Apakah Melemahnya Rupiah Menjadi Ancaman Stabilitas Negara?
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang mendekati Rp. 15.000/US Dolar menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat. Banyak pihak menghubungkan nilai ini dengan nilai pada tahun 1998 untuk membawa pemahaman bahwa situasi 2018 mendekati dengan situasi 1998. Pemahaman ini dipropagandakan dengan tujuan masyarakat menilai bahwa negara dalam situasi krisis seperti situasi 1998.
Menilai stabilitas negara hanya dari sisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika tanpa melihat faktor lain menunjukkan pemahaman yang sangat sempit dan cenderung sebagai narasi pesimistis untuk mendeskreditkan pemerintah, padahal data dan fakta yang ada menunjukkan bahwa situasi ekonomi saat ini lebih baik daripada 1998.
Melihat sektor ekonomi tidak hanya dari nilai tukar rupiah terhadap dolar, tetapi dari komponen lainn seperti cadangan devisa, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan juga angka kemiskinan. Nilai rupiah pada September 2018 adalah Rp. 14.815/USD, terdepresiasi 11% dari September 2017 dengan nilai Rp. 13.344/USD. Jika dibandingkan dengan kondisi pada 1998 maka sangat jauh berbeda karena nilai rupiah saat itu terdepresiasi 254% dari tahun sebelumnya, yaitu Rp. 10.725/USD pada September 1998 dan Rp. 3.030/Usd pada September 1997.
Cadangan devisa pada 2018 adalah USD 118,3 milyar, jauh lebih besar daripada tahun 1998 yaitu USD 23,61 milyar. Pertumbuhan ekonomi triwulan II 2018 adalah 5,27% (yoy) yang jauh lebih baik jika dibandingankan dengan tahun 1998 dengan nilai – 13,23% (yoy). Inflasi pada bulan Agustus 2018 adalah 3,2% (yoy), situasi ini sangat lebih baik dibandingkan inflasi pada bulan Agustus 1998 senilai 78,2% (yoy). Angka kemiskinan pada tahun 2018 adalah 9,82% atau 25,9 juta orang, yang jumlahnya lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 1998 dengan angka 24,2% atau 49,5 juta orang.
Melemahnya nilai rupiah terjadi karena berbagai faktor yang sangat kompleks. Kompleksitas ini tidak tidak bisa ditangani hanya oleh kebijakan pemerintah. Membawa isu melemahnya nilai rupiah menjadi indikator kegagalan pemerintah sangat tidak tepat. Pemerintah saat ini diwarisi struktur ekonomi yang lemah. Eksploitasi sumber daya alam yang cukup besar tanpa mempertimbangkan pengolahannya membuat komoditi yang dihasilkan nilainya rendah. Selain itu kebutuhan import berbagai produk yang cukup tinggi membuat rupiah melemah, termasuk kebutuhan import untuk BBM yang menjadi barang subsidi di masyarakat.
Egoisme Amerika yang melakukan perang dagang dengan China membawa dampak terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Langkah Indonesia untuk mengambil 51% saham Freeport diduga menjadi salah satu alasan Amerika Serikat untuk melakukan tindakan ekonomi terhadap Indonesia.
Langkah Strategis
Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah strategis agar situasi ini segera berlalu dan Indonesia kembali stabil secara ekonomi. Kebijakan-kebijakan untuk mengendalikan import kebutuhan yang tidak perlu dan meningkatkan eksport dengan memberikan insentif pajak dan kebijakan lain sebagai stimulus harus dilakukan. Proyek-proyek pembagunan yang memerlukan mekanisme import harus dikendalikan dan ditahan, jika perlu komponen import dialihkan produk lokal untuk menekan laju import di Indonesia. Penggunaan mata uang dolar harus mampu ditekan dan jika perlu diadakan gerakan nasional untuk mengutamakan penggunaan rupiah sebagai alat utama perdangangan.
Dari sisi birokrasi, pemerintah harus disiplin dalam menggunakan anggaran termasuk melakukan efisiensi. Struktur birokrasi harus lebih efektif dan efisien sehingga alokasi dana lebih optimal. Reformasi birokrasi harus berdampak pada efektifitas anggaran dan optimalisasi kinerja. Pemerintah harus menjadi teladan bagi masyarakat dalam melakukan efesiensi anggaran dan belanja sehingga kesadaran masyarakat untuk bersama-sama negara melakukan langkah-langkah menguatkan ekonomi dapat tercipta.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika saat ini bukan menjadi ancaman stabilitas negara, jika pemerintah mampu melakukan berbagai langkah-langkah strategis tersebut di atas. Selain itu pemerintah dan masyarakat (termasuk pelaku bisnis) harus bersatu padu untuk satu suara dan tetap optimis menjalankan roda ekonomi secara bijaksana.
Faktor-faktor eksternal penyebab melemahnya rupiah yang tidak bisa dikendalikan harus disiapkan strategi untuk menghadapinya dengan baik, dengan tetap mempertimbangkan skenario terburuk yang akan terjadi. Melakukan persiapan untuk menghadapi skenario terburuk lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa pada saat skenario terbaik terjadi.
Meskipun optimisme harus terus dipupuk, namun tidak bisa dihindari situasi ekomomi saat ini menjadi bahan bagi kelompok tertentu sebagai narasi-narasi negatif untuk mendeskreditkan pemerintah. Narasi-narasi negatif ini jika terus dipropagandakan akan membuat masyarakat dan pelaku bisnis menjadi pesimis. Dampak lainnya jika propaganda tersebut berhasil, sektor bisnis akan cenderung wait and see, sehingga ekonomi tidak membaik tetapi justru akan semakin menurun.
Peran pemerintah untuk selalu menyampaikan situasi dan langkah-langkah strategis yang diambil guna meyakinkan masyarakat dan pelaku bisnis perlu dilakukan. Optimisme bahwa situasi ini dapat dilalui dengan baik harus tersampaikan kepada masyarakat dan pelaku bisnis. Kepentingan stabilitas negara harus diutamakan mengalahkan kepengtingan politik yang mengarah kepada kebutuhan kelompok-kelompok tertentu. (*)
*) Stanislaus Riyanta, mahasiswa Doktoral bidang Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.