Awas! Ada Pihak Ketiga Pendompleng Pilpres 2019
Hajatan politik dan demokrasi yang akan sangat menentukan apakah Indonesia akan menjadi negara yang siap “take off” mengantisipasi derasnya globalisasi, ataukah malah sebaliknya kondisi Indonesia akan semakin kacau dan amburadul saat ini sedang dalam memantau apapun perkembangan strategis di Indonesia, perkembangan kedua kubu Timses ataupun perkembangan signifikan lainnya, sehingga tidak jarang banyak kalangan yang mengkhawatirkan adanya “pihak ketiga” yang mau mendomplengi di Pilpres 2019.
Akibat berbagai prestasi Presiden Joko Widodo dalam memerangi korupsi, maka KPK mendapatkan angin segar dan semakin berani memberantas korupsi karena mendapatkan dukungan dan political will Presiden Joko Widodo. Alhasil banyak koruptor atau penggarong atau maling uang rakyat yang terciduk oleh KPK, dengan contoh terakhirnya adalah 41 anggota DPR Kota Malang, Jawa Timur yang menggarong uang rakyat secara berjamaah yang dibawa KPK ke beberapa “hotel prodeo”.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada tiga kelompok yang sangat ingin menggulingkan Presiden Joko Widodo, salah satunya adalah pihak-pihak yang “kekeringan” karena tidak dapat melakukan korupsi sebagai pihak pertama. Korupsi adalah budaya elit yang mendapatkan kedudukan bukan rahasia lagi, bukti korupsi membudaya di berbagai lini di negara ini dibuktikan dengan banyaknya para koruptor yang ditangkap oleh KPK mulai dari kelas teri sampai kelas kakap.
Para koruptor yang rela beinvestasi besar-besaran untuk mendapatkan kursi jabatan di negeri ini, investasi besar-besaran mereka terancam gagal balik modal karena pemerintahan Joko Widodo sangat ketat dalam penggunaan dan pegawasan anggaran. Paceklik berjamaah dialami oleh kelompok ini karena aksi-aksi Jokowi menutup yang bocor, bocor dan sangat efektif untuk membuat para tikus kelaparan.
Pihak kedua yang sangat berhasrat mengganti Presiden Jokowi adalah kelompok orang-orang yang Ingin membajak NKRI berdasarkan Agama. Radikalisme dan separatisme dengan alasan agama bukanlah hal baru di negeri ini, bahkan pentolan kelompok ini berani lantang tidak mengakui Pancasila yag merupakan dasar dari negara ini.
Kelompok radikal ini sudah menunjukkan upaya-upaya mereka untuk menguasai negara ini dan membuat negara ini sesuai dengan paham mereka anut, kelompok ingin sukses menguasai negara ini seperti apa yang dilakukan oleh kelompok sejenis kelompok ini yang sukses menggulingkan pemerintahan seperti Mesir dan Turki.
Turki, Irak, suriah, Arab, Yordania Pakistan dan Mesir adalah negara-negara yang disusupi Hizbut Tahrir untuk melakukan kudeta. Maka tidak heran kalau banyak negara bersepakat melarang Hizbut Tahrir hidup di negara mereka. Narasi yang dibangun pendukung Hizbut Tahrir dan orang-orang bodoh pendukung gerakan ini adalah, rezim ini panik, mereka menuding Jokowi takut kalah.
Banyak pihak memprediksi bahwa Jokowi bakal menang, lalu ada kelompok teroris di depan mata yang sudah secara terang-terangan menggunakan gerakan ini untuk mengganti sistem, dibiarkan? Kelompok yang berpengalaman melakukan kudeta di berbagai negara, lalu mau dibiarkan bergerak? Tentu saja harus dibasmi.
Semua sudah sepakat bahwa Pancasila dan NKRI sudah final. Jadi ketika ada yang terang-terangan ingin mengganti, sudah pasti itu kelompok anti Pancasila. Cara mengganti Pancasila di Indonesia cuma dengan kudeta. Dan Hizbut Tahrir berpengalaman melakukan kudeta di berbagai negara. Mereka sengaja melawan larangan sehingga terjadi keributan. Untung aparat berhasil mengatasinya sehingga tidak terjadi benturan berkepanjangan.
Sejauh ini, kinerja Presiden Jokowi dalam memerangi radikalisme dan separatisme cukup berhasil. Kepala Negara dibantu unsur TNI, BIN, Polri dan BNPT serta stakeholder lainnya berhasil meringkus banyak sel-sel teror pasca disahkannya UU Anti Terorisme yang baru. Setidaknya, sudah ada 350 terduga teroris yang “diamankan” dari seluruh wilayah Indonesia. Hal inilah yang membuat kelompok ini ingin menggusur Jokowi pada Pilpres 2019.
Kemudian pihak ketiga yang ingin “menggusur” Presiden Jokowi di Pilpres 2019 adalah pihak-pihak yang takut terjerat hukum. Seperti kita ketahui, pemerintah Jokowi melakukan bersih-bersih sembari menggencarkan pembangunan di negara ini, dalam upaya bersih-bersih tersebut banyak orang-orang yang merasa terancam akan terjerat hukum karena mereka sudah berbuat jahat di masa lalu, mereka yang dengan rakus menghisap dana negara dengan berbagai trik untuk menumpuk kekayaan.
Menurut M. Najih Arromadoni, alumnus Universitas Ahmad Kuftaro Damaskus dan Sekjen Ikatan Alumni Syam Indonesia (Alsyami) dalam tulisannya berjudul “Usaha Men-Suriah-kan Indonesia yang Perlu Diwaspadai Akibat konflik” yang dimuat di situs online DutaIslam.com menyatakan, pola men-Suriah-kan Indonesia setidaknya tampak dalam beberapa pergerakan berikut; pertama, politisasi agama. Indikasi menguatnya penggunaan kedok agama demi kepentingan kekuasaan, sebagaimana pernah dilakukan di Suriah, terlihat dalam banyak hal, di antaranya adalah penggunaan masjid sebagai markas keberangkatan demonstran. Jika di Damaskus masjid besarnya Jami’ Umawi, maka di Jakarta Masjid Istiqlal.
Adakah yang pernah menghitung, berapa kali Masjid Istiqlal diduduki pelaku berangkat demonstrasi? Pelaksanaannya pun kebanyakan di hari Jumat seusai waktu Salat Jumat, didahului dengan hujatan politik di mimbar kotbah, sehingga mengelabui pandangan masyarakat terhadap agama yang sakral dan politik yang profan. Persis dengan apa yang pernah terjadi di Suriah menjelang krisis. Masjid pun berubah menjadi tempat yang tidak nyaman, gerah, dan tidak lagi menjadi tempat ‘berteduh’.
Hari Jumat, yang semestinya menjadi hari ibadah mulia, berubah menjadi hari-hari politik dan kecemasan, atas kekhawatiran terjadinya chaos. Muncul kemudian istilah “Jumat Kemarahan” sebagai ajakan meluapkan kemarahan di hari Jumat –bukankah itu hanya terjemahan dari “Jumat al-Ghadab” yang pernah menjadi slogan politik pemberontak Suriah, diserukan oleh Yusuf al-Qardhawi, tokoh Ikhwanul Muslimin?
Kedua, menghilangkan kepercayaan kepada pemerintah. Dilakukan dengan terus-menerus menebar fitnah murahan terhadap pemerintah. Sesekali presiden Suriah Basyar al-Assad dituduh Syiah, sesekali dituduh kafir, dan pembantai Sunni. Kelompok makar bahkan menghembuskan isu bahwa al-Assad mengaku Tuhan, disebarkanlah foto bergambar poster al-Assad dengan beberapa orang sujud di atasnya.
Dalam konteks Indonesia, Anda bisa mengingat-ingat sendiri, presiden Indonesia pernah difitnah apa saja, mulai dari Kristen, Cina, Komunis, anti-Islam, mengkriminalisasi ulama, dan sederet fitnah lainnya. Tidak usah heran dengan fitnah-fitnah tersebut, yang muncul dari kelompok yang merasa paling ‘Islam’, karena bagi mereka barangkali fitnah adalah bagian dari jihad yang misinya mulia, dan ciri universal pengikut Khawarij adalah mengkafirkan pemerintah.
Ketiga, pembunuhan karakter ulama. Dalam proses menghadapi krisis, ulama yang benar-benar ulama tidak lepas dari panah fitnah, bahkan yang sekaliber Syeikh Sa’id Ramadhan al-Buthi, yang pengajiannya bertebaran di berbagai saluran televisi Timur Tengah, kitabnya mengisi rak-rak perpustakaan kampus-kampus dunia Islam, dan fatwa-fatwanya menjadi rujukan. Begitu berseberangan pandangan politik dengan mereka, seketika dituduh sebagai penjilat istana dan Syiah (padahal beliau adalah pejuang Aswaja yang getol), hingga berujung pada syahidnya beliau bersama sekitar 45 muridnya di masjid al-Iman Damaskus, saat pengajian tafsir. Beliau dibom karena pandangan politik kebangsaannya yang tidak sama dengan kelompok pembom bunuh diri.
Jika demikian yang terjadi di Suriah, kira-kira Anda paham kan dengan apa yang terjadi di Indonesia, kenapa Buya Syafi’i Ma’arif dianggap liberal, KH. Mustofa Bisri juga dianggap liberal, Prof Quraish Syihab dituduh Syiah, Prof Said Aqil Siraj juga dituduh Syiah, bahkan KH. Ma’ruf Amin atau TGB Zainul Majdi yang pernah dijunjung-junjung oleh mereka, kini harus menanggung hujaman-hujaman fitnah dari kelompok yang sama, ketika propaganda politiknya tidak dituruti? Setelah ulama yang hakiki, mempunyai kapasitas keilmuan yang cukup, mereka bunuh karakternya, maka mereka memunculkan ustaz-ustazah dadakan yang punya kapasitas entertainer yang hanya mampu berakting layaknya ulama.
Keempat, meruntuhkan sistem dan pelaksana sistem negara. Misi utama kelompok radikal adalah meruntuhkan sistem yang ada, dan menggantinya dengan sistem yang ideal menurut mereka, yaitu khilafah atau negara yang secara formalitas syariah, meski substansinya tidak menyentuh syariah sama sekali. Khilafah bagi mereka layaknya ‘lampu ajaib’ yang bisa memberi apa saja dan menyelesaikan masalah apa saja. Tidak sadar bahwa berbagai kelompok saling membunuh dan berperang di Timur Tengah karena sedang berebut mendirikan khilafah, dan ujungnya adalah kebinasaan.
Bagaimanapun juga, manuver Jokowi membuat pihak-pihak berdosa tersebut ketar-ketir, mereka membangun koalisi jahat dan rela memberikan suplai dana besar-besaran untuk berdemo menggulingkan pemerintahan Jokowi, hanya dengan menggulingkan Jokowi-lah yang dapat menyelamatkan mereka dari jerat-jerat hukum rapat yang dibangun Joko Widodo.
Menggulingkan Jokowi adalah pertaruhan besar oleh kelompok ini, hanya ada dua pilihan Jokowi tumbang atau mereka yang tumbang. Kelompok-kelompok diatas memiliki satu tujuan utama dan mendesak yaitu menggulingkan presiden Joko Widodo, kesamaan misi ini membuat ketiga kelompok tersebut bahu membahu agar target mereka tercapai.
*) SV Farrah, pemerhati masalah strategis Indonesia. Tinggal di Ambon, Maluku.