TNI-Polri Mensosialisasikan Program Kerja Pemerintah, Bolehkah?
Permintaan Presiden Joko Widodo terhadap para perwira TNI/Polri untuk turut menyosialisasikan capaian program kerja pemerintah telah menimbulkan pro dan kontra bahkan menciptakan diskursus tersendiri di tahun politik yang semakin memanas ini. Kubu lawan politik “Jokowi-Ma’ruf Amin” misalnya menyebutkan arahan Jokowi jelas bersifat politis, bisa mencederai proses Pemilu dan merobohkan demokrasi. Wakil Ketua DPR-RI, Fadli Zon dari Partai Gerindra misalnya menilai ada dua alasan arahan Jokowi dinilai bertentangan dengan UU TNI/Polri yaitu pertama, dalam UU TNI Nomor 34/2004 Pasal 39 Ayat 2, menyebutkan bahwa ‘Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis’. Sementara UU Polri Nomor 2/2002, Pasal 28 Ayat 1, menyebutkan ‘Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis’. Kedua, permintaan Presiden kepada anggota TNI/Polri jelas sangat politis. Sebab, Presiden berstatus sebagai bakal calon presiden. Semestinya, Presiden harus semakin menegaskan jaminan netralitas TNI dan Polri di tahun Pemilu ini.
Pendapat lebih “soft” dikemukakan Dewan Pembina Partai Gerindra Jenderal Purn Djoko Santoso dengan menuturkan rakyat sudah pintar menilai apa yang dilakukan Jokowi. “Ya, rakyat sudah pintar menilainya,” ucap mantan Panglima TNI di acara HUT Partai Amanat Nasional ke-20 di Jakarta.
Kalangan aktifis yang bergerak di bidang HAM dan pengamat masalah militer juga mempersoalkan instruksi Jokowi kepada para perwira TNI-Polri dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Menurut Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri, indikator yang dilanggar Jokowi yaitu menerabas UU TNI khususnya Pasal 7 ayat (2) dan (3). Aturan itu mengatur jelas prasyarat objektif yang harus dipenuhi untuk pelibatan TNI di luar tugas pokoknya. Hal senada diungkapkan Kepala Divisi Pembelaan HAM Kontras, Raden Arif Nur Fikri, bahwa tidak layak Jokowi meminta pelibatan TNI-Polri dalam sosialisasikan program kerja pemerintah. Jokowi tengah melancarkan gimmick politik. Jika gimmick itu dilakukan, TNI-Polri akan mengerjakan tugas di luar aturan UU yang terkesan aneh.
Sedangkan, Hendardi dari Setara Institute menilai pernyataan Presiden Joko Widodo untuk meminta perwira TNI/Polri untuk ikut mensosialisasikan pencapaian program kerja pemerintah bisa mengingatkan publik pada doktrin Dwi Fungsi TNI/Polri di masa lalu, dimana dua institusi negara itu digunakan oleh Soeharto sebagai garda terdepan dalam upaya memenangi kontestasi politik dan menjaga stabilitas keamanan. Permintaan Jokowi dalam batas-batas tertentu bisa dikualifiksi sebagai pelanggaran UUD Negara RI tahun 1945. Menurut Hendardi, tanpa penjelasan lebih detail, pernyataan Jokowi akan mengundang kontroversi yang justru akan melemahkan kepemimpinan Jokowi dalam menjaga integritas sistem ketatanegaraan. Jadi, sebaiknya Jokowi memberikan penjelasan lebih detail, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan baru di tahun politik.
Peneliti militer Aris Santoso mengatakan seharusnya Jokowi menyerahkan tugas sosialisasi capaian programnya pada lembaga lain, bukan TNI-Polri. Misalnya saja Kementerian Sekretariat Negara yang bisa dioptimalkan untuk memikul beban pemasyarakatan capaian program kerja pemerintah.
Tidak ada salahnya berbagai kalangan menyoal permintaan Jokowi tersebut, karena aspirasi mereka selaras dengan pendapat yang dikemukakan Hugh Heclo dalam Government of Strangers mengatakan, Presiden beserta political appointeesnya bisa berganti setiap saat, tapi militer sebagai organisasi birokrasi akan tetap tinggal bersama. Politisasi terhadap militer sama dengan menjerumuskan militer ke dalam kegelapan politik.
Mampu Jaga Adab Demokrasi
Suara berbeda dikemukakan Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani yang menerangkan, pernyataan dari Jokowi berdasarkan realitas bahwa hoax dan ujaran kebencian mendominasi media sosial dalam komunikasi politik. Yang dimaksud mensosialisasikan, ucap Arsul, program pemerintah apa saja yang sudah dicapai dan belum dicapai, termasuk perkembangannya. Arsul menjelaskan, mensosialisasikan capaian pemerintan merupakan bagian dari menjaga keamanan untuk menciptakan arus informasi yang sehat. Hal itu, juga demi menghindari dominasi hoax dan ujaran kebencian.
Menurut Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Irjen Setyo Wasisto, Polri hanya menyampaikan capaian keberhasilan kinerja dan informasi terkait Polri kepada masyarakat. Polri juga telah menyampaikan hasil kinerja satuan tugas (Satgas) bentukan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian bersama sejumlah menteri kepada masyarakat.
Mencermati pendapat yang dikemukakan Parpol koalisi pendukung Jokowi dan pihak Polri, sebenarnya wajar saja Jokowi “meminta tolong” kepada TNI dan Polri untuk mensosialisasikan kinerja pemerintah. Setidaknya ada beberapa alasan yaitu pertama, TNI dan Polri adalah bagian dari pemerintah, sehingga “wajib” mendiseminasikan atau menyosialisasikan keberhasilan program pemerintah di bidang pertahanan seperti pembenahan Alutsista, memperkuat basis-basis wilayah perbatasan dengan deployment pasukan di beberapa wilayah terdepan, termasuk upaya-upaya yang dilakukan pemerintahan saat ini untuk memenuhi Minimum Essential Forces (MEF) TNI dalam menghadapi ancaman militer ke depan. Kedua, Polri sebagai bagian dari pemerintah juga “wajib” mendiseminasikan hasil kinerjanya dalam penegakkan hukum, outcome dari berbagai Satgas yang dibentuk, termasuk penanganan terhadap potensi ancaman pertahanan dan keamanan jelang pemilu yakni kejahatan transnasional, terorisme, penyebaran ideologi non-Pancasila, korupsi dan Narkoba. Ketiga, sebenarnya permintaan Jokowi terhadap TNI dan Polri karena mereka memiliki pengaruh dan jaringan/network territorial yang luas. Hal ini selaras dengan tulisan C Wright Mills dalam The Power Elite bahwa pengaruh konglomerat, pemimpin politik dan pemimpin militer terhadap keputusan penting nasional. Jika sepanjang perintah Jokowi kepada TNI dan Polri untuk menyosialisasikan keberhasilan kinerja atau outcomenya, maka sebenarnya tidak ada yang dilanggar oleh Jokowi. Mengingat TNI dan Polri bagian dari pemerintah, maka jika outcome mereka positif, maka secara otomatis akan meningkatkan elektabilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan saat ini.
Tidak mungkin Presiden Jokowi merusak elektabilitasnya yang belum terkalahkan menghadapi Pilpres dengan merusak adab demokrasi, bahkan semasa pemerintahan Jokowi ternyata Indeks Demokrasi Indonesia semakin menguat. Hal ini menunjukkan pemerintahan Jokowi sangat concern untuk menjaga adab demokrasi. Apa itu adab demokrasi? Menurut Mas Achmad Santosa (2001) mengatakan, pemerintahan yang terbuka mensyaratkan adanya jaminan atas 5 hal yaitu : pertama, hak untuk memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan peran publiknya. Kedua, hak untuk memperoleh informasi. Ketiga, hak untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan publik. Keempat, kebebasan informasi yang salah satunya diekspresikan dalam kebebasan pers. Kelima, hak untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan terhadap hak-hak diatas mutlak.
*) Otjih Sewandarijatun, alumnus Universitas Udayana, Bali. Tinggal di Jakarta Timur.