TNI dan Pusaran Politik Pilpres 2019
Survei yang dipublikasikan oleh Charta Politika Indonesia tentang persepsi kepercayaan publik terhadap lembaga negara memperlihatkan bahwa TNI terpilih sebagai lembaga paling dipercaya publik dengan score 3,5% yang diikuti oleh KPK pada posisi kedua dengan score 73,4% (Detik, 28/8/2018). Reformasi TNI yang terus berjalan diharapkan dapat membawa seluruh prajurit TNI dimana pun berada menjadi profesional sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya yang selalu menjunjung tinggi harkat, martabat, dan kehormatannya, korps, dan institusinya. Seluruh prajurit TNI harus memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap standar operasional dan prosedur (SOP) yang berlaku baik dalam Operasi Militer Perang (OMP) maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti yang diamanatkan dalam UU No.34/2004.
Selain OMP, TNI memiliki 14 tugas OMSP dan minimal terdapat 3 tugas tersebut yang dapat menyeret kehadiran TNI dalam proses pengamanan penyelenggaraan Pilpres 2019, yaitu: [1]mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; [2]membantu tugas pemerintahan di daerah; dan [3]membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang. Namun demikian, sikap profesional TNI tetap harus dijaga sebagai pihak yang tidak berpihak pada kelompok manapun dalam kontestasi Politik Pilpres 2019, sebab politik negara adalah politik TNI seperti yang pernah disampaikan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. TNI sebagai benteng terakhir yang menjaga keutuhan dan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika. Pimpinan dapat datang silih berganti, tetapi NKRI harus tetap utuh dan berdaulat selama TNI masih ada.
Pilpres 2019 dan Potensi Konflik
Pilpres 2019 sebagai bagian dari sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia memiliki potensi terjadinya konflik. Konflik dapat terjadi karena adanya suatu kompetisi atau kerja sama dalam perebutan suatu objek atau sumber daya (politik, ekonomi, dan lain sebagainya). Potensi konflik dari faktor kerja sama cenderung terjadi karena adanya pihak yang melanggar aturan yang disepakati bersama (aturan main/ code of conduct) dan berpotensi menimbulkan kekacauan lebih besar jika tidak ada lembaga pengawas dan pemutus sanksi sebagai pihak yang netral (tidak berpihak) atau lembaga tersebut tidak memiliki wibawa lagi (untrusted). Sedangkan potensi dari faktor kompetisi cenderung terjadi jika bentuk perebutan tersebut saling meniadakan (kombatan), hanya ada 1 pemenang (jika tidak menang, pasti kalah).
Meskipun Pilpres 2019 ini mengandung komponen kontestasi dan partisipasi, tetapi juga terdapat komponen kompetisi dan kerjasama, sehingga tetap memiliki potensi terjadinya konflik. Ragam klaim kebenaran dalam bentuk opini ataupun penyampaian informasi berdasarkan data dan fakta, tetap saja seluruhnya bagian dari strategi untuk memenangkan kompetisi yang dihadapi. Perang hashtag #2019GantiPresiden versus #Jokowi2Periode adalah bentuk nyata eksekusi strategi kontestasi untuk menggalang partisipasi masyarakat pemilih. Kontroversi penolakan gerakan #2019GantiPresiden yang terjadi di Batam, Surabaya, dan Pekanbaru menjadi fenomena yang harus dicermati agar tidak melukai sistem demokrasi di Indonesia.
Dilema atas konflik yang terjadi akan merasuki para petugas lapangan yang berhubungan dengan masyarakat secara langsung (street-level bureaucracy) karena kelompok masyarakat yang mereka hadapi datang dengan logos kebenaran masing-masing. Situasi lapangan tersebut cenderung menuntut sikap arif dan bijaksana dalam ritme tempo yang cepat, tetapi tetap tidak melanggar SOP. Oleh karena itu, para elit lembaga negara dan kelompok masyarakat diharapkan dapat menyadari kondisi dilematis tersebut agar mampu menahan diri dan melihat bahwa eksistensi kita dibangun dari persamaan sebagai saudara sebangsa dalam balutan semangat merah putih yang sama untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik lagi. Biarlah upaya Hanifan, salah satu peraih medali emas dalam cabang olah raga pencak silat pada Asian Games 29/08/2018 lalu, dapat memberikan tontonan dan tuntunan bahwa kontestasi Pilpres 2019 antara Jokowi dan Prabowo berada dalam balutan merah putih, semangat untuk membawa seluruh masyarakat menuju tujuannya sebagai bangsa dan negara.
Dampak dari kontroversi pemulangan Neno Warisman di Bandara SSK II, Pekanbaru pada Sabtu, 25/8/2018 lalu menjadi isu nasional dan polemik yang berkembang terus sampai hari ini, parahnya lagi melahirkan pernyataan provokatif dengan adanya tafsir sebagai aksi “makar” dan pemberian label “gerombolan pengacau negara” oleh Tenaga Ahli Deputi IV Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin terhadap Gerakan #2019GantiPresiden. Oleh karena itu, aktor keamanan negara sebaiknya mampu membedakan mana opini sebagai politisi dan opini sebagai negarawan sehingga tidak terseret dalam permainan politik praktis. Sebab bagaimanapun Pilpres 2019 nanti tetap memiliki potensi konflik karena adanya komponen kompetisi di dalamnya, baik sebagai dampak dari langkah taktis atau strategis yang dilaksanakan oleh masing-masing kelompok. Preskripsi yang perlu dirujuk dalam mencermati dinamika polemik yang berkembang terkait Pilpres 2019 adalah keputusan dan informasi yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
TNI dan Politik Pilpres 2019
Bagaimanapun perebutan kekuasaan melalui Politik Pilpres 2019 ini tidak dapat menihilkan konflik, namun yang perlu diupayakan bagaimana meminimalisir dampak potensi konflik tersebut agar tidak merembet ke lembaga-lembaga negara. Fenomena yang terjadi selama ini dalam setiap pergantian rezim kekuasaan akan diikuti oleh pergantian elit lembaga negara, oleh karena itu nomena (hal yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera karena masih berupa konsep atau pemikiran yang belum terjadi) tentang partisipasi untuk mempertahankan kekuasaan oleh elit lembaga negara sebaiknya tidak menabrak norma dan etika yang ada. Tidak tertutup kemungkinan nomena tersebut menghinggapi alam pikir beberapa elit TNI sehingga mereka dapat terseret dalam kubangan politik Pilpres 2019.
Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di lembaga negara tingkat nasional, tetapi juga pada tingkat Kabupaten/ Kota. Fenomena yang memperlihatkan dilematisnya pejabat Camat atau Lurah ketika seorang incumbent ikut kembali dalam kontestasi Pilkada diharapkan dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi bangsa ini. Seolah-olah karir yang dirintis mulai dari pendidikan khusus di STPDN dan perolehan prestasi penugasan selama ini akan dipertaruhkan pada kemenangan incumbent dalam bentuk nomena. Sangat berdasar jika mereka berharap incumbent yang memenangkan kontestasi tersebut agar karir mereka dapat dipertahankan atau malah memperoleh promosi pada jabatan yang lebih baik.
Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan adanya manuver yang dilakukan oleh orang-orang tertentu di jajaran elit TNI untuk mendapatkan kekuasaan, namun biarlah pergantian pimpinan di jajaran elit TNI berlangsung atas dominasi prestasi, kapabilitas, dan kebutuhan organisasi, bukan karena kedekatan politis. Kesadaran para elit TNI sangat diperlukan dalam menyikapi proses pelaksanaan pergantian pimpinan nasional secara demokratis melalui Pilpres 2019 nanti, bahwa pimpinan dapat datang dan pergi, tetapi harkat, martabat, dan kehormatan prajurit sebagai elemen organisasi yang tidak dapat dipisahkan dan harus dijunjung tinggi. Masyarakat memberikan rasa hormat dan percaya pada institusi TNI, bahkan menempati posisi teratas berdasarkan hasil survei. Hal tersebut terjadi karena prajurit dilahirkan bukan untuk menggadaikan harkat, martabat dan kehormatannya, melainkan siap mati untuk mempertahankannya karena sejatinya harkat, martabat, dan kehormatan negaralah yang menjadi miliknya seperti yang pernah dikatakan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, “Politik TNI adalah politik negara”.
* Edison Guntur Aritonang, Mahasiswa Doktoral Ilmu Kesejahteraan Sosial – Universitas Indonesia