soliditas Parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin juga perlu dipertanyakan, sebab ada beberapa Caleg Partai Golkar yang mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, termasuk kemungkinan Parpol yang mengalami “konflik internal” juga tidak efektif mendukung Paslon ini. Kemudian, respon kalangan Jubir Jokowi-Ma’ruf Amin yang cukup “kelabakan” menetralisir atau menjawab “tantangan” dari kubu Prabowo-Sandi yang dikemukakan salah satu politisi PAN terkait perlunya debat Capres-Cawapres menggunakan bahasa Inggris. Untungnya, Prabowo dan Sandi mengeluarkan pendapat yang bijak, bahwa tidak perlu debat menggunakan bahasa Inggris.

Menurunkan elektabilitas Prabowo

Kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno mendapatkan munisi politik yang cukup kuat setelah hasil Ijtima’ Ulama kedua memberikan dukungan politiknya kepada mantan Danjen Kopassus tersebut, bahkan Prabowo Subianto sudah melakukan pakta integritas dengan kalangan ulama tersebut.
Dukungan terhadap pasangan ini juga nampak dengan dibentuknya Kornas Prabowo-Sandiaga Uno, bahkan di Sulawesi Selatan, pendukung Pasangan Calon Presiden Prabowo Subianto – Sandiaga Salahudin Uno antara lain dai dan tokoh membentuk wadah Pasukan Serangan Darat Relawan Dai dan Tokoh Sulsel Prabowo Sandi, di Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut Ketua Relawan, Firdaus Malie, hal itu berdasarkan tindaklanjut dari hasil Istijma Ulama II di Jakarta, beberapa hari yang lalu. Mereka antara lain FPI, Aktifis Anti Riba, Dai Muda, Alumni 212 , pimpinan Pondok Pesanteren dan lainnya. Mereka memiliki Posko Induk di Jalan Kabila Timur Bukit Baruga, Makassar, Sulawesi Selatan.

Tidak hanya itu saja, pasangan Prabowo-Sandiaga Uno juga akan menjadikan “lemahnya ekonomi nasional” sebagai bahan kampanye merontokkan elektabilitas Jokowi. Hal ini terbukti dengan jika terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo-Sandi akan menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menurunkan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21). Tak hanya itu, Prabowo-Sandi juga akan menghapuskan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama.

Namun, apakah tidak ada faktor yang dapat menurunkan elektabilitas Prabowo Subianto ? Jawabannya tetap ada dan faktornya hampir sama dengan yang dialami kubu Jokowi seperti adanya “kutu loncat” dalam internal mereka yang berpindah pilihan politik dengan mendukung Jokowi, adanya manuver-manuver atau pernyataan yang kurang tepat waktu, kurang tepat esensi dan kurang tepat momennya yang masih dilakukan kalangan juru bicara ataupun pendukung Prabowo lainnya, termasuk kubu Prabowo belum menjawab secara terang kepada publik terkait persepsi umum yang berkembang di Medsos ataupun yang disuarakan kelompok pro Jokowi soal kemungkinan kebangkitan kelompok intoleran dan kelompok radikal yang diduga mendompleng “kereta politik” Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019, sehingga dikhawatirkan akan membahayakan Pancasila dan kebhinekaan Indonesia ke depan.

Dengan kata lain, perlombaan politik dalam Pilpres 2019 masih tetap cukup berimbang, dimana kedua kubu sama-sama memiliki kelemahan dan kerentanan yang dapat dimanfaatkan kubu lawan untuk merontokkan peluang lawan mereka memenangkan “perlombaan politik” tersebut.

*) Putra Wibawa Senggaling adalah warga masyarakat biasa. Tinggal di Lampung Barat, Lampung.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent